Lemah, Koordinasi Pusat-Daerah

[OPINI] – CATATAN KILAS – Ancam Pecat Kepala Daerah – CATATAN KILAS Ch. Robin Simanullang | Ancaman Mendagri Gamawan Fauzi bisa memecat kepala daerah yang ikut berdemo menolak kebijakan pemerintah pusat menaikkan harga BBM, menunjukkan lemahnya kepemimpinan dan koordinasi Kemendagri (Pemerintah Pusat) dengan Pemerintah Daerah.
Dalam era demokrasi dan semakin luasnya otonomi daerah (desentralisasi), tampaknya pemerintah pusat masih terbiasa (bernafsu) melakukan pendekatan kepemimpinan sentralistik dan otoriter. Walaupun dalam rangka (kita membutuhkan) kepemimpinan nasional yang kuat, sehingga tidaklah pantas kepala daerah ikut berdemo menolak kebijakan pemerintah pusat. Namun pemerintah pusat tidak pantas melakukan pendekatan sentralistik dan otoriter.
Jika kita simak, ancaman Mendagri Gamawan Fauzi itu, mencerminkan lemahnya koordinasi pusat dengan daerah. Dalam kasus terkini yakni kebijakan pemerintah pusat menaikkan harga BBM, jelas tidak ada koordinasi terlebih dahulu dengan pemerintah daerah. Pemerintah Pusat mengeluarkan kebijakan itu tanpa lebih dulu berkoordinasi dengan Pemerintah Daerah. Padahal, dampak buruk kebijakan itu paling terbebani di daerah.
Pendekatan yang berorientasi kepentingan rakyat, bangsa dan negara inilah yang seharusnya lebih diutamakan Mendagri (Pemerintah Pusat) bersama Pemerintah Daerah. Sehingga dengan demikian, semua pejabat (apalagi pejabat negara) layak menyandang negarawan, sekurangnya spirit negarawan. Bukan sekadar penguasa atau malah jadi bumper kekuasaan.
Tentu saja, Mendagri Gamawan Fauzi yang sebelumnya pernah menjabat gubernur dan bupati dan pernah pula menolak kebijakan pusat menaikan harga BBM, sangat (seharusnya) menyadari dampak yang terbebani ke daerah itu. Hanya aura kekuasaan yang bisa mungkin berpengaruh atas terdegradasinya kesadaran akan hal ini.
Kata diplomatis (bijak) kita tangkap dari pernyataan Walikota Solo, Joko Widodo, yang mengaku tidak mengetahui mengenai ancaman Mendagri yang akan memberi sanksi ke Kepala Daerah yang ikut dalam unjuk rasa menolak penaikan harga BBM bersubsidi, namun dia memahami mengapa Kepala Daerah banyak yang berunjuk rasa.
Jokowi, saat menjadi pembicara dalam acara Bank Indonesia-AFI seminar and workshop on Financial Inclusion di Surakarta, Rabu (28/3/2012), mengatakan mengerti mengapa Kepala Daerah ikut turun ke jalan menentang penaikan harga BBM bersubsidi. Hal tersebut, ungkapnya, karena penaikan harga BBM oleh pemerintah pusat, diputuskan setelah pembahasan APBD. “Tidak masalah, kalau kita dulu dibisiki, ya kita tidak begini. “Maka, wajar kalau ada yang demo. Kalau aturan soal ancaman Mendagri saya belum tahu, saya nggak baca,” katanya.
Jokowi sangay menyesalkan rencana kenaikan harga BBM dilakukan setelah usai pembahasan APBD. Karena hal itu berakibat pemda tidak dapat menganggarkan dana untuk mengantisipasi dampak kenaikan tersebut. “Semestinya kita dibisiki saat penyusunan APBD bulan November lalu. Jadi kita bisa siapkan dana untuk membuat program ketahanan dengan program-program ekonomi,” jelasnya.
Menurut Jokowi, kalau dulu kepala daerah diberi pemberitahuan maka dia dapat membuat program rumah tangga produktif. “Hal ini untuk mengurangi dampak kenaikan dengan pendekatan usaha produktif bagi rumah tangga. Kalau sekarang sudah terlambat,” keluhnya.
Selain itu, Jokowi, yang terkenal dekat dengan rakyat kecil, juga tidak setuju dengan konsep Bantuan Langsung Tunai, yang dibagikan secara tunai. “Seharusnya bantuan langsung untuk program produktif. Sebab dengan BLT, tidak ada panduan yang jelas dalam menggunakan bantuan tersebut untuk usaha produktif. Akibatnya BLT digunakan untuk konsumtif, karena cendrung mendidik orang begini (sambil mengulurkan tangan, peminta-minta),” katanya.
Pernyataan, Jokowi tersebut juga menunjukkan betapa lemahnya koordinasi pusat dan daerah. Jokowi tidak menyebut koordinasi itu dalam dimensi (orientasi) hierarki kekuasaan semata, melainkan lebih kepada koordinasi kemanfaatan dan dampak kebijakan itu kepada kepentingan rakyat. Jadi pendekatan utama, yang tersirat dari pernyataan Jokowi tersebut, adalah pendekatan koordinasi yang berorientasi kepentingan rakyat, bangsa dan negara, bukan kepentingan politik atau kepentingan kekuasaan.
Pendekatan yang berorientasi kepentingan rakyat, bangsa dan negara inilah yang seharusnya lebih diutamakan Mendagri (Pemerintah Pusat) bersama Pemerintah Daerah. Sehingga dengan demikian, semua pejabat (apalagi pejabat negara) layak menyandang negarawan, sekurangnya spirit negarawan. Bukan sekadar penguasa atau malah jadi bumper kekuasaan. Catatan Kilas Ch. Robin Simanullang | Redaksi TokohIndonesia.com