Atas Nama Keamanan Nasional

Apa yang sebenarnya perlu diamankan?

0
13
Atas Nama Keamanan Nasional
Kritik yang dibungkam atas nama keamanan nasional.
Lama Membaca: 3 menit

Apa yang lebih berbahaya dari kritik? Mungkin: anggapan bahwa kritik adalah bahaya.

Belum lama ini, sebuah pernyataan dari jajaran militer membuat ruang publik tersentak. Komandan Satuan Siber TNI mengaku tengah menyisir ruang digital dan menemukan “dugaan tindak pidana” yang dilakukan seorang warga sipil: Ferry Irwandi. Dugaan itu, katanya, berkaitan dengan pencemaran nama baik terhadap institusi TNI. Setelah putusan Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa institusi tidak bisa menjadi pelapor dalam kasus pencemaran nama baik, nada tuduhan berubah: “Kami sedang mengkaji kemungkinan pelanggaran hukum lain yang lebih serius.” Tanpa penjelasan, tanpa rincian, tapi dengan satu kata kunci yang terus diputar: keamanan nasional.

Di sinilah sesuatu yang semula samar menjadi penting untuk dibicarakan. Sebab jika kritik bisa begitu mudah disulap menjadi ancaman keamanan nasional, maka batas antara demokrasi dan ketakutan menjadi sangat tipis. Apa arti keamanan nasional jika ia mulai merasa terganggu oleh satu opini di media sosial? Sejak kapan ekspresi warga dianggap membahayakan negara, dan siapa yang berhak menentukan batasnya?

Tulisan ini tidak sedang membela siapa-siapa. Tapi ketika satu opini diperlakukan seolah-olah mengancam negara, maka perlu ditanyakan: ini tentang keamanan, atau tentang ketidaknyamanan?

Istilah keamanan nasional tak pernah kekurangan pemakai. Ia hadir dalam pidato, regulasi, bahkan dalam spanduk kebijakan. Namun maknanya jarang diurai. Dalam hukum, ia merujuk pada kondisi ketika kedaulatan, keutuhan wilayah, dan keselamatan warga negara berada dalam keadaan stabil. Tapi dalam praktik, definisi ini bisa melebar, menyusut, atau dibengkokkan. Maka yang semula kritik, bisa tiba-tiba disebut gangguan.

Pola ini bukan baru. Di berbagai negara yang demokrasi dan paranoianya tumbuh bersamaan, kita menyaksikan hal serupa: pembangkang disebut pengkhianat, oposisi dituding sebagai destabilitator, dan kritik dibungkus dengan label yang konon mengancam keutuhan bangsa. Kata-kata seperti subversif, radikal, atau anti-negara menjadi peluru dalam perang narasi. Dan ketika rasa kuasa lebih dominan daripada nalar, ruang diskusi mudah bergeser menjadi ruang pengadilan. Kini, di era digital, istilah yang paling sering dipakai untuk membungkam adalah ini: mengganggu keamanan nasional.

Pergeseran makna ini berbahaya bukan hanya secara hukum, tapi juga bagi akal sehat publik. Sebab jika kritik terus dikaitkan dengan ancaman, maka logika yang tumbuh bukan lagi logika demokrasi, melainkan logika ketakutan. Dan dari sana, mudah saja muncul kesimpulan: yang berbeda harus diamankan.

Dalam kasus Ferry Irwandi, tuduhan awal berupa pencemaran nama baik terhadap institusi kandas oleh putusan Mahkamah Konstitusi. Institusi negara tidak bisa menjadi pelapor dalam delik itu. Tapi alih-alih berhenti, narasi bergeser ke dugaan pelanggaran hukum lain yang lebih serius, meski tidak dijelaskan bentuknya. Tuduhan berubah, tapi aroma curiganya tetap sama. Yang tersisa hanyalah kata-kata menggantung, dan satu kalimat yang terus berulang: demi menjaga keamanan nasional.

Ferry Irwandi mungkin hanya satu dari banyak suara di internet. Tapi jika satu suara bisa dianggap cukup membahayakan untuk membuat militer turun tangan, maka persoalannya bukan lagi tentang Ferry Irwandi, tapi tentang bagaimana negara ini memahami kritik, dan seberapa siap ia hidup berdampingan dengannya. Dan jika itu dianggap berlebihan, barangkali yang berlebihan adalah kadar ketakutannya.

Di tengah suasana seperti ini, penting diingat bahwa demokrasi tumbuh bukan dari keseragaman, tapi dari perbedaan. Kritik bukan gangguan. Ia adalah salah satu tanda bahwa masyarakat masih hidup, bahwa warganya masih berpikir, masih peduli. Negara yang kuat seharusnya tak gentar menghadapi suara berbeda. Justru negara yang lemah yang mudah merasa terguncang hanya karena satu pendapat tak sejalan.

Advertisement

Dalam demokrasi, kritik bukan sekadar hak, tapi kebutuhan. Ia berfungsi seperti sistem peringatan dini: menunjukkan retak sebelum runtuh, menyoroti yang tak terlihat oleh pusat, dan menjaga agar kekuasaan tetap bisa dipertanyakan. Tapi seperti semua sistem peringatan, ia kadang bising, kasar, dan tidak selalu menyenangkan. Namun justru karena itulah ia penting. Kritik tidak diciptakan untuk menyenangkan, tapi untuk mengingatkan. Tanpa kritik, negara bisa berjalan lurus ke jurang sambil percaya diri bahwa ia sedang melaju di jalan bebas hambatan.

Kritik tak pernah mengguncang negara. Yang mengguncang adalah ketakutan berlebihan terhadapnya.

Mungkin negara memang harus dijaga. Tapi pertanyaannya selalu sama: dijaga dari siapa?

Jika kritik yang membedakan antara fakta dan dusta mulai dianggap mengancam, jika pernyataan yang mengganggu rasa nyaman pejabat disamakan dengan bahaya terhadap republik, maka ada yang jauh lebih genting dari keamanan nasional, yakni kegagalan membedakan antara kuasa dan negara, antara institusi dan kebenaran, antara kritik dan kebencian.

Bahwa keamanan nasional adalah hal serius, tak bisa disangkal. Tapi ketika label itu digunakan terlalu longgar dan tanpa batas yang jernih, ia berhenti menjadi pelindung dan mulai menjadi alat penekan. Negara tidak sedang mengamankan diri, melainkan tengah mencurigai warganya sendiri.

Di titik ini, kita perlu bertanya ulang: keamanan siapa yang sedang dibela? Keamanan warga untuk menyuarakan pendapat? Atau keamanan kuasa untuk tidak diganggu?

Lorong ini tidak hendak menjawab semuanya. Tapi bila kritik membuat negara merasa gentar, maka yang perlu diamankan mungkin bukan negara, melainkan pikirannya. (Atur Lorielcide / TokohIndonesia.com)

Apakah kritik terhadap institusi negara bisa dianggap sebagai ancaman terhadap keamanan nasional?
VoteResults
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments