Prabowo, Anak Lapar, dan Sebuah Janji Moral Negara

Wawancara Terbuka Presiden Prabowo dengan Tujuh Jurnalis

 
0
57
Makan Bergizi Gratis
Prabowo Subianto: "Saya tidak bisa tidur kalau ada anak Indonesia yang lapar."

Prabowo tidak sedang bicara politik, tapi tentang anak-anak yang lapar. Tentang telur rebus yang disimpan untuk adik, dan janji seorang Presiden untuk hadir bukan di mimbar, tapi di meja makan rakyat.

Di tengah gemuruh isu legislasi yang tertutup, wacana luar negeri yang penuh diplomasi, dan gugatan terhadap arah demokrasi yang makin kabur, ada satu bagian dari wawancara panjang “Presiden Prabowo Menjawab” (6/4/2025) yang menyentuh lapisan terdalam dari kesadaran publik: tentang anak-anak Indonesia yang lapar.

Apakah Anda percaya Program Makan Bergizi Gratis (MBG) Prabowo bisa jadi tonggak baru keadilan sosial?
VoteResults

Bukan sekadar program unggulan pemerintah. Bukan pula sekadar agenda kampanye. Dalam percakapan yang mengalir selama lebih dari tiga jam itu, Prabowo Subianto kembali, dan kembali lagi, ke satu hal: makanan bergizi gratis untuk pelajar. Dan ia tidak bicara dengan logika teknokrat, melainkan dengan nada emosional yang menyiratkan kepedihan pribadi.

“Saya tidak bisa tidur kalau ada anak Indonesia yang lapar.”

Kalimat itu keluar tanpa naskah. Dikatakan dengan jeda, dengan napas yang ditarik dalam. Bukan bagian dari daftar pencapaian yang ingin diumumkan, tapi bagian dari kegelisahan yang tampak belum selesai di hati sang Presiden.

Ia tak memulai ceritanya dengan angka statistik. Ia mulai dengan pengalaman langsung. Saat masih menjabat Menteri Pertahanan, ia keliling ke pelosok-pelosok negeri dan melihat sendiri: anak-anak yang tidak bisa berdiri tegak, anak-anak yang ia sangka sedang latihan drama karena terlalu lemah untuk bergerak, padahal mereka sedang ulangan. Anak-anak yang hanya mendapat dua telur rebus untuk satu sekolah, dan satu di antaranya disimpan untuk adik di rumah. Ia melihat ibu-ibu yang bilang padanya bahwa di rumah tak ada nasi.

“Saya bilang: no more,” katanya tegas. Dan dari sanalah gagasan besar ini dilahirkan.

Bahwa negara bisa – dan harus – memberikan makan bergizi untuk semua anak sekolah, setiap hari, dengan makanan yang nyata: telur, tempe, tahu, daging, susu, nasi, dan sayur. Tapi Prabowo tidak berhenti di soal gizi. Ia membingkai program ini sebagai gerakan ekonomi desa.

“Yang masak harus ibu-ibu di desa. Makanannya harus dari petani dan peternak lokal. Uangnya harus masuk ke kampung, bukan ke pabrik besar.”

Advertisement

Program Makan Bergizi Gratis (MBG) bukan sekadar program. Ia adalah manifesto politik dari bawah. Sebuah upaya menempatkan rakyat sebagai pelaku, bukan penerima. Dan lebih dari itu, MBG adalah antitesis proyek.

Prabowo menolak pendekatan proyek yang biasa dipakai pemerintah. Ia tidak ingin tender besar, tidak ingin makanan industri, tidak ingin pengadaan massal. Ia bahkan melarang makanan dalam bentuk kering, tidak boleh pakai pengawet, dan menegaskan makanan harus dimasak langsung oleh warga desa.

“Saya tidak mau industri besar yang kuasai ini. Ini bukan proyek. Ini soal moral.”

Kalimat itu bukan sekadar penegasan kebijakan. Itu adalah peringatan moral, bahwa dalam MBG yang sedang ia bangun, bukan hanya sistem logistik yang dirancang – tetapi etika baru dalam kebijakan negara.

Ia ingin makanan itu dikirim oleh warga lokal, lalu difoto oleh ibunya, dicatat secara digital. Bukan untuk gaya, tapi untuk bukti bahwa makanan itu sampai. Bahwa negara hadir bukan hanya lewat pidato, tetapi lewat telur rebus yang sampai di tangan anak-anak sekolah.

Tentu, tidak sedikit yang skeptis. Tidak sedikit pula yang menganggap ini bisa jadi janji populis. Tapi Prabowo tampak sadar akan itu. Maka ia berkata:

“Saya akan makan sama mereka. Kalau mereka makan tempe, saya juga makan tempe. Kalau mereka makan telur rebus, saya ikut makan.”

Ini bukan soal gaya blusukan. Ini tentang kesetaraan yang ditawarkan di meja makan – bukan dari atas mimbar, tapi dari pinggir piring anak-anak.

Prabowo juga mempersiapkan sistem digital: platform yang bisa mencatat siapa yang masak, siapa yang makan, menu yang diberikan, hingga pelaporan harian. Tapi ia tidak berhenti di teknologi. Ia ingin pengawasan sosial. Gubernur, bupati, walikota, media, masyarakat, semua diajak mengawasi bersama.

“Saya akan bentuk tim pengawas. Saya juga akan datangi sekolah-sekolah.”

Namun pertanyaan besar tetap menggelayuti ruang publik: mampukah program sebesar ini dijalankan tanpa tergelincir?

Jumlah pelajar mencapai puluhan juta. Jaringan distribusi di desa-desa tak merata. Birokrasi kerap lambat, kadang malas, dan tak jarang penuh kompromi. Di tengah sistem yang belum solid, MBG bisa menjadi proyek sosial terbesar dalam sejarah Indonesia pascareformasi.

Prabowo tidak menutup mata. Ia mengakui bahwa ia tidak bisa kerja sendiri.

“Semua menteri harus dukung. Kepala daerah harus ikut jaga. Ini tanggung jawab kita bersama.”

Dan di titik inilah, MBG menjadi lebih dari sekadar kebijakan: ia adalah cermin reputasi kepresidenan Prabowo.

Jika ia berhasil, Prabowo akan dikenang bukan karena pidato internasionalnya, bukan karena forum-forum strategis, tapi karena ia memastikan anak-anak Indonesia tidak lapar di bangku sekolah.

Tapi jika program ini gagal – jika tergelincir ke tangan mafia pangan, dibajak oleh birokrasi malas, atau dijadikan alat pembagian proyek politik – maka MBG bisa menjadi titik balik. Karena Prabowo sendiri yang mempertaruhkan reputasinya di dalamnya.

Dan publik tahu, komitmen moral tidak cukup. Yang dibutuhkan adalah sistem yang kokoh, pengawasan yang kuat, dan ketegasan yang konsisten.

Ada banyak cara mengukur kemajuan bangsa: nilai tukar, neraca perdagangan, indeks demokrasi. Tapi Prabowo tampaknya ingin diukur dengan cara lain: apakah hari ini anak-anak kita sudah makan dengan layak?

Di zaman yang terobsesi pada kecanggihan dan retorika, Prabowo menawarkan satu ukuran yang sangat manusiawi – dan sekaligus sangat politis.

“Kalau perlu saya berhenti jadi presiden, saya urus anak-anak itu.”

Itu bukan retorika. Itu adalah kesaksian.

Dan sejarah akan mencatat: apakah kalimat itu benar menjadi fondasi kebijakan negara, atau sekadar serpihan suara hati yang tenggelam dalam riuhnya kekuasaan. (Atur Lorielcide/TokohIndonesia.com)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini