Ingat, Zero Tolerance bagi KPK

[OPINI] – CATATAN KILAS – CATATAN CH. ROBIN SIMANULLANG | KPK itu menggenggam kewenangan luar biasa maka integritas pimpinan KPK semestinya harus lebih tinggi daripada penegak hukum lainnya. Kewenangan luar biasa itu juga menuntut tidak adanya toleransi (zero tolerance) atas kelalaian sekecil apa pun bagi pimpinan KPK; Mereka harus jadi panutan dan teladan bagi penegak hukum lain.
Hal inilah yang tampaknya kurang ditunjukkan pimpinan KPK, terutama jilid III. KPK yang memiliki kewenangan luar biasa dalam penegakan hukum pemberantasan korupsi telah dijerumuskan dan dilemahkan dari dalam (internal) oleh ulah oknum pimpinannya sendiri. Maka ketika mendapat tantangan dan balas dendam dari luar (eksternal), KPK lunglai.
Penetapan dua pimpinan KPK (Abraham Samad dan Bambang Widjoyanto) menjadi tersangka tindak pidana sulit bagi publik untuk tidak mengaitkannya, bahkan dianggap sebagai tindakan balas dendam Polri atas arogansi dan kesewenang-wenangan oknum pimpinan KPK menersangkakan Komjen Budi Gunawan, sehari setelah Presiden Jokowi mengajukannya sebagai calon tunggal Kapolri.
KPK menuding Polri melakukan kriminalisasi. Tetapi Polri membantahnya dan mempersilakan Samad dan Bambang menempuh jalur hukum praperadilan untuk membuktikannya. Sebaliknya, Polri pun menuding KPK mengkriminalisasi Komjen Budi Gunawan dan mengujinya dengan mempraperadilkan KPK. Dan, ternyata pada 16 Februari 2015, hakim tunggal PN Jakarta Selatan Sarpin Rizal mengabulkan sebagian gugatan Budi Gunawan dan menyatakan penetapannya sebagai tersangka tidak sah dan tidak berdasar hukum.
Ini pembelajaran berharga bagi KPK dan Polri. Hal mana kedua pimpinan KPK itu pun harus menerima kenyataan pahit akibat ulahnya sendiri. Presiden Jokowi didampingi Wapres JK di Istana Negara, Jl Medan Merdeka Utara, Jakarta (18/02/2015) mengumumkan pemberhentian sementara (nonaktif) dua pimpinan KPK Bambang Widjojanto dan Abraham Samad karena berstatus tersangka.
Ini pembelajaran berharga bagi KPK dan Polri. Hal mana kedua pimpinan KPK itu pun harus menerima kenyataan pahit akibat ulahnya sendiri. Presiden Jokowi didampingi Wapres JK di Istana Negara, Jl Medan Merdeka Utara, Jakarta (18/02/2015) mengumumkan pemberhentian sementara (nonaktif) dua pimpinan KPK Bambang Widjojanto dan Abraham Samad karena berstatus tersangka. Juga mengumumkan menerbitkan Perpu mengangkat tiga nama Plt.Pimpinan KPK yakni Taufiequrrahman Ruki, Prof. Indriyanto Senoadji, dan Johan Budi.
Presiden juga mengumumkan tak melantik Komjen Budi Gunawan jadi Kapolri dan memutuskan mengusulkan nama baru calon Kapolri yakni Komjen Badrodin Haiti yang saat ini duduk sebagai Wakapolri. Presiden meminta Komjen Budi Gunawan tetap berkontribusi untuk Polri.
Itulah terobosan Presiden untuk menyelamatkan KPK dari keterpurukan akibat ulah internal KPK sendiri. Kejadian ini tidak akan terjadi jika pimpinan KPK mumpuni menjalankan tugas dan kewenangannya yang luar biasa. Sesungguhnya KPK itu tidak perlu lagi pamer kewenangan, apalagi bersikap arogan dan reaktif (pencitraan) karena sudah memiliki kewenangan luar biasa.
Extraordinary Measures
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah lembaga ad-hoc independen produk reformasi yang diberi kewenangan luar biasa (extraordinary measures) • jauh melebihi kewenangan yang dimililiki penegak hukum lain (Polri dan Kejaksaan) • untuk mencegah dan memberantas korupsi yang juga dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime).
Urgensi berdirinya KPK ketika itu tak terlepas dari aspirasi rakyat yang amat kurang percaya kepada Polri dan Kejaksaan untuk memberantas korupsi. Maka dalam RUU KPK, pemerintah mengajukan draf yang disusun Tim Perumus dipimpin Prof. Dr. Romli Atmasasmita, bahwa KPK dibentuk sebagai satu-satunya (monopoli) lembaga penegak hukum pemberantasan korupsi. Tetapi ketika pembahasan di DPR, pihak Polri dan Kejaksaan serta beberapa pihak menolak, sehingga hampir terjadi jalan buntu.
Lalu pemerintah yang diwakili Prof. Romli menawarkan solusi yang mengacu pada prinsip komplementaritas dalam Statuta ICC (1998) dalam hal pelanggaran HAM berat. Prinsip ini menegaskan bahwa jika negara yang bersangkutan tidak mau dan tidak mampu melaksanakan peradilan atas pelanggaran HAM berat tersebut, maka ICC akan mengambil-alih persidangan perkara tersebut.
Berangkat dari prinsip komplementaritas itu, akhirnya disepakatilah ketentuan, KPK wajib koordinasi dan melakukan supervisi (dalam Pasal 6 huruf a dan b), namun jika Polri dan Kejaksaan tidak mau atau tidak mampu melaksanakan tugas dan wewenangnya karena sesuatu hal, maka KPK dapat mengambil-alih (take over) perkara tersebut. Fungsi KPK inilah yang disebut, “trigger mechanism”, sebagaimana fungsi ICC dalam peradilan pelanggaran HAM Berat.
Sesungguhnya, dengan diterimanya rumusan itu maka tujuan awal KPK agar memonopoli penyelidikan, penyidikan dan penuntuan, sesungguhnya telah tercakup prinsip komplementaritas itu dan perkuatan wewenang luar biasa (extraordinary measures) kepada KPK yang tidak dimiliki Polri dan Kejaksaan.
Pembahasan pun ketika itu berlanjut bagaimana agar ada koordinasi dan sinkronisasi tugas dan wewenang antara KPK, Polri dan Kejaksaan sehingga dicegah tumpang tindih. Lalu hal ini diatasi dengan Pasal 6, perihal tugas KPK: a. koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; b. supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; c. melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi; d. melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi; dan e. melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.
Bahkan dalam Pasal 50 ditegaskan bagaimana koordinasi antara ketiga institusi itu dalam menangani pemberantasan korupsi. Hal mana jika Polisi atau Kejaksaan memulai penyidikan mereka wajib memberitahu kepada KPK. Tetapi jika KPK sudah memulai, mereka harus berhenti. Sehingga diharpakan tidak mungkin ada tumpang tindih.
Namun kenyataan, sejak KPK jilid satu sampai jilid tiga, menurut pengamatan Romli, fungsi satu-satunya yang lemah dalam pemberantasan korupsi dalam hubungan antara KPK, Kepolisian dan Kejaksaan adalah fungsi koordinasi dan supervisi. “Sangat lemah, bahkan tidak berjalan efektif,” tegas Romli.
Padahal fungsi koordinasi dan supervisi ini sangat penting, karena posisi Polri dan Kejaksaan sekalipun memiliki fungsi penyelidikan, penyidikan dan penuntutan, tetapi tanpa wewenang luar biasa akan sulit menghadapi perkara korupsi yang melibatkan penyelenggara negara di bidang eksekutif, legislatif dan judikatif. Hambatan kelancaran tugas dan wewenang penyidik Polri dan Kejaksaan tersebutlah yang perlu diatasi dengan melakukan koordinasi, hal mana KPK akan dapat mengambil-alih.
Harapan ini tidak menjadi kenyataan karena hambatan psikologis KPK untuk melakukan “take over” dan keengganan Polri dan Kejaksaan untuk diambil-alih perkaranya.
Pengawasan Melekat
KPK itu memiliki sifat-sifat yang extraordinary, wewenang yang sangat luas dan independen, tetapi (hanya) dengan pengawasan secara melekat yang ketat, antara lain KPK tidak boleh menghentikan penyidikan. Tidak boleh ada SP3 karena KPK itu sudah diberi wewenang yang sangat luas melebihi kedua institusi itu, baik dalam penyidikan, penyelidikan, penyadapan, maupun membuka rahasia bank, bahkan KPK tidak terpengaruh oleh status seseorang yang dijadikan tersangka, tidak perlu ijin Presiden, tidak perlu ijin pengadilan untuk menyadap. Maka KPK diberi rambu-rambu yang memperketat, dan memperkuat agar KPK tidak menyalahgunakan wewenang, tidak boleh SP3. Karena SP3 itu selama ini, entah sampai saat sekarang, sering menjadi bagian dari tawar-menawar.
Rambu penting lainnya menurut Romli adalah soal integritas pimpinan KPK yang harus lebih tinggi daripada penegak hukum lainnya, antara lain ditetapkan jika pimpinan KPK menjadi tersangka maka diberhentikan sementara dan jika menjadi terdakwa, diberhentikan secara tetap. Ketentuan dalam UU KPK ini menurut Romli memang disengaja berbeda (bukan diskriminatif) dari PNS pada umumnya. Oleh karena itu, kelalaian sekecil apapun, tidak ada toleransi sama sekali (zero tolerance) bagi pimpinan KPK; mereka harus jadi panutan dan teladan bagi penegak hukum lain.
Sehubungan dengan itu, ada dua azas dalam kepemimpinan KPK: (1) azas kolektivitas, kolegialitas; dan (2) azas independen. Mereka dalam mengambil keputusan harus bersama-sama, tidak boleh sendiri-sendiri. Dengan secara bersama-sama tersebut sehingga lebih menjamin independensi mencegah terjadinya intervensi terhadap kelima Pimpinan KPK itu.
KPK yang bersifat independen itu dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bebas dari kekuasaan manapun. Pimpinan KPK terdiri dari 5 (lima) orang yang merangkap sebagai Anggota yang semuanya adalah pejabat negara. Pimpinan tersebut terdiri atas unsur pemerintah dan unsur masyarakat sehingga sistem pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat terhadap kinerja KPK dalam melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi tetap melekat pada KPK.
Ketika itu, Romli sangat yakin koordinasi antara KPK, Polri dan Kejaksaan akan berlangsung efektif, karena unsur pemerintah diwakili oleh Kepolisian dan Kejaksaan ada di KPK. Walaupun Romli mengakui tidak memprediksi adanya hambatan psikologis, hubungan kerjasama KPK dengan dua institusi tersebut serta faktor stigma negatif masyarakat luas terhadap dua institusi tersebut. Stigma tersebut telah mengakibatkan kontraproduktif, dan menimbulkan persaingan yang tidak sehat antara ketiga institusi di dalam menjalankan tugas dan wewenangnya memberantas korupsi.
Selain itu, dukungan dan tekanan masyarakat luas, termasuk LSM, yang mendorong KPK sebagai ujung tombak pemberantasan korupsi, juga menjadi kontraproduktif. Sehingga KPK lupa kepada fungsi koordinasi dan supervisi, fungsi sebagai trigger mechanism, untuk mendorong Kepolisian dan Kejaksaan bisa bekerja lebih efektif dan meningkatkan kinerja dengan lebih baik.
“KPK merasa didorong bukan sebagai fungsi trigger mechanism, tetapi harus sebagai ujung tombak pemberantasan korupsi. Apalagi ujung tombak itu kemudian didukung oleh pihak asing dengan bantuan-bantuan dana yang begitu besar, yang tidak terkontrol oleh kita semua, tidak terawasi. Sedangkan sisi lain, kedua institusi itu (Kepolisian dan Kejaksaan) memperoleh tekanan stigma negatif, sehingga termasuk pihak yang dirugikan,” kata Romli.
Di sisi lain, Pemerintah juga tidak fair dalam memperlakukan ketiga institusi tersebut. Romli memberi contoh, kalau KPK diberi kemungkinan outsourcing untuk rekrutmen pegawai, Kejaksaan dan Kepolisian tidak. Begitu pula dalam hal anggaran, KPK diberi keleluasaan biaya perkara, penanganan besar sekali, tetapi dua institusi itu tidak. Romli juga menyayangkan upaya pencegahan korupsi yang tertatih-tatih. KPK kurang fokus dalam bidang pencegahan ini.
Persoalannya, apakah Pimpinan KPK paham terhadap Undang-undang yang dia harus jalankan? Prof. Romli mengatakan kelihatannya tidak paham, terutama yang filosofi dan misi dari Undang-undang KPK itu sendiri. Romli merasa kecewa melihat belum ada pemahaman di kalangan KPK dan MK-RI mengenai filosofi, visi dan misi pembentukan UU KPK termasuk juga di kalangan LSM. Catatan Kilas Ch. Robin Simanullang | Redaksi TokohIndonesia.com |
© ENSIKONESIA – ENSIKLOPEDI TOKOH INDONESIA