Ketika Amerika Hendak Mendengar

 
0
38
Majalah Berita Indonesia Edisi 64
Majalah Berita Indonesia Edisi 64 - Ketika Amerika Hendak Mendengar

VISI BERITA (Amerika Mau Mendengar, Februari 2009) – Judul ini kita petik dari pernyataan Presiden Amerika Serikat Barack Husein Obama. Obama menjanjikan Amerika baru kepada dunia, Amerika yang mendengarkan suara dunia. “Apa yang akan Anda saksikan adalah seseorang yang mau mendengarkan,” kata Obama, sebagaimana dirilis dalam siaran pers Kedubes, AS, di Jakarta Kamis 29/1/09, mengutip wawancara dengan jaringan televisi satelit Al-Arabiya yang berbasis di Dubai, Uni Emirat Arab (Senin 26/1/09).

Baca Online: Majalah Berita Indonesia Edisi 64 | Basic HTML

Obama juga mengungkapkan pesannya kepada utusan khususnya ke Timur Tengah, George Mitchell, untuk mulai dengan mendengarkan, karena di masa lalu sering kali Amerika Serikat mulai dengan mendikte. “Terlalu sering AS memulai dengan mendikte di masa lalu pada sejumlah isu,” kata Obama. “Jadi, kami akan mendengarkan. Dia (Mitchell) akan bicara dengan semua partai yang terlibat. Dari sana kami akan menyusun respons spesifik,” tegas Obama seperti dikutip Washington Post, Selasa (27/1/2009).

Pernyataan Presiden Obama ini sangat tegas mencerminkan perubahan pola pendekatan Gedung Putih dalam menjalin kerjasama antarnegara. Sekaligus memancarkan harapan akan terbukanya corak kemitraan antarnegara yang lebih baik dalam harmoni kesetaraan. Obama telah mengumandangkan kepada dunia bahwa Amerika sudah sedang berubah.

Berubah dari kesombongan sebagai negara adikuasa satu-satunya, yang dalam beberapa tahun terakhir memosisikan diri sebagai polisi dunia, dan seringkali bertindak atas kehendak dan kepentingan negerinya sendiri tanpa menghormati kepentingan negara lain. Negara adikuasa yang sangat terkesan hanya ingin didengar (mendikte) tanpa mau mendengar. Jika tidak didengar atau merasa kepentingannya terganggu, tidak sungkan memaksa untuk didengar dengan berbagai cara: perang (serbu), boikot dan veto. Presiden George W Bush, pendahulu Barack Obama, sangat menonjol mempraktekkan hal ini.

Amerika punya kuping tapi tidak mendengar. Contoh paling buruk adalah keangkuhan membombardir dan menginvasi Irak, dengan alasan bahwa Irak memproduk dan menyimpan senjata kimia pemusnah massal. Sudah pun pemerintah Irak (Saddam Husein) menjelaskan bahwa tuduhan itu tidak benar, tapi pemerintahan Bush tak mau mendengar. Bush bersikukuh menginvasi Irak dan Saddam Husein pun dihukum gantung. Dan, ternyata apa yang dituduhkan (senjata kimia) tidak pernah terbukti.

‘Ketulian’ Amerika itu telah menimbulkan disharmoni persahabatan, peradaban dan perdamaian dunia. Diperburuk oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), yang tadinya diharapkan bisa menjadi lembaga penjaga harmoni persahabatan antarbangsa, ternyata juga telah terdistorsi dengan keharusan mendengar kehendak dan kepentingan AS.

Obama, yang terpilih menjadi Presiden AS dengan slogan Change We Can Believe In, tampaknya melihat hal ini sebagai sebuah kesalahan. Obama mengakui bahwa kadang-kadang pihaknya (AS) membuat kesalahan. “Kami kerap membuat kesalahan, kami tidaklah sempurna,” ujar Obama.

Presiden AS ke-44, Presiden AS berkulit hitam pertama, yang dilantik Selasa (20/1/09) pukul 12.00 waktu setempat atau Rabu tengah malam WIB, itu dalam pidato pelantikan selama 20 menit, mengemukakan bagi semua orang dan pemerintahan yang menyaksikan pelantikan itu, ketahuilah bahwa Amerika adalah sahabat setiap negara dan sahabat setiap lelaki, setiap perempuan, dan setiap anak yang menghendaki masa depan yang damai dan bermartabat.

Obama menjanjikan Amerika baru kepada dunia, Amerika yang mendengarkan suara dunia. Amerika hendak kembali mau mendengar. Obama ingin memulihkan rasa hormat dan kemitraan yang Amerika miliki terhadap dunia, terutama dunia muslim sekitar 20 atau 30 tahun lalu.

Advertisement

Ketidakmauan mendengar telah menjadi penyakit Amerika, terutama sejak tumbangnya Uni Soviet, saat dimana AS menjadi satu-satunya negara adikuasa. Ketidakmauan mendengar itu adalah tabiat manusia yang tidak rendah hati. Umumnya, ketidakmauan mendengar, atau keinginan hanya didengar (mendikte) itu cenderung dimiliki orang-orang kuat atau kaya materi. Walaupun orang bodoh dan miskin, banyak juga yang tak mau mendengar, memaksakan kehendak, karena kebodohannya.

Amerika mungkin tidak satu-satunya negeri yang tidak mau mendengar. Namun, karena Amerika telah menjadi suatu negeri terkuat dan terkaya (adikuasa), maka pengaruhnya sangat menusuk sendi kehidupan dan hubungan antarnegara. Maka ketika Obama menyatakan bahwa Gedung Putih akan mulai kembali mendengar, patut kita sambut, dukung dan syukuri.

Sambutan atau dukungan nyata dari semua pihak untuk juga berkata jujur dan mau mendengar. Janganlah kita, sebagai pribadi, atau warga suatu bangsa, atau pemerintah sebuah negara, malah berubah atau tetap tak mau mendengar, selalu memaksakan kehendak. Tatkala Amerika hendak kembali mau (belajar) mendengar, semua negara pun, kiranya mau (belajar) mendengar. Mendengar, memang adalah milik orang bijak dan rendah hati. Dengan demikian, dunia yang lebih damai tenteram pun akan ternikmati. (red/BeritaIndonesia)

Daftar Isi Majalah Berita Indonesia Edisi 64

Dari Redaksi

Visi Berita

Surat Pembaca

Berita Terdepan

Highlight/Karikatur Berita

Berita Utama

Berita Khas

Berita Ekonomi

Lentera

Berita Politik

Berita Tokoh

Berita Hukum

Berita Iptek

Berita Daerah

Lintas Tajuk

Berita Budaya

Berita Publik

Berita Hiburan

Berita Buku

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini