Hilirisasi Kemenyan: Retorika Tanpa Isi
Humbahas Sudah Lama Melakukannya

Istilah “hilirisasi” belakangan menjadi jargon yang mudah diucap, meski tak selalu dipahami maknanya. Maka ketika Wakil Presiden Gibran menyebut “hilirisasi kemenyan” di Humbang Hasundutan, publik justru bingung, bukan memberi apresiasi. Banyak yang bertanya-tanya: apakah ini bentuk perhatian terhadap komoditas lokal, atau sekadar retorika tanpa isi?
Pernyataan itu dilontarkan Gibran dalam suasana resmi, di hadapan para peneliti dan petani yang justru telah lama bergelut dengan komoditas yang ia sebut. Sekilas terdengar menjanjikan, tapi bagi mereka yang mengenal kondisi lapangan, pernyataan itu justru terasa ganjil. Kemenyan bukanlah temuan baru; ia telah berabad-abad menjadi bagian dari budaya, ekonomi, dan spiritualitas masyarakat di Humbahas, bahkan sudah diolah dan diekspor dalam berbagai bentuk. Maka ketika istilah “hilirisasi”, yang lahir dari ranah industri berat seperti nikel dan batu bara, dilemparkan ke konteks komoditas tradisional seperti kemenyan, kesan yang muncul bukan inovasi, melainkan disorientasi.
Di sinilah letak persoalannya. Pernyataan Gibran, meski terdengar modern dan relevan secara politik, justru memperlihatkan jurang antara narasi pusat dan pemahaman terhadap konteks lokal. Seolah-olah kemenyan belum pernah disentuh oleh upaya pengolahan, padahal para petani dan pelaku usaha kecil di Humbang Hasundutan telah lama mengekstraknya menjadi minyak, mengolahnya menjadi produk aromaterapi, bahkan mengekspornya dalam bentuk resin siap pakai. Mereka tidak menunggu jargon dari pusat untuk mulai berinovasi, mereka sudah melakukannya, diam-diam, dalam keterbatasan dan kesederhanaan.
Gibran tampaknya ingin tampil sebagai pemimpin muda yang peduli pada potensi daerah, dengan menggunakan bahasa pembangunan yang tengah digemari. Tapi ketika gagasan disampaikan dalam bahasa besar tanpa pijakan nyata, yang muncul justru kesan dangkal. Ia seperti pemimpin yang mengulang kalimat-kalimat populer tanpa benar-benar memahami maknanya. Dalam politik, bentuk komunikasi semacam ini sering disebut sebagai “retorika tanpa isi”: narasi yang dibangun agar terdengar aktif, namun kosong dari kedalaman substansi. Bisa jadi, niatnya adalah memperluas cakupan hilirisasi agar menyentuh komoditas tradisional. Tapi ketika kenyataan lama disampaikan seolah sebagai gagasan baru, publik justru menangkapnya sebagai tanda ketidaktahuan.
Kritik publik ini menegaskan pentingnya membedakan komunikasi simbolik dan substansial. Simbolik terjadi saat pemimpin menyebut suatu isu agar tampak sejalan dengan kebijakan nasional. Substansial terjadi bila ia benar-benar memahami konteks, mengenali pelaku lapangan, dan menawarkan solusi. Dalam hal ini, Gibran lebih banyak bergerak di ranah simbolik.
Di tanah Batak, menyadap kemenyan bukan sekadar soal panen. Ia bagian dari prosesi penghormatan, dengan ritual marhottas: doa dan persembahan sebelum mengambil getah dari pohon Styrax. Relasi ini bukan hanya soal manusia dan alam, tapi juga warisan antar generasi. Menyebut kemenyan tanpa memahami nilai budayanya sama saja dengan memisahkan komoditas dari akar yang menumbuhkannya. Pembangunan yang bijak semestinya memperkuat akar itu, bukan hanya memetik daunnya.
Sebagian orang mungkin menganggap pernyataan Gibran itu bukan kesalahan besar, sekadar kekeliruan dalam kunjungan kerja. Namun kualitas seorang pemimpin justru tercermin dari hal-hal kecil yang ia ucapkan. Di situlah kepekaan, pengetahuan, dan orientasi nilai terbaca. Maka wajar jika publik menaruh perhatian: apakah ia sedang belajar menjadi pemimpin, atau hanya mengulang pola lama dalam kemasan baru?
Dalam konteks komunikasi politik, ini menjadi pelajaran penting. Pemimpin hari ini tidak cukup hanya hadir dan berbicara. Ia harus mampu mendengar dan memahami. Kehadiran fisik saja tak akan memadai jika tak diiringi kehadiran nalar.
Pernyataan tentang hilirisasi kemenyan membuka soal yang lebih mendasar: bagaimana pemimpin memandang pembangunan, bagaimana pusat memahami daerah, dan apakah komunikasi elite benar-benar menjembatani atau justru memperlebar jarak. Dalam hal ini, kritik masyarakat tidak ditujukan pada pribadi Gibran semata. Ia adalah ekspresi kekecewaan terhadap pola komunikasi yang terasa berulang: pusat datang, menyebut sesuatu yang sudah lama dilakukan seolah hal baru, lalu pergi tanpa jejak tindak lanjut.
Jika publik menganggap pernyataan semacam ini sudah cukup, mungkin kita perlu bertanya ulang: apa yang sesungguhnya kita harapkan dari seorang pemimpin nasional? Apakah cukup hadir dan berbicara? Ataukah ia seharusnya memahami apa yang diwakilinya, mengenali apa yang telah berjalan, dan menghormati siapa saja yang lebih dahulu bekerja? Kemenyan tidak sedang menanti hilirisasi; ia menanti pengakuan bahwa proses hilirisasi itu sudah berjalan dan membutuhkan dukungan nyata, bukan sekadar menjadi kutipan dalam pidato singkat.
Pernyataan Gibran tentang hilirisasi kemenyan bukan sekadar soal salah ucap. Ia mencerminkan cara komunikasi politik yang sering menjadikan simbol lebih penting daripada substansi. Ketika hal yang sudah berlangsung dianggap temuan baru, dan suara pusat tak selaras dengan realitas daerah, yang muncul bukan arah pembangunan, melainkan justru kebingungan. Jika pola ini terus berulang, publik akan semakin sulit membedakan mana komitmen nyata dan mana sekadar retorika yang dirancang untuk terdengar peduli. (Atur Lorielcide/TokohIndonesia.com)