Hagabeon: Tak Dilahirkan, Tapi Dihidupkan
Tentang Warisan yang Melampaui Silsilah

Tidak semua keluarga Batak dikaruniai keturunan. Ada yang menikah lama tapi tetap menunggu dalam diam. Ada yang akhirnya memilih mengangkat anak. Ada pula yang hidup sendiri tanpa anak maupun pasangan.
Maka setiap orang Batak – dengan atau tanpa anak, laki-laki atau perempuan – tetap bisa menjadi penjaga Hagabeon, selama ia hidup dengan kesadaran bahwa hidupnya akan terus hidup di dalam kehidupan orang lain.
Ada satu pemandangan yang selalu saya ingat setiap kali menghadiri acara adat Batak. Di sudut ruangan, duduk seorang amang tua yang dikenal luas karena kearifannya. Ia tak punya anak kandung, tapi banyak anak muda memanggilnya “amang.” Bukan hanya karena adat, tapi karena mereka benar-benar merasa dibimbing, dilindungi, dan dibapakkan olehnya. Dalam adat Batak yang menekankan pentingnya keturunan, terutama anak laki-laki, ia mungkin dipandang tidak meneruskan garis marga. Tapi perannya dalam kehidupan orang-orang di sekitarnya jauh lebih dari cukup untuk disebut sebagai pewaris nilai.
Saya juga mengenal sepasang suami istri yang bertahun-tahun menunggu kehadiran anak. Mereka menempuh jalan panjang, dari pengobatan medis sampai doa dalam tangis yang tak terhitung. Akhirnya, mereka memilih mengangkat anak dari kenalan keluarga dekat. Kini, anak itu tumbuh menjadi pribadi yang santun dan kuat memegang adat. Ia berdiri dalam acara adat sebagai anak ni raja, bukan karena garis darah, tapi karena cinta dan nilai yang ditanamkan sejak kecil.
Lalu ada sebuah keluarga sederhana dengan tiga anak perempuan. Di tengah adat yang masih kadang mempersoalkan siapa yang akan meneruskan marga, mereka memilih untuk bersyukur dan mendidik ketiga borunya menjadi pribadi yang kuat, cerdas, dan tahu adat. Tidak ada kekecewaan, hanya kebanggaan. Tidak ada penyesalan, hanya tekad. Sebab mereka percaya: menjadi boru bukan berarti tak bisa jadi pewaris martabat.
Dalam budaya Batak, kita mengenal tiga nilai yang sering dianggap sebagai tanda keberhasilan hidup: Hagabeon, Hamoraon, dan Hasangapon. Tiga H yang oleh sebagian orang ditafsirkan secara sempit: banyak anak, banyak harta, banyak kehormatan. Tapi jika kita berhenti di situ, kita kehilangan makna paling dalam dari ketiganya. Mereka bukan ukuran, tapi arah. Bukan pencapaian, tapi pegangan. Tulisan ini ingin mengajak kita menengok ulang makna Hagabeon – nilai yang sering disalahpahami, padahal begitu hangat dan manusiawi.
Banyak yang mengira Hagabeon hanya soal punya banyak anak, apalagi anak laki-laki. Tapi hidup tak selalu mengikuti harapan kita, bukan? Ada yang belum menikah. Ada yang menikah tapi belum dikaruniai anak. Ada yang punya anak, tapi semua perempuan. Lalu apakah mereka semua otomatis gagal dalam Hagabeon?
Dalam buku Hita Batak Jilid 1, ditegaskan bahwa Hagabeon bukan sekadar soal anak kandung. Hagabeon adalah tentang keberlanjutan hidup, bukan cuma lewat darah, tapi lewat nilai dan peran. Bahkan dalam adat, keluarga yang tak punya anak bisa mengangkat anak dan memberinya hak serta tanggung jawab penuh sebagai penerus marga dan martabat. Itu sah. Itu resmi. Itu Batak.
Saya percaya, Hagabeon bukan semata soal melahirkan. Tapi soal menghidupi. Saat seseorang membimbing, melindungi, dan menanamkan nilai kepada generasi berikutnya, ia sedang menjalani Hagabeon meskipun bukan dari rahimnya sendiri. Seorang perempuan yang memilih mengabdi sebagai guru dan mendidik ratusan anak, seorang amang tua yang menjaga kekompakan marga di perantauan, seorang inang yang menuntun rohani boru-boru muda, mereka semua memperpanjang hidupnya melalui hidup orang lain.
Anak, dalam makna Batak yang sejati, bukan cuma hasil biologis. Anak adalah hasil dari kehidupan yang ditanam. Ia adalah cermin. Jadi jika ingin tahu apakah kita sudah menjalani Hagabeon, lihatlah siapa yang meneruskan nilai-nilai kita, bukan sekadar siapa yang mewarisi nama kita. Dalam buku Hita Batak Jilid 1 juga ditegaskan: anak perempuan bisa menjadi pewaris martabat, selama ia menjaga nama baik keluarga dan menjalani hidup dengan nilai-nilai luhur. Jadi, mengapa kita terus terjebak pada dikotomi laki-laki dan perempuan dalam pewarisan?
Zaman boleh berganti. Tapi nilai tak harus hilang, ia hanya perlu ditafsirkan ulang. Hari ini, Hagabeon bukan lagi tentang memperbanyak keturunan, tapi memperpanjang makna hidup. Dan itu bisa dilakukan siapa saja, selama ia bersedia menyalakan api kecil dalam hidup orang lain. Tak semua orang menyalakan api dari kayunya sendiri, tapi banyak yang menjaga nyala itu tetap hidup semalaman.
Bayangkan Hagabeon sebagai benih. Kadang kita sendiri yang menaburnya. Tapi kadang, kita justru merawat benih milik orang lain. Dan ketika benih itu tumbuh menjadi pohon, bahkan hutan yang menaungi banyak orang – bukankah itu juga Hagabeon?
Dalam dunia yang serba cepat dan serba ukur, Hagabeon mengajak kita untuk memperlambat dan memaknai. Ia mengingatkan bahwa warisan sejati bukan tentang apa yang kita tinggalkan, tapi siapa yang terus menghidupkan kita setelah kita pergi. Seperti sungai yang tak pernah bertanya siapa yang mengalirkannya, tapi terus menyuburkan tanah yang dilaluinya. Seperti kitab hidup yang tak hanya ditulis, tapi dibaca ulang oleh mereka yang kita sentuh.
Karena itu, Hagabeon bukan milik eksklusif darah dan silsilah. Ia adalah hak, sekaligus tanggung jawab siapa pun yang memilih hidup untuk yang lain. Maka setiap orang Batak – dengan atau tanpa anak, laki-laki atau perempuan – tetap bisa menjadi penjaga Hagabeon, selama ia sadar bahwa hidupnya akan terus hidup dalam kehidupan orang lain. Di situlah Hagabeon menjelma: bukan sekadar warisan, tapi gema hidup yang tak pernah padam. (Atur Lorielcide/TokohIndonesia.com)
Sumber Rujukan: Hita Batak Jilid 1 karya Drs. Ch. Robin Simanullang
Hagabeon dalam Hita Batak Jilid 1
Tulisan ini berpijak pada pemikiran dari Hita Batak Jilid 1 karya monumental Drs. Ch. Robin Simanullang. Di buku ini, Hagabeon tidak dipersempit hanya pada jumlah anak atau keharusan memiliki anak laki-laki. Hagabeon dimaknai sebagai kesinambungan hidup, melalui anak kandung, anak angkat, atau peran sosial yang menjaga nilai dan martabat keluarga Batak.
Buku ini juga menegaskan bahwa pengangkatan anak bukan hal asing dalam adat Batak, dan diakui penuh sebagai jalan sah untuk meneruskan marga dan kehidupan bersama. Bahkan mereka yang tidak memiliki keturunan, tetap bisa menjalani peran Hagabeon, selama ikut menjaga struktur sosial Dalihan Na Tolu dan menanamkan nilai bagi generasi berikutnya.
Di tengah dunia Batak yang terus berubah, pemahaman ini membuka ruang bagi siapa pun – dengan atau tanpa anak – untuk tetap menjadi bagian dari kesinambungan nilai dan martabat keluarga.