Tiga Jam Bersama Prabowo: Ketulusan, Kontradiksi, dan Kekuasaan

Wawancara Terbuka Presiden Prabowo dengan Tujuh Jurnalis

 
0
52
Wawancara Terbuka Presiden Prabowo dengan Tujuh Jurnalis
Presiden Prabowo mendengar, menjawab, bahkan membuka diri - tapi tak semua keresahan publik terjawab tuntas.

Tiga jam tanpa sensor, tanpa naskah, dan tanpa pengaman narasi. Najwa Shihab, Uni Lubis, hingga Alfito Deannova bertanya tanpa tedeng aling-aling. Prabowo tampil dengan ketulusan, namun tersandung kontradiksi. Ia mendengar, menjawab, bahkan membuka diri – tapi tak semua keresahan publik terjawab tuntas. Ketika ketulusan diuji logika, dan kekuasaan ditantang intelektual sipil, inilah jam-jam di mana kekuasaan dipanggil pulang ke nuraninya.

Ada yang berbeda dari Presiden Prabowo Subianto di hari Minggu, 6 April 2025. Tidak ada podium. Tidak ada ajudan yang menyela. Tidak ada pembatas antara kepala negara dan tujuh jurnalis senior yang datang dari berbagai platform media: televisi, online, dan cetak. Semua duduk sejajar. Semua bertanya bebas. Bahkan beberapa dengan nada sangat tajam.

Dan yang paling penting: tidak ada daftar pertanyaan yang diminta terlebih dahulu oleh pihak Presiden. Tidak ada sensor. Tidak ada batasan tema. Semua pertanyaan muncul langsung di tempat. Spontan, bebas, dan tak terduga. Dalam iklim politik yang kerap penuh pengamanan dan formalitas, forum ini terasa langka.

Dan Prabowo, seperti yang dikatakan Uni Lubis di akhir sesi, menjawab dengan tenang.

Bukan tenang yang steril. Tapi tenang yang lahir dari kesadaran bahwa wawancara ini bukan panggung pertunjukan, melainkan forum evaluasi moral. Di sinilah kekuasaan diuji, bukan lewat polling elektoral, tapi lewat konsistensi kata dan logika jawaban.

Selama lebih dari tiga jam, publik disuguhkan beragam wajah Prabowo. Yang satu: jenderal tua yang masih percaya pada idealisme kampung dan telur rebus. Yang lain: kepala negara yang gelisah, retoris, sesekali normatif. Ia terbuka, tapi tidak sepenuhnya telanjang. Ia mengakui kelemahan, tapi belum tentu siap dikoreksi.

Ketika Najwa Shihab mempertanyakan RUU TNI yang disusun secara diam-diam, dan menyinggung kekhawatiran publik atas pelebaran peran militer, Prabowo menjawab: “Demo itu biasa.” Kalimat yang normatif. Tapi kemudian ia menyelipkan: “Kalau aparat abusif, harus kita proses.” Ini penting, karena di antara banyak pemimpin, tidak semua mengakui potensi penyalahgunaan kekuasaan.

Uni Lubis lebih tajam lagi. Ia mengangkat soal keganjilan prioritas legislasi: kenapa mempercepat revisi UU TNI, bukan UU Perampasan Aset? Kenapa draf tidak dibuka ke publik? Uni Lubis menggugat bukan dari sisi emosi, tapi dari logika dan integritas tata negara. Prabowo tetap menjawab, tetap sopan, namun jawabannya belum menyentuh substansi utama: transparansi.

Dari sisi bahasa tubuh, Prabowo banyak tersenyum tipis. Nada bicaranya naik-turun, kadang seperti bercerita, kadang seperti memberi kuliah, kadang seperti sahabat lama yang sedang membuka isi hati. Di sinilah kekuatan sekaligus kekurangannya.

Ia unggul dalam membangun emosi dan narasi besar. Ia bicara soal Danantara, swasembada pangan, anak-anak miskin, hingga makan telur rebus di dapur desa. Tapi saat masuk pada pertanyaan detail – rencana eksekusi, skema anggaran, batas waktu implementasi – ia cenderung kabur, atau mengalihkannya ke konteks besar yang filosofis.

Advertisement

Para jurnalis yang hadir pun punya warna masing-masing. Alfito Deannova mengkritik strategi komunikasi pemerintah yang lemah, bahkan menyebut tim komunikasi Prabowo “tidak cakap”. Tapi ia mengapresiasi Prabowo yang tidak menggunakan buzzer. Sutta Dharmasaputra membawa perhitungan ekonomi dan menantang presiden menilai dirinya sendiri: “Kalau dari 1 sampai 10, Bapak di angka berapa?”

Sutta tidak meminta angka untuk sensasi, tapi untuk menggali tingkat kesadaran dan self-evaluation seorang kepala negara. Dan Prabowo menjawab: “Mungkin 6. Tapi saya terus kejar.” Jawaban yang tidak defensif, tapi juga tidak terlalu reflektif. Cukup, tapi belum mengubah persepsi.

Lalu ada Retno Pinasti yang membawa cerita dari Antartika hingga dapur rakyat. Narasinya ringan tapi sarat makna. Ia mengajukan pertanyaan tentang bagaimana memastikan laporan dari bawah bukan hanya laporan yang menyenangkan Presiden. Prabowo, dalam momen itu, bicara panjang soal sistem digital, rekrutmen manajer, dan idealisme para penyuluh gizi yang rela tidur di dapur demi menjalankan tugas.

Dari sana kita tahu, bahwa ada ruang di hati Prabowo yang sungguh-sungguh percaya pada pengabdian. Tapi kita juga tahu, ruang itu belum dibarengi dengan sistem yang kuat untuk menjaga agar idealisme itu tidak dimakan rutinitas birokrasi.

Wawancara ini juga memperlihatkan bahwa Prabowo tidak takut dikritik. Ia bahkan menyatakan, “Saya senang pertanyaannya spontan. Saya berusaha jawab semampu saya.” Kalimat itu sederhana, tapi di tengah iklim kekuasaan yang kerap sensitif terhadap kritik, ia terasa jujur dan patut dicatat.

Namun semakin panjang wawancara berlangsung, publik tidak hanya melihat niat baik. Mereka mulai menangkap celah-celah kontradiksi dalam logika kekuasaan dan narasi kebijakan yang disampaikan. Di antara kisah personal dan mimpi besar, terdapat beberapa bagian yang justru memperkuat keresahan masyarakat sipil – karena belum dijawab dengan tuntas, bahkan menyimpan nada yang bertolak belakang antara ucapan dan realita kebijakan.

Salah satunya adalah pernyataan Prabowo soal demonstrasi. Ketika ditanya soal protes publik terhadap RUU TNI dan Kepolisian yang diproses tanpa partisipasi, ia menanggapi ringan: “Coba perhatikan secara obyektif dan jujur. Apakah demo-demo itu murni atau ada yang bayar? Harus obyektif dong.” Pernyataan ini, meski disampaikan dengan nada santai, melukai suara sipil yang murni. Ia mengaburkan perbedaan antara gerakan demokratis dan aksi politis, dan tanpa sadar mendelegitimasi ekspresi konstitusional rakyat. Dalam demokrasi yang sehat, kritik bukan hanya wajar – tapi penting.

Kontradiksi lain muncul saat Prabowo menanggapi isu fluktuasi pasar. Ia menyatakan tidak terlalu ambil pusing dengan pasar saham yang naik turun sepanjang fundamental ekonomi Indonesia kuat, ”Kita punya kekuatan dan kita akan investasi. Orang selalu bicara kalau pasar saham jatuh. Kalau pasar saham naik, orang diam. Waktu sempat berapa hari yang lalu kan turun. Iya. Wow wow wow. Ya ekonomi Indonesia kacau, gelap, Prabowo gagal, bla bla bla. Begitu berapa hari naik lagi diam, enggak ada yang komentar.” “Jadi makanya, saya itu enggak terlalu takut sama pasar modal. Ya karena Indonesia punya kekuatan itu yang kita sadari, kita jangan punya rasa rendah diri,” lanjutnya.

Namun pernyataan ini menjadi ironi ketika publik tahu bahwa Presiden sendiri sedang membentuk Danantara – lembaga dana abadi negara yang kelak akan banyak bermain di pasar modal dan instrumen global. Jika pasar dianggap tidak penting, bagaimana publik bisa yakin bahwa lembaga seperti Danantara dikelola dengan sensitivitas yang memadai terhadap risiko investasi?

Polemik berlanjut saat menyentuh keterlibatan Tony Blair di dalam Danantara. Prabowo menegaskan bahwa Tony Blair hanyalah penasihat. Tapi masyarakat sipil bertanya: Jika ini dana kedaulatan nasional, mengapa harus menampilkan wajah asing sebagai figur simbolik? Mengapa kekuatan internal bangsa ini tampaknya masih belum dipercaya mengelola kekayaannya sendiri?

Keresahan makin kentara ketika Najwa Shihab dan Uni Lubis menggugat proses legislasi yang tertutup. RUU TNI dan RUU Kepolisian berjalan cepat tanpa partisipasi, sementara RUU Perampasan Aset masih terseok-seok. Prabowo menjawab dengan frasa yang berulang: “Akan kami perhatikan. Saya akan kaji. Semua akan dievaluasi.” Tapi publik tidak sedang menagih perhatian. Publik menuntut komitmen konkret, keterbukaan dokumen, dan batas waktu.

Pada isu reformasi hukum, Prabowo tampak menyadari bahwa hukum kita belum tajam ke atas. Ia mengatakan ingin memiskinkan koruptor, dan menyebut hakim harus digaji besar. Tapi itu pernyataan dari masa kampanye. Kini, publik menunggu kerja hukum, bukan kutipan pidato.

Terakhir, pengakuan jujur Prabowo tentang buruknya komunikasi pemerintah seolah menyentuh simpati publik: “Saya terlalu fokus kerja. Komunikasi saya abaikan. Itu salah saya.” Namun pengakuan itu datang terlambat. Di tengah banjir disinformasi, di saat ruang publik dikuasai buzzer dan noise politik, negara justru diam. Dan rakyat sudah terlalu sering dibiarkan menafsirkan kebijakan sendiri – tanpa juru bicara yang jujur, transparan, peka, dan punya empati.

Semua ini menunjukkan bahwa meski wawancara ini membuka pintu, masih banyak ruangan yang belum tersentuh. Ada jendela yang masih tertutup. Ada pertanyaan yang masih digantung.

Tapi setidaknya, Presiden Prabowo hadir. Ia tidak lari dari forum. Ia duduk, menjawab, menyimak, bahkan ketika dikritik secara terbuka. Ia tidak marah. Ia tidak menginterupsi. Ia tidak membentak. Dan itu, dalam demokrasi kita hari ini, adalah permulaan yang layak dicatat.

Karena politik bukan soal siapa yang paling kuat. Tapi soal siapa yang paling siap mendengar, menerima, dan mengubah diri.

Dan tiga jam bersama Prabowo menunjukkan satu hal: ia belum selesai. Tapi ia sedang mencoba. (Atur Lorielcide/TokohIndonesia.com)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini