Dua Ruang, Satu Sunyi: Jejak Atur Lorielcide alias Rielniro

0
23
Atur Lorielcide aka rielniro
Atur Lorielcide aka rielniro
Lama Membaca: 3 menit

Ia menulis tanpa pernah memperkenalkan diri. Tak mengejar nama, tak pula membentuk persona. Namun dari satu lorong ke layar lain, jejaknya konsisten: pendek, hening, dan tajam. Kini, untuk pertama kalinya, TokohIndonesia.com memperkenalkan sosok di balik rubrik Lorong Kata: Atur Lorielcide, yang di ruang lain menjelma sebagai Rielniro.

Nama lengkapnya: Mangatur Lorielcide Paniroy Simanullang. Ia lulusan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jurusan Akuntansi, dan telah lebih dari dua dekade menekuni dunia penulisan di sejumlah media khususnya penulisan biografi di TokohIndonesia.com. Meski akarnya jurnalisme, ia juga seorang generalis yang piawai di dunia IT. Ia bangga disebut penulis, dan tak keberatan menyandang label MMJ, multimedia journalist.

Namun, semua kredensial itu hanyalah kulit luar. Yang benar-benar membedakannya adalah pilihannya untuk hadir lewat sunyi.

Nama penanya, Rielniro, bukan sekadar rangkaian huruf. Ia lahir dari potongan identitas panjang: LoRIELcide PaNIROy. Lorielcide merupakan akronim Latin GLORIA IN EXCELCIS DEO (“Kemuliaan bagi Allah di tempat mahatinggi”), sementara Paniroy adalah kata Batak yang berarti penasihat, menerangkan. Nama ini bukan sekadar simbol linguistik, tapi cerminan jalan batin: spiritual, terjaga, dan tidak terburu-buru.

Nama pena inilah yang ia gunakan saat menulis narasi dua-slide di Instagram, bertagar #catatanjiwa: diam yang tak mengejar sorot, namun tetap meninggalkan gema. Slide pertama menyodorkan premis hening; slide kedua hadir sebagai pukulan sunyi. Ia tidak menggiring perasaan, tidak memaksa sepakat. Ia hanya berdiri diam, seperti seseorang yang tak mengetuk pintu, hanya menunggu, membiarkanmu membuka jika mau.

Tulisan-tulisannya tak pernah panjang. Tapi justru karena itu, mereka menuntut perhatian. Ia menulis dengan ketenangan maskulin yang tertata. Jika sedih, ia tak menyebutkannya. Jika kecewa, ia tak meminta penjelasan. Jika menyayangi, ia tak memberi label.

Beberapa kutipan dari akun instagram @rielniro menangkap esensi gaya sunyi yang ia usung:

“Mungkin jiwa memang bisa saling kenal sebelum raga sempat berjabat tangan.”
“Yang sunyi tak selalu sepi, kadang justru bentuk paling jujur dari diri.”
“Ada yang tidak harus diperjuangkan. Bukan karena kalah. Tapi karena sadar, tidak semua hal perlu dimenangkan.”

Di tengah algoritma yang gemar menggiring emosi ke dalam kutub dramatis dan eksplisit, karya-karya Rielniro hadir bak gondang Batak versi teks: ritmis, reflektif, menghantam sumsum. Ia menulis bukan demi viralitas; ia menulis untuk yang mengerti. Dan andai tak seorang pun mengerti, narasinya tetap berdiri. Sebab ia tak sedang meminta orang lain merasa. Ia hanya sedang mengucap diam kepada dirinya sendiri.

Namun, sunyi yang ia bangun tak berhenti di Instagram. Sebagai Atur Lorielcide, ia menyalurkan napas yang sama dalam medan yang lebih luas: rubrik Lorong Kata di TokohIndonesia.com. Di sana, sunyi menjelma menjadi keberanian intelektual. Gaya lirihnya tumbuh menjadi gugatan, bukan lewat teriakan, tapi melalui kedalaman analisis dan kejernihan bahasa.

Advertisement

Lorong Kata bukan sekadar kanal opini. Ia adalah ruang kontemplatif yang menyuarakan perlawanan tanpa gaduh, membela akal sehat tanpa panji ideologis, dan menyalakan kembali bara kesadaran yang mulai redup. Di tengah lanskap media yang tunduk pada logika viral dan algoritma sensasi, tulisan-tulisan Atur Lorielcide berdiri sebagai lentera kecil: sepi, tapi jernih.

Tiga pilar menjadi fondasi dari setiap tulisannya: Merdeka roh, merdeka pikir, dan merdeka ilmu.

Merdeka roh adalah kebebasan jiwa untuk bersuara, meski sunyi. Merdeka pikir adalah keberanian untuk mengulik yang tampak manis di permukaan. Dan merdeka ilmu berarti berpihak pada pengetahuan yang jujur, bukan pada yang ramai, viral, atau menyenangkan penguasa.

Melalui tulisan seperti “Pancasila: Antara Ada dan Tiada”, Kita Baik-Baik Saja – Katanya”, “Kalau Soeharto Pahlawan, Untuk Apa Dulu Kita Berjuang?”, “Ijazah Jokowi: Kewajiban Moral yang Tak Kunjung Dipenuhi”, atau “Prabowo, Civilphobia, dan Naluri State-Centered”, Atur, begitu ia biasa disapa, mengajak pembaca untuk tak sekadar melihat, tapi menelisik. Tak sekadar tahu, tapi mengerti. Gaya bahasanya tak menggurui, namun juga tak membiarkan pembaca berlalu tanpa mempertanyakan kembali posisi mereka di tengah pusaran zaman.

Di balik semuanya, Rielniro menjadikan satu kalimat sebagai prinsip hidup berkarya:
“Menang bukan tujuan, mengerti adalah akhirnya.”

Dan jika harus menggambarkan dirinya sendiri, ia memilih ungkapan yang tak biasa:
“Lone wolf by nature. Outcast by design.”

Artinya: ia adalah serigala penyendiri secara naluriah, dan menjadi orang luar bukan karena keterpaksaan, melainkan pilihan sadar. Ia tak ingin larut dalam keramaian hanya demi diterima. Ia memilih berjalan sendiri agar bisa tetap utuh: dalam pikiran, dalam sikap, dalam kata.

Jika akun Instagram @rielniro adalah bisikan jiwa dalam jeda personal, maka Lorong Kata adalah lorong publik yang mengajak berjalan pelan dan sadar. Dua ruang, satu suara: menulis dengan sunyi, tapi tak pernah kosong. Karena dalam sunyi itulah, kata benar-benar bekerja.

Dan bila tak ada yang membuka pintu, penulis ini tetap berdiri di luar. Menunduk pada angin, lalu melanjutkan perjalanan. (TokohIndonesia.com/Tokoh.ID)

0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments