Anomali Ahok dan Parpol Ngambang

[OPINI] – CATATAN KILAS – Anomali dukungan partai politik (parpol) kepada calon perseorangan (independen) dalam Pilkada tidak terlarang. Walaupun hal itu akan menimbulkan pertanyaan tentang eksistensi parpol tersebut, baik secara ideologis, tujuan dan terutama basis massanya.Catatan: Ch. Robin SimanullangWartawan TokohIndonesia.com
Kasus aktual yang menarik perhatian adalah ’kehebatan’ Gubernur Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) memilih maju kembali dalam Pilgub DKI 2017 melalui jalur perseorangan. Ahok saya pandang hebat karena secara sadar ’meninggalkan’ PDI Perjuangan yang telah mendukungnya jadi gubernur dan diyakini akan mencalonkannya kembali. Ahok lebih memilih relawan Teman Ahok yang berjanji sanggup mengumpulkan satu juta KTP dukungan kepadanya, daripada PDI Perjuangan yang sudah jelas berhak mengusung calon sendiri.
Pilihan Ahok maju lewat jalur perseorangan mestinya kita apresiasi suatu pilihan yang berani dan hebat. Hal itu bermakna, dia tidak mau tergantung (terikat) pada dukungan parpol (terorganisir). Dia mau bebas dari pengaruh dan mekanisme parpol, baik dalam proses pencalonan maupun dalam menjalankan pemerintahan. (Hal ini sudah Ahok lakoni ketika keluar dari Gerindra).
Ahok lebih memilih dukungan rakyat secara perorangan, independen dan massa mengambang. Ahok tampaknya sudah mengukur keterpilihannya atas dukungan rakyat Jakarta secara perorangan, independen dan massa mengambang tersebut. Sehingga Ahok begitu yakin atas pilihan politik perseorangan (independen) tersebut. Hebat!
Kehebatan Ahok tersebut, semakin mengarus besar lantaran beberapa elit parpol meresponnya dengan kegalauan yang amat sangat. Sampai-sampai ada yang bilang langkah Ahok dan Teman Ahok itu sebagai langkah deparpolisasi. Seorang Ahok dianggap mampu melakukan gerakan deparpolisasi. Sedemikian luar biasa hebatnya Ahok, melambungkan kekuatan politik perseorangan yang dibahasakan dengan kata independen.
Maka, dalam rangka pembangunan politik (demokrasi) yang makin berkualitas dan bermuara pada kesejahteraan rakyat, ’kehebatan’ Ahok tersebut pantas diapresiasi. Namun di sisi lain, adanya kegalauan elit parpol yang menganggap hal itu deparpolisasi justru sangat memprihatinkan. Kita berharap kegalauan ini hanya diderita beberapa oknum elit politik saja, tidak menjadi sindrom bagi parpol sebagai organisasi politik yang mengemban tugas melahirkan pemimpin-pemimpin yang berkualitas mengelola kekuasaan negara dan pemerintahan.
Kalaupun ada parpol yang sempat galau, kiranya mereka lekas siuman. Jangan (lagi) menganggap langkah Ahok sebagai ancaman deparpolisasi. Melainkan harus diikhlasi sebagai langkah positif untuk membangun demokrasi Pilkada yang lebih kompetitif dan berkualitas. Segeralah kembali kepada khittahnya parpol. Yakni, parpol yang mampu melahirkan (kader) pemimpin berkualitas mengelola kekuasaan (policy) negara dan pemerintahan.
Dengan tidak dibebani rasa sakit hati, kebencian dan dendam (karena merasa dikhianati, misalnya), mestinya parpol bangkit penuh semangat (terpacu) untuk melahirkan (merekrut) kader-kader parpol yang profesional untuk ikut bertarung dalam pemilu, dalam konteks ini, Pilgub DKI 2017.
Publik, terutama massa pendukung parpol, menunggu langkah konkrit parpol untuk mengajukan cagub-cawagub berkualitas. Sehingga rakyat Jakarta mempunyai pilihan-pilihan cagub-cawagub yang kompetitif. Ini tantangan buat parpol-parpol terorganisir yang telah memiliki basis massa akar rumput (grassroots).
Amat menyedihkan bila ada pemimpin parpol yang tidak meyakini adanya dukungan rakyat (grassroots) kepada parpolnya. Parpol itu bisa bertahan hidup (eksis) pasti atas dukungan rakyat (real). Parpol yang sudah kuat (teruji) sudah pasti memiliki basis massa (grassroots) yang setia.
Janganlah terbawa kepada anggapan yang menyesatkan, seolah-olah hanya calon perseorangan yang (dapat mengklaim) mendapat dukungan dari rakyat banyak. Justru parpollah yang sudah teruji mendapat dukungan rakyat. Calon perseorangan itu mempunyai peluang dari dukungan massa mengambang (floating mass).
Floating mass itu, tentu masih mengambang. Artinya, belum tentu mereka semua tumpah mendukung calon perseorangan (independen), melainkan juga sebagian akan memilih calon berkualitas yang diajukan parpol.
Dalam konteks inilah kita melihat jika ada anomali calon perseorangan justru mendapat dukungan dari parpol. Pimpinan parpol bersangkutan pasti menyadari basis kekuatan calon perseorangan itu adalah massa mengambang. Boleh saja dukungan parpol tersebut didasari harapan kiranya massa mengambang itu bersimpati dan kelak menjadi calon massa pendukungnya.
Apalagi bila parpol itu (karena masih parpol baru atau faktor lain) memang belum memiliki basis massa akar rumput (grassroots). Langkah mendukung calon perseorangan (massa mengambang) itu sah-sah saja. Dukungan partai politik (parpol) kepada calon perseorangan (independen) dalam Pilkada tidak terlarang. Walaupun hal ini akan menimbulkan pertanyaan tentang eksistensi parpol tersebut, baik secara ideologis, tujuan dan terutama basis massanya.
Inilah tantangan bagi parpol. Apakah parpol-parpol yang sudah memiliki basis massa akar rumput (grassroots), apakah mampu mengajukan calon berkualitas dan kompetitif? Atau justru ikutan lebih memilih mendukung calon perseorangan yang mendapat dukungan sebagian massa mengambang? Catatan Kilas: Ch. Robin Simanullang | Opini TokohIndonesia.com | Tokoh.id