back to top

BIOGRAFI TERBARU

Continue to the category
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
More
    32.5 C
    Jakarta
    Populer Hari Ini
    Populer Minggu Ini
    Populer (All Time)
    Ultah Minggu Ini
    Lama Membaca: 5 menit
    Lama Membaca: 5 menit
    Lama Membaca: 5 menit
    Lama Membaca: 5 menit
    BeritaLorong KataC.S. Lewis dan Seni Berpikir dalam Diam

    C.S. Lewis dan Seni Berpikir dalam Diam

    Bagaimana Lorong Kata belajar menimbang antara logika dan keheningan

    Lama Membaca: 5 menit

    Ia pernah yakin bahwa keyakinan adalah kelemahan.
    Bahwa yang tidak bisa dibuktikan sebaiknya diragukan.
    Namun dari keraguan itulah, C.S. Lewis belajar satu hal: logika yang jujur akhirnya akan menuntun seseorang pada hal-hal di luar logika itu sendiri.

    C.S. Lewis bukan nama asing dalam dunia sastra atau pemikiran modern. Tapi di balik ketenarannya sebagai penulis The Chronicles of Narnia, atau pengajar di Oxford dan Cambridge, tersembunyi satu hal yang jarang dibicarakan: ia adalah seorang skeptis yang jujur, yang tidak puas dengan jawaban-jawaban instan, dan tidak takut menantang keyakinan, termasuk keyakinan yang diwarisi sejak kecil.

    Barangkali di situlah ia terasa dekat bagi penulis rubrik ini. Bersama Leo Tolstoy, Lewis menjadi salah satu sumber ruh bagi Lorong Kata: dua pemikir yang menunjukkan bahwa kebebasan sejati lahir dari kejujuran terhadap nalar dan ketulusan terhadap nurani: sebuah kebebasan yang, bagi Lewis, bukan sekadar hak, melainkan kebutuhan.

    Ia tumbuh di rumah yang penuh buku, dibesarkan oleh orang tua yang percaya bahwa imajinasi dan intelektualitas tidak saling bertentangan. Tapi justru ketika rasa kehilangan menghantam di usia sepuluh tahun, saat ibunya meninggal, ia mulai meragukan makna dari semua yang diajarkan padanya. Doa-doa tidak menjawab apa-apa. Dan sejak itu, ia belajar untuk tidak lagi percaya begitu saja.

    Yang menarik, keraguannya tidak membuatnya lari dari pengetahuan. Justru sebaliknya. Lewis menyelam lebih dalam. Ia menekuni sastra klasik, filsafat, mitologi, bahkan ideologi ateisme. Ia membaca dengan rakus, berdiskusi dengan keras, dan menulis dengan tajam. Tapi di balik semua itu, ada sesuatu yang terus membayang: sebuah kerinduan yang tak bisa dijelaskan. Ia menyebutnya Joy (sukacita). Sebuah pengalaman batin yang muncul tiba-tiba, tanpa sebab yang bisa dijelaskan, namun meninggalkan jejak yang sulit diabaikan.

    Joy itu muncul saat membaca buku, saat mendengar musik, atau saat teringat kenangan masa kecil. Tapi Joy itu juga cepat hilang. Dan Lewis, dengan seluruh daya inteleknya, tidak bisa menjelaskan kenapa. Ia menulis dalam Surprised by Joy (terjemahan bebas) bahwa “kerinduan adalah bagian dari makhluk yang mengingat rumahnya yang sejati.” Seolah-olah setiap langkah dalam pikirannya yang rasional justru semakin menajamkan rasa rindu akan sesuatu yang tak bisa dinalar. Joy yang dulu datang dan pergi, kini tidak lagi dikejar; ia diterima.

    Perlahan, Lewis menyadari bahwa logika bisa menjadi pisau bermata dua. Ia menolong kita menyingkap kebohongan, tapi juga bisa menutup pintu bagi hal-hal yang tak muat dalam rumus. Lewis menyadari bahwa logika tanpa kedalaman rasa tidak hanya membatasi pandangan, tapi juga bisa menjerumuskan kita pada kesombongan berpikir.

    Ia mulai memahami bahwa pengetahuan tanpa rasa ingin tahu hanyalah daftar fakta, bukan kebijaksanaan. Dan rasa ingin tahu tanpa logika bisa berubah menjadi khayalan. Seperti dua sisi mata uang, keduanya saling menghidupi: logika menjaga langkah tetap berpijak, sementara rasa ingin tahu menjaga hati tetap terbuka.

    Anda Mungkin Suka

    Maka dimulailah perjalanan panjang yang tidak ditandai dengan pertobatan besar atau momen dramatis. Tidak ada “pencerahan” instan. Yang ada hanyalah langkah-langkah kecil: satu percakapan, satu buku, satu pertemuan dengan orang yang pikirannya cukup jernih untuk tidak memaksakan keyakinan, tapi cukup jujur untuk hidup seturutnya: percakapan-percakapan yang tidak berpretensi menang, hanya ingin memahami.

    Di lingkar diskusi The Inklings, suasana semacam itu menjadi kebiasaan: sunyi, tajam, jujur. Di antara mereka, ada sahabat-sahabat seperti Nevil Coghill dan J.R.R. Tolkien, bukan pendebat ulung, tapi orang-orang yang memperlihatkan bahwa keyakinan tidak harus mengorbankan nalar. Suatu malam di Addison’s Walk, obrolan sederhana di antara mereka justru membuka pintu: imajinasi dan nalar ternyata bisa berjalan berdampingan.

    Dari perjumpaan dan percakapan seperti itulah, perlahan pandangan Lewis mulai bergeser. Yang berubah dari Lewis bukan ideologinya, itu belakangan. Yang lebih dulu berubah adalah cara pandangnya terhadap dunia: dari sesuatu yang harus ditundukkan oleh logika, menjadi sesuatu yang mungkin hanya bisa dipahami lewat kepekaan, keterbukaan, dan keberanian untuk mengakui bahwa kita tidak tahu segalanya.

    Ia seperti pejalan yang baru sadar bahwa peta tidak sama dengan tanah yang diinjak. Selama ini ia memegang peta pengetahuan dengan erat, percaya bahwa semua arah bisa dihitung. Tapi suatu saat, di tengah kabut, ia menyadari: peta hanya membantu sejauh mata memandang, sementara kenyataan di luar garisnya menuntut sesuatu yang lebih dari sekadar nalar.

    Di titik ini, cara berpikir Lewis seolah mencerminkan arah yang coba dijaga Lorong Kata: menimbang dengan nalar, tapi tak menutup ruang bagi hal-hal yang tak terjelaskan. Sebab berpikir jernih bukan berarti menolak misteri, melainkan tahu kapan logika harus diam.

    Kadang yang paling masuk akal adalah mengakui batas akal. Dunia modern kerap mengangkat nalar setinggi langit, tetapi melupakan makna yang berjalan tanpa bunyi. Lewis menunjukkan bahwa keduanya tidak perlu bertikai: logika menuntun setapak demi setapak; keheningan menyelesaikan yang tak bisa dirumuskan. Dari sana, kebebasan berpikir bukan lagi pelarian dari keyakinan, melainkan keberanian menimbangnya dengan jujur.

    George MacDonald, penyair Skotlandia yang ia baca secara tidak sengaja, menjadi salah satu pintu masuk. Bukan karena argumen-argumennya, tapi karena semacam “cahaya batin” yang Lewis rasakan saat membaca. Disusul oleh Milton, Plato, dan akhirnya, oleh Tolkien, teman sejawat yang sabar, kritis, dan tidak menggurui. Percakapan mereka tidak mengakhiri keraguan Lewis. Tapi dari sanalah, perlahan-lahan ia berhenti melawan, dan mulai mendengar.

    Lewis pernah menulis bahwa ketika ia “menyerah”, itu bukan karena ia mencari Tuhan, tetapi karena Tuhan terlalu nyata untuk diabaikan. “Saya adalah orang paling enggan dan paling enggan masuk ke dalam kerajaan itu,” tulisnya. Sebuah pengakuan yang jujur, tanpa gembar-gembor. Ia tidak tiba pada keyakinan lewat mimpi atau penglihatan, tapi lewat satu proses panjang: menguji, mempertanyakan, menolak, lalu membuka kembali.

    Dalam Mere Christianity (terjemahan bebas), Lewis menulis bahwa “iman bukan menolak logika, tetapi melanjutkan logika ke titik di mana logika tidak lagi sanggup berjalan.” Pernyataan itu seperti menutup lingkar perjalanan hidupnya: dari seorang skeptis yang menuhankan rasio, menjadi seorang pemikir yang sadar bahwa rasio pun punya batas.

    Ketika banyak orang mengira bahwa menjadi beriman berarti mematikan akal sehat, Lewis justru menunjukkan sebaliknya: bahwa iman yang lahir dari keraguan jauh lebih tangguh daripada kepercayaan yang dibangun dari kebiasaan. Bahwa merdeka pikir bukan tentang membebaskan diri dari semua keyakinan, tapi tentang berani menguji keyakinan yang kita anggap tak tergoyahkan.

    Dan justru karena itulah Lewis menjadi penting. Lewis tidak hanya bicara tentang Tuhan. Ia bicara tentang manusia, dengan semua kerumitannya. Lewis tidak mencoba memenangkan debat, tapi menyentuh bagian terdalam dari pengalaman manusia: kehilangan, kesepian, kerinduan, dan pencarian akan sesuatu yang melampaui dirinya.

    Dalam The Problem of Pain (terjemahan bebas), ia menulis bahwa penderitaan sering kali adalah “megafon yang dipakai Tuhan untuk membangunkan dunia yang tuli.” Kalimat itu lahir dari pengalaman, bukan teori. Ia sendiri tahu bagaimana logika runtuh di hadapan kehilangan. Tapi dari reruntuhan itu, justru muncul kedalaman yang tak mungkin dicapai oleh kepastian.

    Lewis mengingatkan bahwa berpikir dan beriman tidak harus saling meniadakan. Ia hidup di dua dunia: ruang akademik yang ketat dengan logika, dan ruang batin yang tak selalu bisa dijelaskan dengan bahasa ilmiah. Tapi justru di pertemuan keduanya, ia menemukan kebebasan: bukan dari penolakan, melainkan dari keberanian untuk tetap mencari.

    Dalam pencariannya, Lewis memperlihatkan bahwa kemerdekaan sejati bukan soal menolak otoritas, melainkan soal keberanian menimbang setiap otoritas, termasuk otoritas logika sendiri. Ia berpikir tanpa takut, merasa tanpa malu, dan belajar tanpa pamrih. Itulah merdeka roh, merdeka pikir, dan merdeka ilmu dalam wujud paling sunyi.

    Kini, puluhan tahun setelah ia tiada, namanya tetap hidup bukan hanya karena karya atau argumen-argumennya, tapi karena kejujurannya sebagai manusia yang berpikir. Ia telah melewati jalan yang sama dengan banyak dari kita: jalan di mana keyakinan diuji, nalar ditantang, dan hati belajar menerima bahwa mungkin, sebagian kebenaran hanya bisa dimengerti dalam diam.

    Dari jalan sunyi itulah, Lorong Kata belajar melihat dunia dengan cara yang sama: bahwa kejernihan tidak lahir dari suara yang paling keras, melainkan dari keberanian untuk berpikir pelan dan jujur. Lewis dan Tolstoy tetap menjadi dua bayang yang menuntun arah langkah ini. Yang satu mengajarkan kejujuran pada nalar, yang lain ketulusan pada nurani. Dan bagi Lorong Kata, jejak itu bukan sekadar kisah masa lalu, tapi cermin tentang bagaimana berpikir bisa menjadi bentuk keheningan yang paling jujur.

    Mungkin itulah pelajaran yang terus dicari Lorong Kata: bahwa menulis bukan untuk meyakinkan, tapi untuk memahami; bukan untuk menang, tapi untuk menemukan kedalaman baru di antara kata dan diam. (Atur Lorielcide / TokohIndonesia.com)

    - Advertisement -Kuis Kepribadian Presiden RI
    🔥 Teratas: Habibie (25.8%), Gusdur (17.4%), Jokowi (14.7%), Megawati (11.6%), Soeharto (11.1%)

    Populer (All Time)

    Terbaru

    Share this
    Share via
    Send this to a friend