Arogansi Jerumuskan KPK

 
0
128
Arogansi Jerumuskan KPK
Arogansi Jerumuskan KPK | Tokoh.Id | Al Amin

[OPINI] – CATATAN KILAS Catatan Kilas Ch. Robin Simanullang – Birahi politik dan arogansi oknum komisioner KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) telah menjerumuskan lembaga negara independen dan super body itu ke titik paling lemah sejak kelahirannya 2004. Pelajaran yang amat mahal untuk mensterilkan KPK dari arogansi dan birahi politik.

Penegakan hukum yang diwarnai birahi politik, arogansi dan balas dendam telah bertumpuk kumuh dalam kisruh KPK-Polri yang terjadi saat ini. Diawali nafsu politik oknum pimpinan KPK yang tidak kesampaian menjadi calon wakil presiden pada Pilpres 2014 lalu. Ditimpali lagi arogansi oknum pimpinan KPK yang merasa memiliki kekuasaan dan kewenangan luar biasa secara independen, melebihi Presiden/Kepala Negara karena dia bisa menangkap dan menersangkakan presiden.

Jika diselami lebih dalam, kisruh kali ini bukan semata antara KPK-Polri, melainkan antara KPK dengan Presiden. Sejarah kehidupan ketatanegaraan Indonesia akan mencatat bahwa ada pimpinan lembaga negara di luar konstitusi (ad hoc) yang telah dengan gagah berani melawan kebijakan presiden (prerogatif) untuk menunjuk pembantunya dengan cara-cara bertentangan dengan etika hubungan kelembagaan antarlembaga negara. Arogan!

Barangkali, kutipan berikut bisa mengilustrasikan indikasi arogansi dan birahi politik yang telah mengotori kewenangan (kekuasaan) KPK yang luar biasa (extraordinary measures). “Kalau saya jadi menteri, siapa yang menangkap presiden atau wakil presiden jika bersalah,” kata Abraham saat peluncuran Kanal TV KPK di Kota Tua, Jakarta Barat, Minggu, 17/8/2014. Kemudian birahi politiknya terlontar sesaat setelah menyosialisasikan Anti Corruption Film Festival (ACFFest) 2014 di Gedung Mulo, Makassar, 20/9/2014, Abraham Samad mengatakan: “Saya mungkin tidak akan bergabung dalam kabinet Jokowi-JK, tapi saya akan mencalonkan diri jadi presiden di tahun 2019,” kata Samad ambisius. Kendati kemudian ketika dikonfirmasi oleh pimpinan KPK lainnya sebelum dibentuk komite etik, hal ini disebutnya hanya kelakar.

Nafsu politik oknum pimpinan KPK tersebut sesungguhnya sudah ’dilupakan’ demi keberlangsungan pemberantasan korupsi berlandas pada penegakan hukum berkeadilan. TokohIndonesia.com dan Majalah Berita Indonesia Edisi 93 sudah mengingatkan tentang nafsu politik oknum pimpinan KPK itu.

Namun, sikap dan langkah KPK yang secara tiba-tiba menetapkan dan mengumumkan seorang jenderal polisi yang sehari sebelumnya telah diajukan Presiden sebagai calon tunggal Kapolri, telah menghardik orang-orang yang selama ini ’menyembunyikan’ birahi politik oknum pimpinan KPK itu. Mereka pun akhirnya bersuara membeberkan kebenaran yang menguak kemunafikan itu.

Berawal 10 Januari 2015, ketika Presiden Jokowi memilih Komjen Budi Gunawan, sebagai kandidat tunggal Kapolri menggantikan Jenderal Sutarman. Presiden mengajukan ke DPR untuk menjalani uji kelayakan dan mendapat persetujuan DPR. Keputusan Presiden tersebut mengundang pro-kontra karena keterkaitan BG dengan kasus rekening gendut pejabat Polri, di samping karena BG pernah menjadi ajudan Presiden Megawati (?).

Informasi yang diperoleh Wartawan TokohIndonesia.com dari orang dekat istana, bahwa KPK telah menandai nama Komjen Budi Gunawan dengan warna merah, sehingga disarankan untuk tidak diangkat menjadi menteri atau Kapolri. Lalu Presiden meminta kepada KPK bukti keterlibatan BG dalam tindak pidana korupsi sehingga ditandai warna merah. Tapi KPK tak bersedia memberikan bukti dengan dalih hal itu rahasia penyidikan. “Presiden Jokowi agak kaget atas dalih oknum pimpinan KPK itu,” papar orang dekat Istana itu. Rasanya KPK mau bermain mendikte dan menyandera Presiden dengan catatan merah tanpa mau memberikan bukti.

Sementara, di lain pihak Kompolnas (yang diamanatkan UU mengajukan calon Kapolri kepada Presiden) saat mengajukan nama Budi Gunawan sudah melampirkan klarifikasi Bareskrim tentang rekening gendut beberapa petinggi Polri, hal mana Budi Gunawan dinilai clear. Berdasarkan hal itu, Presiden Jokowi berketetapan memutuskan Komjen Budi Gunawan sebagai calon tunggal Kapolri.

Lalu, di luar dugaan KPK bereaksi, secara mengejutkan dan berapi-api, tiba-tiba menggelar konfrensi pers mengumumkan Budi Gunawan sebagai tersangka korupsi saat menjabat Kepala Biro Pembinaan Karier Deputi Sumber Daya Manusia Polri periode 2003-2006 dan jabatan lainnya di kepolisian. Ketua KPK Abraham Samad mengungkapkan Komjen BG sejak lama sudah mendapatkan catatan merah dari KPK.

Advertisement

 

Beberapa pengamat dan LSM yang menamakan diri aliansi masyarakat antikorupsi menyatakan dukungan kepada KPK atas penetapan BG sebagai tersangka. Opini publik pun dibentuk untuk mendukung KPK dan menista BG (Polri). Namun, tidak semua yang mau terprovokasi berpikir bias. Ada satu-dua yang berani tampil dengan ’oposisi berpikir’ dan selalu berdiri untuk perubahan.

Beberapa pengamat dan LSM yang menamakan diri aliansi masyarakat antikorupsi menyatakan dukungan kepada KPK atas penetapan BG sebagai tersangka. Opini publik pun dibentuk untuk mendukung KPK dan menista BG (Polri). Namun, tidak semua yang mau terprovokasi berpikir bias. Ada satu-dua yang berani tampil dengan ’oposisi berpikir’ dan selalu berdiri untuk perubahan.

Mereka di antaranya, Prof. Romli Atmasasmita, SH, LLM, Taufiequrachman Ruki dan Prof. Dr. Adnan Buyung Nasution. Prof. Romli Atmasasmita, SH, LLM, adalah ‘Arsitek KPK’ selaku Ketua Tim Pembentukan KPK (UU KPK, UU Tipikor, UU Antikorupsi) dan Ketua Pansel KPK Jilid I (penyusun persyaratan dan tatacara pemilihan pimpinan KPK). Dalam buku bigrafi hukumnya berjudul ’Jalan Keadilan di Tengah Kezaliman’ dia menguraikan latar belakang dan dinamika perdebatan ketika membentuk KPK dengan kewenangan luar biasa. Dialah konseptor kewenangan luar biasa KPK itu. Pernyataan korupsi sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime) pertama kali juga dari pemikiran Romli. Sehingga mesti diberantas dengan kewenangan luar biasa (extraordinary measures) pula.

Satu lagi yang tidak mau bias membela KPK dan berani tampil dengan ’oposisi berpikir’ dan selalu berdiri untuk perubahan adalah Taufiequrachman Ruki, Ketua KPK Jilid I, seorang jenderal polisi yang sebelum terpilih jadi Ketua KPK sudah ikut terlibat dalam proses pembentukan KPK. (Maka sangat pantas jika Presiden Jokowi mengangkatnya sebagai Plt. Ketua KPK untuk menyelamatkan KPK). Sedangkan yang satu lagi Prof. Dr. Adnan Buyung Nasution, pengacara senior dan pendiri Lembaga Bantuan Hukum (LBH) yang juga ikut dalam tim pembentukan KPK.

Menurut Prof. Romli Atmasasmita, penetapan BG sebagai tersangka secara tiba-tiba setelah Presiden memutuskannya sebagai calon tunggal Kapolri, suatu bentuk arogansi pemberantasan korupsi. Romli melihat bahwa dalam kehidupan ketatanegaraan di Indonesia sejarah akan mencatat ada pimpinan lembaga negara di luar konstitusi yang telah dengan gagah berani melawan kebijakan presiden untuk menunjuk pembantunya dengan cara-cara bertentangan dengan etika hubungan kelembagaan antarlembaga negara.

Prof. Romli menjelaskan, jika KPK sejak 2009 melakukan proses koordinasi dan supervisi dan mengambil-alih kasus BG, tentu tidak harus menunggu sampai lima tahun lebih untuk menetapkannya sebagai tersangka tanpa harus berseberangan dengan presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. Romli memandang langkah pimpinan KPK menetapkan BG sebagai tersangka dilakukan dengan cara-cara yang kurang pantas dari sisi hubungan antarlembaga ketatanegaraan.

“Terlepas dari benar dan tidak, perolehan alat bukti yang cukup sesuai KUHAP penetapan BG sebagai tersangka, tetap saja dalam pandangan saya merupakan langkah yang bertentangan dengan semangat kenegaraan yang bersumber pada Pancasila sebagai landasan ideologi dan filsafat hidup bangsa Indonesia,” kata arsitek KPK itu.

Apalagi kemudian terbukti pada 16 Februari 2015, Hakim Tunggal PN Jakarta Selatan Sarpin Rizal mengabulkan sebagian gugatan Budi Gunawan dan menyatakan penetapannya sebagai tersangka oleh KPK tidak sah dan tidak berdasar hukum. Menurut Romli, hal ini juga mengindikasikan penerapan hukum pemberantasan korupsi di KPK perlu diperbaiki.

Romli dalam percakapan dengan Wartawan TokohIndonesia.com mengaku kira-kira tiga bulan sebelumnya telah meng-sms semua komisioner KPK untuk lebih berhati-hati dan selalu berpegang pada ketentuan hukum yang benar dalam menjalankan kewenangannya. Jika tidak, kata Romli dalam SMS-nya, nanti kalian kualat.

Dia mengisahkan sehebat apa pun lembaga yang sama (KPK) di negara lain juga termasuk di Hong Kong (salah satu lembaga studi banding yang dirujuk ketika mempersiapkan pembentukan KPK) yang dikenal keberhasilannya, tidak pernah ada satu langkah pun yang (berani) bertentangan dengan seorang gubernur Hong Kong (pemimpin negara, sebelum termasuk bagian dari pemerintahan China).

Romli menyebut langkah KPK terhadap BG sudah merupakan langkah kesekian kalinya setelah HP (mantan Ketua BPK) yang persis pada hari ulang tahun dan memasuki masa pensiun diumumkan sebagai tersangka dan sampai sekarang belum jelas bagaimana kasusnya. Begitu pula tersangka lain, di antaranya SDA (Menteri Agma aktif saat itu) sudah lama dijadikan tersangka, tapi sampai saat ini belum jelas kelanjutannya.

Cara kerja seperti ini juga disesalkan Taufiequrachman Ruki, Ketua KPK Jilid I. “Pada era kami (KPK Jilid I) hal seperti itu tidak boleh terjadi. “Jika seseorang ditetapkan tersangka harus sudah dengan empat atau lima bukti yang sah, walau ketentuan menyebut dua bukti yang cukup. Sebab jika satu-dua bukti dipatahkan, masih ada dua-tiga bukti lain,” jelas Ruki.

Selain itu, Ruki mengatakan jika seseorang sudah ditetapkan tersangka, tidak boleh digantung-gantung statusnya. “Paling lambat dua bulan sudah harus dilimpahkan ke pengadilan,” tegas Ruki.

Pernyataan Ruki ini juga dibenarkan Komisaris Hendy Kurniawan, mantan Penyidik KPK yang telah mengundurkan diri dengan alasan kondisi internal KPK sudah tak kondusif. Dia enam tahun bertugas di KPK yakni pada era Taufiequrachman Ruki, Antasari Azhar dan satu tahun era Abraham Samad. Hendy menjelaskan, pada era Ruki dan Antasari KPK taat pada standar operasi prosedur (SOP), tapi pada era Samad dia merasakan kondisi yang berbeda.

Menurut Hendy kepada wartawan di DPR, Samad sering mengabaikan SOP. Dia memberi contoh, penetapan Miranda Goeltom jadi tersangka. Padahal saat gelar perkara belum ada alat bukti, tetapi Samad serta-merta mengumumkan kepada publik bahwa Miranda tersangka. “Saya ini jenderal, saya yang bertanggungjawab, kamu tinggal laksanakan,” tegas Samad (sebagaimana ditirukan Hendy), ketika penyidik mempertanyakannya.

Sementara, Adnan Buyung Nasution mengaku kerap menyampaikan kritik agar lembaga antkorupsi yang punya wewenang luar biasa itu tetap sesuai marwahnya. Bahkan dia pernah bilang, kalau begini terus bubarkan sajalah KPK. ”Tapi dalam hati kecil, saya nangis. Saya ingin pertahankan KPK, karena kita perlu memberantas korupsi,” kata Adnan Buyung

Adnan menegaskan KPK harus tetap ada, namun harus bersih dari orang-orang yang ingin menjadikannya sebagai alat untuk tujuan tertentu. Menurut Buyung, di KPK itu haruslah orang-orang yang punya integritas tinggi, orang-orang yang punya wisdom (kearifan), orang-orang yang tidak lagi mempunyai kepentingan untuk tampil panggung, untuk selalu show off (unjuk gigi), merasa jadi jagoan dan berbuat sewenang-wenang. Ke depan, harap Buyung, hal itu bisa terwujud.

Disalahgunakan
Kembali pada penetapan BG tersangka. Tentang rekening gendut, menurut Romli, masyarakat tentu bertanya-tanya apakah rekening gendut berdasarkan data PPATK tidak ada di kalangan pati instansi lain atau di kalangan kejaksaan dan pengadilan?
Menurut Romli, di sinilah dituntut kejujuran dan transparansi pimpinan PPATK dan KPK untuk secara konsisten dan konsekuen seperti terhadap institusi Polri. “Jika negara tercinta ini mau dibereskan oleh PPATK dan KPK, saya dukung sepenuhnya tanpa ada tebang pilih lagi!” kata Romli. Dia mengingatkan, hukum harus ditegakkan dan berlaku sama kepada semua pihak sekalipun langit akan runtuh!

Dia menilai hati nurani, adat istiadat, dan keluhuran budi sebagai orang Timur warisan nenek moyang kita kini sudah hancur lebur. “Manusia tentu ada alpa dan ada sengaja. Itu telah menjadi fitrahnya sehingga jika kedua niat jahat tersebut dilakukan pasti ada akibat yang merugikan baik individu lain, masyarakat atau negara,” ucapnya.

Dia mencermati bahwa penetapan tersangka dalam praktik sering dilakukan secara simbolik yang dibalut dengan hukum, kini telah merupakan praktik yang menjurus kepada keharusan bukan sesuatu yang ditabukan karena cara-cara tersebut lebih populer dibandingkan dengan proses peradilan dengan prinsip ’due process of law’, yang dianggap lamban.

“Profil seseorang yang ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK secara simbolik dan kental muatan politis tersebut secara kasat mata telah dipertontonkan disertai arogansi sekalipun tersangka adalah pejabat negara yang telah mengabdi puluhan tahun kepada bangsa dan negara dibandingkan (mungkin) pengabdian pimpinan KPK itu sendiri,” kata Prof. Romli.

Dia melihat bahwa kini pepatah,”karena nila setitik, rusak susu sebelanga” tidak terbantahkan. Pangkat, jabatan, pengalaman dan tanda jasa seketika sirna bak dimakan api yang mengganas baik terhadap diri maupun seluruh keluarganya. “Apakah memang pola penegakan hukum dan pemberantasan korupsi seperti ini yang dikehendaki oleh pendiri negara ini dan khususnya pembuat/penyusun UU Tipikor dan UU KPK?” tanya Ketua Tim Penyusun UU Tipikor dan UU KPK itu. Dan dijawabnya sendiri: “Jawabannya tidak!”

Prof. Dr. Romli Atmasasmita, SH, MH sebagai arsitek KPK sangat miris melihat kenyataan yang dia amati terutama sejak kiprah KPK Jilid III. Menurutnya, ternyata bahwa pernyataan korupsi sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime) telah disalahgunakan sebagai dalih untuk menjerakan secara melanggar hukum.
Menurut pengamatan guru besar hukum pidana internasional tersebut, KPK telah menggunakan kewenangannya yang luar biasa  (extraordinary measures) itu nyaris tanpa hati nurani, melanggar etika dan kesusilaan sebagai bangsa timur yang dikenal dengan keluhuran budinya sejak dulu.

Menurutnya, jargon pemiskinan koruptor disalah-artikan bahkan disalahgunakan dengan dalih pencucian uang untuk mempermalukan dan membinasakan siapa pun yang ditetapkan sebagai koruptor oleh KPK. “Siapa pun jika telah diduga atau ditetapkan sebagai tersangka korupsi oleh KPK, serta-merta mereka menjadi ’mayat hidup’ alias zombie tanpa ada toleransi,” kata Romli.

Bahkan, kata Romli, siapa pun yang melakukan reaksi atas perlakuan KPK otomatis dicap antipemberantasan korupsi. “Bahkan sampai penasihat hukum tersangka korupsi pun diperlakukan sama dengan kliennya dengan dalih menghalang-halangi proses penyidikan,” ucap Romli miris. Ini pelajaran amat mahal. KPK harus dibersihkan dari dari arogansi penegakan hukum pemberantasan korupsi dan ulat birahi politik. Catatan Kilas Ch. Robin Simanullang | Redaksi TokohIndonesia.com |

© ENSIKONESIA – ENSIKLOPEDI TOKOH INDONESIA

 

Tokoh Terkait: Adnan Buyung Nasution, Adnan Pandu Praja, Bambang Widjojanto, Ch. Robin Simanullang, Joko Widodo, Taufiequrachman Ruki, | Kategori: Opini – CATATAN KILAS | Tags:

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini