Strategi Jalan Moral Kebatakan
Pendahuluan Buku Hita Batak, A Cultural Strategy (12)

Pendahuluan Buku Hita Batak, A Cultural Strategy (12)
Saatnya, Hita Batak berpikir besar (kontemplasi) tentang kebenaran dan mencapai tujuan menegaskan keberadaan dan eksistensi intersubjektif Batak, secara kolaboratif (Hita). Dan berpikir besar itu adalah hahomian habisuhon (misteri kearifan) leluhur Batak, yang tidak mesti dijelaskan dengan pendefinisian terstruktur, tetapi dirasakan, dilakoni, dikisahkan, dan hidup secara empiris di Jalan Moral Kebatakan yakni yang tersimpul dalam Trisila Batak: Marhaporseaon tu Debata (Berkepercayaan kepada Tuhan), Martutur Dalihan Na Tolu (Berkerabatan/Berkemasyarakatan Tungku Nan Tiga), dan Marparange Anak/Boru ni Raja (Berperangai Putra/Putri Raja).
Dengan kesadaran premis, kebenaran tidak mungkin kita peroleh dengan hanya mengandalkan pikiran, akal atau sains. Sebab, sains tidak semuanya sebagai kebenaran, atau kebenaran keseluruhan budaya; Sebagaimana dikemukakan William Ernest Hocking (1944) dalam Culture and Peace, kita tidak dapat melupakan bahwa Kebenaran, dalam arti yang lebih luas, adalah salah satu nama Tuhan, dan bagi Gandhi, nama terdekat Tuhan adalah Kebenaran.[1]
Mounier menyebut tindakan berpikir itu sendiri adalah sebuah misteri; itu tidak sepenuhnya jelas bagi pikiran.[2] Selain itu, kata Mounier, mendefinisikan seseorang atau sesuatu adalah tindakan paling dangkal dalam proses mengetahui. Semakin kita menerima kenyataan, semakin ia tidak dapat lagi dibandingkan dengan objek yang ditempatkan di depan kita yang dapat kita gunakan untuk menentukan arah.
Menurutnya, wujud adalah ‘konkresi yang tidak ada habisnya’ yang tidak dapat didefinisikan, tetapi hanya dapat dikenali, dengan cara yang sama ketika seseorang dikenali, atau, mungkin, lebih baik mengatakan “disapa” daripada dikenali. Metafora kepemilikan tidak berhasil membangun kontak antara orang yang memperoleh pengetahuan dan keberadaan. “Kita hanya dapat memiliki apa yang dapat diklasifikasikan dan valid. Sekarang, jika keberadaan tidak ada habisnya, itu tidak dapat diklasifikasikan sampai ke partikel terkecilnya. Semua pengetahuan yang akan saya peroleh tentang itu (pengetahuan yang dimiliki oleh yang mengetahui) akan selalu tetap merupakan kualitas yang lebih rendah dibandingkan dengan apa yang tidak saya ketahui tentangnya.”[3]
Ya, strategi kebudayaan Batak itu adalah suatu narasi proses belajar raksasa, berpikir raksasa dan karsa buddhayah raksasa, tentang eksistensi Batak, yang tidak ada habisnya, dan tidak dapat diklasifikasikan sampai ke partikel terkecilnya, dan akan terus berkembang dalam proses kebenaran dan pencapaian makna kehidupan yang lebih baik. F. Temple Kingston (1961) dalam French Existentialism A Christian Critique (Eksistensialisme Prancis Sebuah Kritik Kristen) mengatakan, yang harus kita bandingkan adalah sikap dan interpretasi terhadap realitas.[4]
Realitas yang dihadapi oleh orang Batak adalah pembunuhan karakter yang berlangsung selama ribuan tahun, terutama sejak abad 18-19, saat leluhur dan kakek-nenek orang Batak masih ‘tidur lelap’ (tanpa narasi tertulis) dalam isolasi indahnya di pusat Tanah Batak, bahkan sampai saat ini, masih sangat sedikit (belum masif), menarasikan apa-apa tentang keberadaan dan eksistensi Batak dalam prespektif nilai luhur Batak.
Maka, yang terpenting (urgen) hari ini, bagi Hita Batak kontemporer, apa dan bagaimana sikap baru kita atas ‘kebenaran’ dan realitas tersebut? Hal inilah yang hendak dijawab secara strategis dengan Tiga Karsa Strategi Kebudayaan Batak, yakni: 1) Kontemplasi; 2) Transformasi; 3) Kolaborasi Sosial; Atas nilai-nilai luhur intrinsik budaya Batak; Dengan perubahan naratif (narasi baru) yang mencerdaskan pemaknaan hidup dan kehidupan kemanusiaan yang adil dan beradab.
Sikap Hita Batak, untuk meluruskan distorsi dan disinformasi serta misleading content tentang Batak yang telah dilakukan pihak asing dan berbagai pihak selama ini; adalah dengan narasi strategi kebudayaan berpikir raksasa, belajar raksasa, dan berkarsa raksasa dengan kontemplasi transformatif secara kolaboratif di Jalan Moral Batak. Sekaligus untuk mengantisipasi ‘perang dunia informasi’ pada masa kini dan masa mendatang, digencarkan oleh semua bangsa, terutama oleh negara-negara maju (penjajah masa lalu, kini dan penjajah masa depan), yang punya agenda mengeksploitasi dan memanipulasi informasi, yang merugikan suatu bangsa dan menguntungkan mereka, termasuk dinamika sosial, kelompok dan kolaborasi, pemahaman tentang situasi persahabatan, rencana musuh, lingkungan sosial dan politik.[5]
Sebelumnya 11 || Bersambung 13
Penulis Ch. Robin Simanullang, Cuplikan Pendahuluan Buku Hita Batak, A Cultural Strategy
Footnotes:
[1] Hocking, William Ernest, 1944: Culture and Peace; in The Church And The New World Mind, The Drake Lectures For 1944; Freeport, New York: Books For Libraries Press, p.48.
[2] Mounier, Emmanuel, 1948: p.13.
[3] Mounier, Emmanuel, 1948: p.13-14.
[4] Kingston, F. Temple, 1961: p.xiv.
[5] US Army Research Laboratory, 2015: Army Research Laboratory Technical Implementation Plan 2015-2019; Adelphi-New York: US Army RDECOM, p.50.