Bernafas dalam Atmosfir Kehidupan Batak

Kisah Penulisan Buku Hita Batak A Cultural Strategy

Pernah Bangkit dari Kematian
 
1
121
Raja Kores Simanullang/Sofiana Boru Purba (Ompu R. Binsar Halomoan) tahun 1954. Insert: Kiri Tumbur Situmorang/Regina Boru Simanullang (Ompu Marolop), Gr. St. Tumpak Hasiholan Simanullang/AN Boru Situmorang (Ompu Mangatur). Kanan: Ch. Robin Simanullang, saat usia 2 tahun dan keluarga 1954. Bernafas dalam atmosfir kehidupan Batak.

Oleh Ch. Robin Simanullang ||

Binsar Halomoan adalah nama Batak saya pemberian kakek (Ompung Doli). Nama Christian Robinson adalah nama pemberian pendeta dan ayah saya. Nama lengkap Christian Robinson Binsar Halomoan Simanullang, sering saya singkat menjadi Ch. Robin Simanullang, atau Ch. Robin S; pada tahun 1982-1992 dalam penulisan Tajuk Rencana di Harian Sinar Indonesia Baru (SIB) Medan berinisial + (tanda tambah, Cross, akroĀ­nim nama saya). Lahir Kamis, 18 Desember 1952, di Pansinaran, Hutagurgur, Bius Simanullang Toba, Doloksanggul, Tapanuli Utara (Humbang HasunĀ­dutan, Humbahas, saat ini), Provinsi Sumatera Utara, Indonesia. Saya sangat merasa bangga dan beruntung mempunyai Ompung Doli (Kakek) Raja Kores Simanullang (1891-1961) dan Ompung Boru (Nenek) Sofiana Boru Purba (1899-1981), disebut juga Ompung Suhut (kakek-nenek dari pihak ayah) yang sangat telaten dan sabar mengisahkan turiturian atau suhutsuhutan (folklore, cerita rakyat, legenda, mitos, mitologi, teogoni) kepada keturunannya, terutama kepada saĀ­ya (penulis) sebagai Pahompu Panggoaran (Cucu yang menjadi nama panggilan terakhir dan abaĀ­dinya). Juga mempunyai Ompung Bao (kakek-nenek dari pihak ibu) yakni Ompung Doli TUMBUR SITUMORANG gelar Saudagar (1906-1963) dan Ompung Boru REGINA BORU SIMANULLANG (1912-1983) yang juga telaten mengisahkan turiturian serta nasihat-nasihat.

Seingat saya, ketika berusia lima-enam tahun, kakek sudah mulai membekali saya dengan kisah-kisah cerita rakyat, tentang manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan, legenda, mitos dan kisah-kisah dari Alkitab (Bibel). Kakek saya sudah bukan buta huruf seperti kebanyakan sebayanya. Ompung Doli (Suhut) sudah menyalin sebagian isi Bibel Padan Na Imbaru (Testamen, Alkitab Perjanjian Baru) dengan tulisan tangannya sendiri. Namun, dia belum pernah menulis cerita rakyat atau legenda Batak. Tapi dia punya perbendaharaan turiturian lisan yang cukup banyak. Salah satu yang paling sering diulang-ulangnya adalah tentang kisah Si Raja Batak: Mula ni Jolma Manisia dohot Portibi on (Asal-mula Manusia dan Alam Semesta). Kisah ini berulangkali dituturkannya ketika menjelang tidur, bahkan di siang hari Minggu sambil disuruh mencabuti ubannya di bawah rindangnya pohon di halaman samping Ruma Bataknya, lalu dihadiahi permen (gulagula) super. Ketika saya berusia 6-9 tahun, kisah Si Raja Batak sudah mulai intensif dituturkannya kepada cucunya, terutama kepada saya. Maklum, karena saya adalah cucu laki-lakinya yang sulung. Entah kenapa, saya pun sangat berminat mendengar kisah ini, dan saya mempunyai ingatan yang lumayan tajam tentang berbagai hal masa kecil saya. Dialah yang memberi nama saya Binsar Halomoan; Etimologi, Binsar itu, matahari terbit; Padanannya Poltak, bulan terbit; dan Halomoan artinya Kesukaan, berasal dari kata dasar lomo artinya suka, berkenan, ingin, senang; lomo ni roha, kesukaan hati, kesayangan, keinginan, cita-cita.Ā  Arti harfiah Binsar Halomoan adalah matahari terbit kesukaan. Itulah lomo ni roha, cita-cita, doa dan amanat kakek-nenek untuk saya, menjadi matahari terbit kesukaan: Jadilah terang dunia. (Kemudian saya lengkapi dengan memberi nama cucu pertama saya: Asasira; asal kata Asa dan Sira, supaya jadi garam).

Kakek saya itu sangat Batak dan sangat Kristiani. Salah satu kisah yang menarik, ketika ayah saya berusia empat tahun (masih tinggal di Sihutinghuting, Saitnihuta, tahun 1932) meninggal dunia pada tengah malam, dia berdoa memohon mujizat Tuhan menghidupkan puteranya. Dia melarang dikebumikan. Sehingga raja-raja menyebutnya sudah Bibelon (gila Alkitab), tapi dia terus berdoa. Pukul 15.00 mayat puteranya ā€˜dipaksa’ masukkan ke peti mati serta hendak ditutup dan dia diizinkan melihatnya sekejap. Dia pun mengangkat kepala putera sulungnya sambil berkata: ā€œAnaha, Tuhanta Jesus pahehehon hoā€ (Anakku, Tuhan kita Yesus membangkitkanmu), dan mujizat terjadi: Tumpak Hasiholan nama puteranya (ayah saya), berkedip dan tersenyum lalu bangkit hidup kembali. Kampung Sihutinghuting gempar! Dulu, akhir tahun 1950-1960-an jika saya pergi ke Sihutinghuting, para tetua di sana selalu bilang: ā€œOh kamu anak Tumpak Hasiholan yang pernah mati dan hidup kembali itu?ā€ Dua tahun kemudian, kakek saya pindah ke Hutagurgur karena saudara kami diusir dari tempat itu dan dia mengambil risiko mengatasi masalah yang ada serta membuka huta baru yang dinamainya Pansinaran Tapian na Uli (disingkat Pansinaran). Saat itu belum ada gereja di Hutagurgur, maka Ompung saya mengadakan kebaktian di rumahnya, dengan segala dinamikanya. Dia bukan parhalado atau sintua (penatua Gereja) dia hanya orang Kristen (pengikut Kristus), maka pantas Misionaris Heerling memberinya nama Raja Kores (bukan Kristen verbal). Dia antikekerasan dan balas dendam.Ā  Dia ā€˜anak domba di antara serigala’, visi hidup yang saya usahakan warisi darinya, karena saya tahu itu adalah amanat Kristus. Semua turiturian Batak-nya bersifat positif: Pantun hangoluan tois hamatean (santun kehidupan, sombong kematian); Unang adong late dohot elat (jangan ada dengki dan iri), tidak boleh balas dendam; Unang mangasanghon botohan (jangan mengandalkan kekuatan atau kekuasaan), harus marbisuk (arif bijaksana), seperti anak domba di antara serigala (amanat Kristus). Maka sejak ā€˜balita’ saya sudah mengerti berdoa dan roh kudus (tondi porbadia) menjagai dan memimpin, bukan roh kakek-nenek atau leluhur. Dia melarang keras persembahan kepada sumangotnya jika sudah meninggal. Dia ā€˜Kristen Raja Kores’ aplikator kabar baik visioner yang tidak (hanya) ber-KTP agama Kristen. Saya masih ingat kehidupan kebersahajaan dan kerohaniannya. Tiada hari tanpa membaca firman dan berdoa. Sayang, kakek saya meninggal saat saya baru berusia sembilan tahun. Tapi Ayah-Ibu dan Ompung Boru, juga kedua Ompung Bao saya dengan sabar dan telaten melanjutkan kebiasaan menuturkan beberapa turiturian, terutama kisah Si Raja Batak dan nilai-nilainya, mulai dari partuturon, sopan-santun dan pantangan-pantangan (Belakangan saya tahu, hal itu atas pesan kakek). Misalnya, pantang mengambil makanan dengan manggomak (mengambil dengan telapak tangan dan lima jari) atau mamohul (mengepal), tetapi dengan manjomput (menjumput) dengan dua atau tiga jari. Diikuti perumpamaan: Sanggomak gogo santulluk tua, sadampang gogo sanjomput tua. Maknanya: Tak guna mengambil banyak jika tidak disertai berkat. Juga perumpamaan (amsal): Sipeop na godang ndang marlobi-lobi, sipeop na otik ndang hurangan. Artinya, Pemegang atau pemilik (sipeop) yang banyak tidak berlebihan, pemegang (pemilik) yang sedikit tidak kekurangan: Bersahaja! Saat saya kelas 3 SMP, saya bertanya lagi mengenai Turiturian Si Raja Batak kepada Ompung Boru Purba, karena saya ingin menuliskan kisahnya. Saat itu saya sudah mulai senang pelajaran menulis cerita-cerita kuno dan kontemporer (pelajaran mengarang).

Beberapa hari kemudian, Ompung Boru memotong ayam jantan peliharaannya. Lalu memanggil saya untuk makan bersama. Sebelum makan, Ompung Boru bilang: ā€œKamulah pengganti Ompung Doli, dan ini makanan kesukaannya,ā€ sambil menaruh kepala dan jeroan (hasahatan) ayam di piring saya. Setelah selesai makan, dilanjutkan beberapa petuah. Kemudian Ompung Boru mengambil seruas bambu tua dari simpanannya. ā€œIni pesan Ompung Doli, supaya ini saya serahkan kepadamu, setelah kamu mengerti,ā€ katanya, lalu menyerahkan sepotong bambu yang pakai tutup tersebut. Lalu saya membukanya, berharap isinya sesuatu barang berharga, emas dan perak, atau wasiat tentang harta, ternyata isinya hanya secarik kertas bertuliskan Tarombo, mulai dari Debata sampai Si Raja Ihat Manisia, sampai Si Raja Batak, sampai nama saya. Lalu saya mengajukan beberapa pertanyaan kepada Ompung Boru tentang silsilah tersebut. Kemudian waktupun berlalu dengan berbagai dinamika dan romantika kehidupan.

Ketika hidup, kakek saya sering Marlanja (berdagang dengan memikul) bersama pembantunya menjual hasil pertanian, terutama kemenyan ke Barus, dan dari Barus membawa garam, kain dan produk luar lainnya. Dia meneruskan kebiasaan ayahnya Raja Juda Simanullang (Ompu Luga, 1856-1935) dan kakeknya Ompu Sunggul (1825-1905). Kisahnya, kakeknya, Ompu Sunggul, kakek leluhur saya, beberapa kali menginap di rumah Pandortuk di Barus, ketika Dr. HN van der Tuuk belajar bahasa Batak. Kisah ini sangat dibanggakan Ompung Doli saya. (Setelah saya membaca surat-surat Van der Tuuk, kisah ini bukan karangan ilusi, tetapi realitas; Walaupun Pandortuk tidak secara eksplisit menyebut nama-nama pedagang Batak yang menginap di rumahnya. Selengkapnya diuraikan dalam Bab 11.1.3: Pandortuk Ateis Sibungka Pintu).

Ketika saya berkeluarga dan tinggal di Pematang Siantar, saya bertemu dengan Guru William Simanullang gelar Ompu Mangatur (kebetulan sama dengan gelar orangtua saya). Dia seorang guru sejarah yang sangat rinci mengisahkan perjalanan sejarah dan turiturian secara lisan dari dalam kepala dan hatinya, dia penutur lisan yang amat hebat. Dia terkenal sebagai Raja Adat di Sumatera Utara. Ternyata, Guru Sejarah hebat itu adalah putra tertua dari sahabat semarga kakek, yang dahulu tinggal di daerah Onan Ganjang, jalan lintas Doloksanggul menuju Pangkat dan Barus. Ketika baru berkenalan, dia langsung tahu siapa nama kakek dan ayah saya. Dia mengenal betul kakek saya. Sejak muda, kakek sering Marlanja (berdagang dengan memikul) ke Barus, dan selalu transit di rumah sahabat semarganya tersebut di daerah Onan Ganjang atau Bius Simanullang Dolok. Demikian sebaliknya, jika sahabat semarganya datang ke Bius Simanullang Toba di Doloksanggul, selalu menginap di rumah kakek. Rupanya karena akrabnya pesahabatan itu, mereka pun mempunyai perbendaharaan turituirian yang hampir persis sama, juga cerita tentang Pandortuk. Hal itu saya pastikan, ketika saya menggali pengetahuan turiturian dan sejarah empiris dari Guru William, yang sangat menyegarkan ingatan saya atas turiturian dan kisah Pandortuk yang dituturkan kakek. Guru William seusia dengan ayah saya, kelahiran tahun 1920-an.

Sementara, ayah saya yang bernama Guru Tumpak Hasiholan Simanullang dan ibu saya AN Boru Situmorang, juga bergelar Ompu Mangatur, tidak begitu gemar bercerita panjang lebar. Tapi dia seorang ayah yang sangat baik dan bersahaja, nyaris tidak pernah marah. Salah satu nasihatnya yang saya anggap agung: ā€œJika kamu miskin, jangan pernah rendah diri atau minder; Jika kamu kaya jangan pernah sombong; Peakhon hapogoson nang hamoraon di toru ni simanjojakmu (Taruh kemiskinan dan kekayaan di bawah telapak kakimu.ā€

Lalu ketika mahasiswa tingkat dua (1974), saya juga mengunjungi saudara Ompung Doli saya (yang tentu juga saya panggil Ompung Doli) di Panggugunan, Onan Ganjang, ketika itu belum bisa dilintasi kenderaan roda empat. Saya naik motor (kareta). Dia satu-satunya orangtua seurutan generasi kakek saya yang masih hidup, dia berusia lanjut. Ketika saya datang dia sangat senang, dia tinggal sendirian di rumah tuanya. Saya punya pengalaman religius unik bersamanya. Ketika hendak tidur, kakek yang sudah kurus membungkuk sehingga digelari Ompu Ranggas itu, mempersiapkan tempat tidurku dengan tujuh lapis lage (tikar kecil dari pandan, seperti permadani). Saya pikir itu ekspresi kasih sayangnya kepada cucu, supaya saya tidur lebih empuk dan nyaman. Tapi, paginya saya baru menyadari bahwa hal itu ada maksudnya, setelah dia bertanya tentang apa yang saya alami selama tidur? Setelah mengingat-ingat, saya jawab: ā€œSaya bermimpi hutan di sekitar rumah ini dilanda air bandang, lalu saya bersila dan menyilangkan kedua telapak tangan di dahi, di atas kedua alis mata saya. Air bandang itu terus mengalir deras tetapi menyingkir dari saya dan rumah ini.ā€

Dia langsung senang dan berkata: ā€œKamu yang saya tunggu-tunggu: Ajal saya sudah dekat!ā€ Lalu, saya dipersilakan duduk bersila di lage tujuh lapis tersebut persis seperti dalam mimpi. ā€œApa yang kamu lihat?ā€ dia bertanya. ā€œTidak ada!ā€ Dia meminta saya mengulanginya. Setelah saya lakukan berulangkali, saya melihat bayangan kedua telapak tangan saya menyatu seperti jantung (segi tiga yang runcing ke bawah).

Advertisement

Ompung Doli itu memaknainya sebagai kemampuan melihat dan menghimpun sahala (wibawa) sendiri, yang antara lain bisa menunjukkan di suatu kondisi dan tempat apakah ada bahaya atau tidak, atau niat orang lain untuk mencelakakan. Jika himpunan bayangan itu runcing, pertanda baik; Sebaliknya jika tumpul, di depan ada bahaya, lalu siaga dan menghindarlah. Menurutnya, itulah hadatuon (kebatinan) Batak asli. Orang seperti itu tidak perlu meminjam sahala orang lain, sahala siapa pun: Karena Debata telah memberikan tondi dan/atau sahala kepada masing-masing orang ketika masih dalam bortian (kandungan). Setiap orang punya tondi dan/atau sahala-nya sendiri. Cukup pusatkan perhatian untuk menghimpun sahala (wibawa) sendiri. Dan sejumlah pengalaman dan cerita religius turunannya lainnya bersama Ompung Doli itu, termasuk mengenai Parhalaan atau kalender astronomi Batak, di antaranya tentang siklus musim yang mempengaruhi dinamika kehidupan manusia dalam alam semesta. Dia menjelaskan, ada perputaran musim 4 harian, sehingga hari Onan ditetapkan setiap 4 hari; kemudian siklus bulanan (30 harian); siklus 12 bulanan; serta siklus 4 x 12 bulanan (4 tahunan) sebagai musim yang dianggap ekstrim, sehingga pada tahun keempat itu jumlah bulan menjadi 13 bulan, yang disebut bulan Li Hurung. Puncaknya, Ompung Doli itu menyerahkan ā€˜gelang saktinya’ yang pada akhirnya saya bawa semuanya ke dalam jalan kemuliaan Tuhan. Saat itu, saya membaca sebuah buku tentang pertobatan kepala suku Amazon bernama Elka (Datu Elka), yang sangat inspiratif.

Pengalaman unik lainnya, ketika mahasiswa, saya bersama teman dari Medan ā€˜martandang’ ke RS Balige naik motor (kareta), kemudian pagi subuh naik ke puncak Dolok Tolong, saat itu tengah ada pembangunan microwave (gelombang mikro) pemancar TVRI. Tiba di bedeng pekerja, seorang ibu jurumasak, langsung bercerita bahwa di puncak Dolok Tolong itu ada mata air yang konon kisahnya muncul setelah Si Singamangaraja menancapkan tongkatnya. Seorang kolonel marga S, beberapa tahun lalu mengambil air itu dan baru saja dia datang lagi, berterimakasih karena dia sudah punya keturunan. Bahkan ibu itu bercerita, orang terkaya Batak ketika itu (TD Pardede, belum terkonfirmasi) juga menjadi kaya setelah mendapatkan air tersebut. Air itu kadang keruh dan kadang bening. Siapa yang menemukan air bening, dia akan mendapat tuah.

Mendengar kisah itu, sekitar pukul setengah empat subuh, saya dan teman-teman naik jalan kaki mendaki menyusuri hutan semak menuju air itu. Di tengah jalan, teman saya berhenti dan surut. Saya terus melanjutkan hingga sampai di mata air di puncak bukit itu. Ternyata airnya bening. Lalu saya minum. Kemudian botol (sejenis botol teh botol) yang diberikan ibu jurumasak, saya isi penuh dan pulang. Saat itu, saya tidak begitu terpengaruh dengan tuah (berkat) yang dikisahkan ibu jurumasak tersebut, tapi lebih karena ingin tahu.

Pendek cerita, botol berisi air itu, saya simpan di balik lemari orangtua di kampung. Setelah 16 tahun, ketika pulang kampung, saya teringat. Ternyata masih dibiarkan di tempat itu. Permukaan luar botolnya sudah hitam akibat asap dan debu. Setelah dibersihkan, saya heran: Airnya tetap bening, tanpa terlihat ada mikroba di dalamnya. Padahal tutupnya hanya tutup botol teh biasa. Wah, ini air ajaib! Lalu, saya bawa ke Jakarta, dengan maksud menelitinya ke laboratorium dan menyimpannya sebagai air unik dan ajaib. Tapi sampai lima tahun, karena kesibukan, tak pernah jadi diteliti.

Suatu ketika, saya mendapat banyak kendala ketika mulai ā€˜belajar’ membuka usaha supaya bisa lebih kaya daripada hanya jurnalis. Akhirnya, saya teringat, dan meminumnya setengah sloki. Segar rasanya! Ajaib, hanya dalam dua pekan seseorang sahabat datang menawarkan sebuah bukit untuk digali (urukan). Ajaibnya, beberapa hari kemudian seorang pengusaha China yang baru saya kenal di kawasan industri tidak jauh (12 km) dari bukit yang ingin diratakan, memberi pekerjaan besar menguruk salah satu kawasan industrinya, dan dia menghentikan kontrak kerja dengan yang lain. Saya tidak punya modal untuk pekerjaan sebesar itu. Tapi pengusaha China baik itu, mengatakan nanti bisa kita kasih kas bon. Jadilah pekerjaan itu saya laksanakan, dengan menggerakkan 40-an dumptruk.

Tapi di tengah dinamikanya, hati saya bergumul dengan kesimpulan: ā€œSaya tidak mau kaya kalau karena air ajaib itu.ā€ Saya berkonsultasi dengan beberapa pendeta tentang pergumulan itu. Tapi saya tidak mendapat jawaban yang memuaskan. Akhirnya, saya teringat Ompung Doli yang menasihatkan supaya memusatkan sahala atau roh (sendiri). Saya pun berdoa sendirian tengah malam dan berhari-hari membaca Alkitab dari Kejadian sampai Wahyu, seperti membaca novel berseri panjang. Kata akhirnya: Kasih karunia Tuhan Yesus menyertai kamu! Amin.

Air ajaib itu saya buang, dan saya mendapat tantangan hebat hingga menjual rumah. Tapi saya sudah dibekali orangtua untuk menempatkan kekayaan dan/atau kemiskinan di bawah telapak kaki. Saya tidak menyesal, hanya saya minta kepada-Nya: Sekolah anak-anak saya tidak boleh terganggu. Dan, Dia Yang Maha Kasih memberikan lebih dari yang saya minta. Kemudian, suatu malam saya bermimpi, terjerembab ke dalam lubang yang dalam dan saya berusaha naik tapi tidak bisa, sampai saatnya tiba saya terangkat ke atas bukan atas upaya saya dan di atas lubang saya berjalan di atas hamparan pasir putih yang indah. Lalu, saya pun bergumul apakah Tuhan memanggil saya menjadi pendeta? Akhirnya, mendapat jawaban bahwa panggilan saya adalah seorang jurnalis, pemberita kabar baik (2 Tim 3:16); Jurnalisme garam dan terang dunia; atau dalam bahasa Arab: Jurnalisme Rahmatan lil’alamin. Saya pun kembali menekuni profesi jurnalistik. Pada awal Reformasi 1998, bersama beberapa orang teman wartawan menerbitkan Majalah Garda dengan visi awal dari saya ā€˜berada di pihak terdakwa’, tidak dibatasi rezim, golongan, ras dan agama; Namun belakangan, terjadi pergeseran visi. Akhirnya, saya mendirikan Website TokohIndonesia.com (20 Mei 2002) dan menerbitkan majalahnya, mengeksplorer pengabdian dan perbuatan baik para tokoh. Media ini membuka komunikasi saya dengan banyak tokoh, mulai dari presiden sampai lurah, politisi dan profesional, rohaniawan dan preman, pengusaha besar dan kecil, jenderal hingga prajurit; Satu di antaranya menjadi ā€˜sahabat sejati dan termulia’ Syaykh Al-Zaytun Abdussalam Rasyidi Panji Gumilang, pendiri dan guru besar Pondok Pesantren Modern Mahad Al-Zaytun, yang antara lain mengajak menerbitkan Majalah Berita Indonesia; dan menjadi panutan saya dalam kecerdasan iman. Panji Gumilang adalah ā€˜sosok hidup’ dan guru besar (syaykh, wali atau sufi) toleransi dan perdamaian, serta praktek hidup Pancasilais, yang malah diisukan gembong NII yang memandang Pancasila itu thogut. Saya pun telah menulis buku ASI (Al-Zaytun Sumber Inspirasi), tentang pesantren ini.

Lalu, September 2018, secara medis saya divonis kanker kolorektal atau kanker kolon, rektum, usus besar, usus dubur, stadium 3C, yang berarti sudah menyebar dan 80-90 persen akan segera mati, satu-dua tahun lagi. Saya sesungguhnya tidak terlalu kuatir tentang kematian, apalagi bila mati dalam kasih anugerah Tuhan. Tapi saya tidak menduga bahwa saya akan mati dengan secara medis dapat diprediksi (predictable, limited); Sebab selama ini saya berharap bisa mati tiba-tiba: Sore masih menulis, besok pagi sudah mati. Saya pun menghadapinya dengan sikap: Fight for Life, Ready to Die. Pasrah, tidak berjuang hidup, sama dengan bunuh diri, itu adalah dosa terhadap Roh Kudus; Life belongs to God. Die coming home to God. Sebelum operasi, saya berjuang dengan cara yang saya yakini bisa melawannya. Dan saya bersyukur karena jadwal operasi tertunda sehingga saya punya waktu hampir satu bulan berjuang sendiri. Tengah malam menjelang operasi jam 7 pagi, saya berdoa: ā€œMuzijat-Mu akan saya terima besok pagi, di mana kesembuhan saya adalah mudah bagi-Mu; Namun, kemenangan saya adalah mati di tangan-Mu.ā€ Tapi, ternyata Tuhan belum mengizinkan saya mati. Mengapa? Pasti karena saya belum siap menjadi ahli waris kerajanNya, sementara saya percaya, Dia sudah memilih saya sebagai penerima anugerah keselamatan sejak dalam kandungan ibu dan tidak akan membiarkan saya sebagai anak hilang! Dia akan mencari saya sampai ketemu dan membimbing pulang! Hingga saya benar-benar siap! Makanya, Dia masih memberi saya Hari-hari Emas (Ariari Omas), yakni hari-hari hidup duniawi saya harus berakhir dan fokus menjadi terang dan garam dunia sesuai kehendak-Nya.

Saya juga diberi kesempatan mendapat pengalaman hidup religius yang hebat sebagai orang Kristen Batak, yang secara tradisional takut kepada hantu (begu). Pengalaman religius itu, ketika saya baru pertama kali mengalami secara nyata bahwa hantu (begu, roh dunia) itu ada; Saya takut, merasakan, mendengar suaranya dan melihat sosoknya: Nyata! Sebelumnya saya masih beranggapan hantu itu hanya ilusi pikiran saja. Tapi, saya memaknainya, bahwa Tuhan menghendaki saya lebih memahami keberadaan Tondi (begu, roh) itu nyata. Jika roh dunia itu nyata, tentu (apalagi) Roh Kudus Allah itu lebih nyata dan berkuasa. Saya merasa ditanya oleh-Nya: ā€œApakah Anda bisa lebih takut, merasakan, mendengar dan melihat Roh Kudus itu lebih dari ketika Anda takut, merasakan, mendengar dan melihat hantu?ā€ Hal itu sangat mencerahkan kecerdasan iman saya bahwa Roh Kudus itu nyata dan harus selalu menjadi penguasa mutlak hati dan pikiran seseorang beriman. Sebelumnya, saya lebih sering keliru beranggapan bahwa Roh Kudus itu baru mau benar-benar berdiam dalam diri seseorang jika orang itu hidup tidak bercatat dan tidak bercela, kudus. Ternyata itu kekeliruan fundamental teologi (doktrin), karena Yesus lahir ke dunia bukan di tempat kudus atau Bait Kudus Allah, tetapi di tempat najis, kandang domba (Alkitabiah). Dia Anugerah yang mau datang di hati dan pikiran kita yang najis, supaya kita dikuasainya menjadi mampu kudus (dikuduskan). Sejak saat itu, saya merasakan kehebatannya: Setiap kali hati dan pikiran saya menyimpang dari kehendak-Nya (terpengaruh roh dunia, iblis, keinginan daging dan duniawi), saya ā€˜mengizinkan’ Roh Kudus mengendalikannya: ā€œJangan tinggalkan aku, selalulah berdiam dalam hati dan pikiranku.ā€ Jesus, I’m nothing whitout You! Ternyata sangat simpel, karena itu anugerah (khen, kharis, grace, gratia, gratis), tidak sesulit teologi (doktrin) para pendeta. Bahkan ada pendeta mengatakan hidup kudus itu sulit, harus berjuang! Ternyata mudah. Ya, sulit jika mengandalkan kemampuan sendiri, yang tidak mungkin tercapai seseorang tanpa Roh Kudus.

Dan, di tengah situasi itu, saya juga makin merasakan cinta kasih isteri saya, Adur Nursinta Boru Purba, ibu rumah tangga yang dari dulu sangat memahami profesi saya, juga ketiga putera yang baik dan ketiga menantu saya yang Boru ni Raja, serta cucu-cucu yang cerdas, kritis dan patuh. Sehingga saya bisa menyelesaikan keinginan hidup duniawi dengan seruan: KehendakMulah yang jadi, jangan kehendakku!ā€ Lalu saya menulis dan menulis sesuai panggilan saya. Ketika saya masih menjalani kemoterapi 12 kali, saya mulai menulis buku ini dengan hati sebagai pusat berpikir, dengan harapan bisa selesai 2-3 tahun sebelum saya meninggal. Saban hari saya menulis sejak pukul 02.00 subuh sampai pukul 16.00. Pada 31 Desember 2021 selesai dan siap cetak dummy. Pada 2 Februari 2022, dummy mulai saya kirimkan kepada beberapa tokoh di antaranya, pertama kepada Luhut Binsar Panjaitan. Tapi setelah proses panjang, awalnya oke namun tak ada ujung; tampaknya LBP berbeda perspektif dengan isi buku ini, buku yang progresif tentang Habonaran. Dapat saya pahami, dan saya hormati, apalagi beliau masih berada dalam pusaran kepentingan politik dan bisnis. Beliau juga baru mendampingi Raja dan Ratu Belanda saat berkunjung ke Danau Toba (2020).

Selain kepada LBP, dummy pre-order buku ini juga sudah sampai ke tangan beberapa tokoh, cendekiawan dan pendeta termasuk ke Kantor Pusat HKBP.

Buku ini berjudul: HITA BATAK, A Cultural Strategy: Mitologi, Sejarah, Kerajaan, Isolasi, Perang, Akulturasi dan Jatidiri Orde Hidup Baru. Sebuah buku ā€˜strategi kebudayaan’ yang menyelami turiturian atau mitologi (teogoni), sejarah, akulturasi dan jatidiri Batak, sebagai sebuah bahan renungan tentang perjalanan, strategi dan masterplan kehidupan suatu bangsa (Batak), termasuk pergulatan kolonisasi dan misionisasi. Sesuai temuan bukti catatan sejarah (1000-an refrensi), buku ini tidak mengultuskan misionaris Nommensen dengan melupakan ratusan misionaris lainnya. Setelah hampir 1 tahun masa ‘sosialisasi’ dan penyempurnaan, buku ini diluncurkan 18 Desember 2022, bertepatan saya genap berusia 70 tahun.

Suatu buku napak tilas untuk menjemput masa depan! Sekalian memenuhi amanat ayah-bunda dan terutama kakek-nenek yang mewarisi silsilah mitologi Si Raja Batak dan memberi saya nama: Binsar Halomoan, matahari terbit kesukaan; yang saya lengkapi dengan nama cucu pertama Asasira, berasal dari dua kata bahasa Batak: Asa (agar, supaya, permohonan supaya) dan Sira (garam), supaya menjadi garam; Menjadi gelar abadi saya Ompu Asasira. Maka lengkaplah nama Kristen Batak saya: Christian Binsar Halomoan, Ompu Asasira; Sebuah doa dan komitmen, supaya hidup dan mati sebagai orang Kristen Batak (Batak pengikut dan saksi Kristus) yang menjadi terang dan garam dunia, kendati pun hanya secercah noktah cahaya kecil sesawi di belantara ā€˜kenikmatan kegelapan’ dunia. Horas tondi madingin, pir tondi matogu. Horas dalam kekuatan Roh Kudus. Amin.

Cuplikan Box (Footnotes) Buku Hita Batak A Cultural Strategy, Jilid 1 Bab 2.3. Narasi Mitologi Si Raja Batak.

1 KOMENTAR

  1. Mantap bukunya Amang, utk bekal kita, dan generasi yg akan datang, sehingga cerita, budaya orangŹ» kita Batak dapat didapat melalui buku ini walaupun baru sebahagian saja, tapi setidaknya sudah dapat kita miliki. Dimana bukunya bisa/dapat diperoleh.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini