Gibran: Dari Monolog ke Mosi Tak Percaya

Generasi yang Tak Lagi Bisa Dibohongi: Respons atas Video Gibran

 
0
15
Gibran: Dari Monolog ke Mosi Tak Percaya
TSUNAMI KEKECEWAAN: Monolog lima menit yang ditujukan sebagai inspirasi, justru membuka gelombang kritik tentang kemunafikan, kepalsuan, dan rekayasa politik yang dibungkus estetik.

Gibran berbicara tentang harapan dan masa depan generasi muda, namun publik membaca sesuatu yang lain: kemunafikan yang dibungkus rapi, kepalsuan yang dilapisi estetika. Monolog lima menit itu bukan inspirasi, melainkan ironi dari sistem yang melahirkan pemimpin bukan dari proses, tetapi dari rekayasa politik dan nepotisme yang dirias estetik agar tampak sah.

Gibran Rakabuming Raka, wakil presiden terpilih yang sedang menapaki panggung nasional, belum lama ini menyampaikan sebuah video monolog berdurasi lima menit di YouTube berjudul “Generasi Muda, Bonus Demografi dan Masa Depan Indonesia”. Dengan latar musik yang dramatis dan gaya visual yang terkesan profesional, ia menyampaikan pesan motivasional tentang pentingnya generasi muda bersiap menghadapi tantangan zaman. Ia menyebut bonus demografi sebagai “kesempatan emas yang hanya datang satu kali dalam sejarah peradaban bangsa.” Ia bicara tentang potensi usia produktif, dan perlunya adaptasi terhadap teknologi seperti kecerdasan buatan. Ia mengutip keberhasilan film animasi Jumbo dan timnas U-17 sebagai bukti bangkitnya generasi emas Indonesia. Ia menutup dengan ajakan kolaboratif agar semua pihak bersatu membangun bangsa yang lebih baik.

Namun, yang mengalir deras bukanlah gelombang inspirasi, melainkan tsunami kekecewaan. Kolom komentar YouTube yang memuat video itu berubah menjadi forum gugatan publik. Ribuan komentar bermunculan dalam waktu singkat, sebagian besar berisi kritik, sinisme, bahkan amarah yang tidak ditutupi. Banyak yang menyatakan tidak menonton videonya, hanya membaca komentar. Yang lain menyebut video ini sebagai “konten motivasi paling ironis sepanjang sejarah YouTube Indonesia”diceramahi soal perjuangan oleh sosok yang justru dianggap tidak berjuang.

Ini bukan sekadar reaksi terhadap isi pidato. Ini adalah penolakan terhadap simbol. Gibran hadir sebagai figur muda di jabatan tertinggi kedua di negeri ini, tapi dalam benak banyak orang, ia hadir bukan karena kerja keras atau dedikasi publik, melainkan karena privilese kekuasaan. Ia adalah anak dari seorang presiden, keponakan dari hakim Mahkamah Konstitusi, dan tokoh utama dalam kontroversi perubahan aturan batas usia capres-cawapres yang membuka jalur khusus baginya. Ketika seseorang yang dianggap naik karena “jalur ordal” menyampaikan wejangan tentang meritokrasi, hasilnya adalah kehampaan yang mencolok.

Gibran 80.000 Dislike
Lebih dari 95% komentar bernada negatif, selebihnya sarkastik, dan hanya segelintir yang benar-benar mendukung.

Lebih dari 30.000 komentar dianalisis dari video tersebut. Hasilnya mencengangkan: lebih dari 95% bernada negatif, selebihnya sarkastik, dan hanya segelintir yang benar-benar mendukung. Ini bukan sekadar dislike massal, melainkan ekspresi kolektif tentang krisis legitimasi. Bagi publik, video ini bukan tentang motivasi, tapi tentang manipulasi. Mereka tidak mendengar seorang pemimpin muda yang bersinar dari bawah, melainkan melihat seseorang yang sedang membaca naskah yang bukan miliknya, dengan pesan yang tidak hidup di dalam dirinya.

Komentar-komentar yang membanjiri video mencerminkan betapa kuatnya persepsi bahwa Gibran mewakili distorsi meritokrasi. Komentar-komentar menyebutnya sebagai “anak titipan”, “buah karbit”, hingga “wakil presiden FOMO” yang naik bukan karena layak, tetapi karena diberi jalan. Beberapa menyebut monolog itu “berisi kata-kata manis tapi kosong,” yang lain menyindir bahwa motivasi dari seseorang yang “dicarikan kerja oleh bapaknya” justru terasa ofensif.

Kritik yang muncul pun bukan tanpa dasar. Ketika Gibran menyebut film Jumbo sebagai kebangkitan industri animasi, banyak yang mengingat bahwa selama ini ia justru mendorong penggunaan AI di dunia kreatif – yang kini menjadi ancaman nyata bagi seniman dan animator lokal. Ketika ia menyerukan anak muda agar menjadi cepat belajar dan cepat beradaptasi, warganet menyindir bahwa ia sendiri tidak melalui proses panjang pembelajaran, karena posisinya justru didapat dari “jalur cepat”. Ketika ia berbicara tentang membangun masa depan, publik justru menyoroti masa lalu dan proses yang tidak beretika. Segala sesuatu yang disampaikan dalam video itu akhirnya tak dilihat sebagai visi, tetapi sebagai branding. Dan branding, tanpa kredibilitas, hanya akan menjadi lapisan kosong yang mudah dikupas.

Fenomena ini menggambarkan dengan jelas bahwa kepercayaan publik tidak bisa dibangun dengan produksi video yang apik. Ketulusan tidak bisa dipoles dengan kamera, dan kredibilitas tidak bisa diedit. Dalam era digital di mana semua orang punya suara, rakyat bisa lebih jeli menilai apakah seorang tokoh benar-benar punya gagasan atau sekadar sedang menjual citra.

Dan di sinilah esensinya: publik bukan anti pada anak muda. Mereka tidak alergi pada pemimpin baru. Yang ditolak adalah kemunafikan, kepalsuan. Yang ditolak adalah sistem yang mengistimewakan seseorang karena garis darah, lalu memaksakan narasi tentang keadilan dan meritokrasi. Mereka menolak untuk dinasehati oleh seseorang yang dipromosikan tanpa proses, tanpa uji kelayakan, dan tanpa perjuangan nyata. Mereka menolak pencitraan yang membungkus kepentingan keluarga dan kekuasaan sebagai semangat perubahan.

Apa yang terjadi di kolom komentar video Gibran adalah refleksi dari generasi yang cerdas, kritis, dan berani bersuara. Mereka tak hanya menyampaikan opini, tetapi membongkar retorika, menyusun ulang narasi, dan menunjukkan bahwa ruang publik digital adalah tempat artikulasi politik paling jujur hari ini.

Advertisement

Video ini secara tidak sengaja membangkitkan kesadaran bahwa regenerasi kepemimpinan tidak boleh menjadi proyek kosmetik. Pemimpin muda tidak cukup hanya berusia muda. Ia harus lahir dari proses panjang, dari kepercayaan publik, dari pengabdian yang terlihat. Bukan dari kertas suara yang ditentukan oleh keputusan Mahkamah Konstitusi yang penuh konflik kepentingan. Bukan dari rekayasa politik atau nepotisme yang dikemas estetik. Bukan pula proyek kekuasaan yang dikamuflase dengan narasi idealistik.

Gibran bisa saja punya niat baik. Bisa jadi ia benar-benar ingin mendorong anak muda untuk lebih siap menghadapi era teknologi. Tapi pesan yang baik jika disampaikan dari panggung yang cacat, takkan pernah menyentuh hati. Ia bisa menjadi bagian dari solusi jika ia lebih dahulu merefleksikan posisinya: apakah ia bagian dari regenerasi, atau representasi dari dekadensi? Apakah ia simbol harapan, atau cermin kegagalan sistem?

Indonesia tidak kekurangan anak muda berbakat. Yang kurang adalah panggung yang adil untuk semua. Generasi muda butuh contoh, bukan semata pidato. Mereka butuh pemimpin yang lahir dari proses, bukan proyek. Mereka ingin melihat sosok yang bisa mereka tiru, bukan yang hanya bisa mereka sindir.

Monolog Gibran, alih-alih menjadi sumber inspirasi, justru menjadi bukti bahwa pidato motivasional kehilangan kekuatannya ketika tidak ditopang oleh legitimasi moral. Dan dari puluhan ribu komentar yang muncul, satu hal jadi jelas: rakyat tidak butuh aktor baru dalam panggung politik lama. Mereka butuh cerita baru, tokoh baru, dan jalan baru yang tidak ditentukan oleh silsilah, tapi oleh keberanian, kerja keras, dan integritas. Mereka butuh ruang yang sehat untuk tumbuh, bukan dilompati oleh dinasti. (Atur Lorielcide/TokohIndonesia.com)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini