Bayar Bayar Bayar …

Di negeri di mana suara kerap layu sebelum sempat mekar, lagu “Bayar Bayar Bayar” dari Sukatani menjelma bisikan tajam yang menggetarkan dinding-dinding kekuasaan, seperti angin kecil yang diam-diam menggoyahkan pohon tertinggi.
Ada lagu yang lahir bukan dari panggung gemerlap, melainkan dari lorong-lorong gelap kegelisahan. Sebuah nada yang sederhana, namun tajam seperti pisau yang menggores halus kesadaran. Sukatani – dua jiwa dari Purbalingga – menyulam keresahan rakyat dalam kata-kata sederhana: Bayar, bayar, bayar. Bukan sekadar repetisi, tapi gema yang mencerminkan beban diam-diam di pundak banyak orang.
Namun, seperti burung yang baru saja belajar terbang, lagu itu tak sempat melambung tinggi. Udara kebebasan yang seharusnya menjadi ruang napas, tiba-tiba menjadi dinding kaca tak kasat mata. Interogasi datang, tekanan mengintai, dan perlahan, suara yang jujur itu dipaksa merunduk. Permintaan maaf terucap, seperti dedaunan yang gugur sebelum sempat menguning – dipetik paksa oleh angin yang lebih kuat dari keberanian.
Gerakan #IndonesiaGelap membawa lagu ini lebih jauh dari sekadar irama. Ia berubah menjadi mantra perlawanan, dinyanyikan oleh ribuan suara yang menolak untuk diam. Sebuah cermin retak yang memperlihatkan wajah-wajah letih masyarakat yang lelah membayar harga ketidakadilan -bukan dengan uang saja, tapi dengan harapan yang terus dikikis hari demi hari.
Namun, seperti bayang-bayang yang panjang di bawah matahari sore, konsekuensi dari keberanian itu pun datang tanpa ampun. Vokalis Novi Citra Indriyati tak hanya kehilangan panggung, tapi juga pekerjaannya sebagai guru. Alasan yang dikemukakan terdengar formal: pelanggaran kode etik, aurat yang terbuka di sebuah unggahan. Tapi siapa yang bisa menampik bahwa irama perlawanan yang ia nyanyikan ikut menggetarkan dinding-dinding institusi yang tak ingin diganggu?
Interogasi yang dilakukan oleh aparat justru memantik bara yang lebih besar. Ketika Divisi Propam Polri turun tangan memeriksa anggota Direktorat Reserse Siber, publik menyadari bahwa suara rakyat, meski berusaha dibungkam, tetap punya daya yang tak bisa dipadamkan sepenuhnya. Kritik yang awalnya dipandang sebagai gangguan, kini berubah menjadi cahaya kecil yang menyoroti celah-celah rapuh dalam dinding kekuasaan.
Lagu “Bayar Bayar Bayar” mungkin telah dihapus, seperti bintang yang ditutup awan kelabu. Namun, pesan yang terkandung di dalamnya sudah terlanjur menyusup ke dalam benak banyak orang. Suara yang sempat diredam itu, seperti gema di lembah sunyi, akan terus menggaung, menggetarkan ruang-ruang yang tadinya tak pernah tersentuh oleh keberanian.
Demokrasi adalah taman yang butuh ruang untuk tumbuh, dan kritik adalah hujan yang menyuburkannya – meski terkadang pahit, meski sering dianggap badai. Jika suara-suara kecil seperti milik Sukatani harus dibungkam sebelum sempat berbicara, maka kita perlu bertanya: untuk siapa sebenarnya ruang ini dibiarkan kosong?
Dalam gelap yang semakin pekat, bahkan nyala lilin terkecil pun tak akan pernah benar-benar padam. Suara yang benar mungkin bisa diredam, tapi ia akan selalu menemukan jalannya – melalui lorong-lorong sunyi, melalui bisikan di antara kerumunan, hingga akhirnya menjadi gema yang tak bisa lagi diabaikan. (Atur Lorielcide/TokohIndonesia.com)
—
Lirik lengkap lagu ‘Bayar Bayar Bayar’
Band: Sukatani (Muhammad Syifa Al Ufti dan Novi Citra Indriyaki)
Album: Gelap Gempita (2023)
Mau bikin SIM bayar polisi
Ketilang di jalan bayar polisi
Touring motor gede bayar polisi
Angkot mau ngetem bayar polisi
Aduh aduh ku tak punya uang
Untuk bisa bayar polisi
Mau bikin gigs bayar polisi
Lapor barang hilang bayar polisi
Masuk ke penjara bayar polisi
Keluar penjara bayar polisi
Aduh aduh ku tak punya uang
Untuk bisa bayar polisi
Mau korupsi bayar polisi
Mau gusur rumah bayar polisi
Mau babat hutan bayar polisi
Mau jadi polisi bayar polisi
Aduh aduh ku tak punya uang
Untuk bisa bayar polisi.