Diet Nasional: Siapa yang Sebenarnya Berhemat?

Diet Nasional digalakkan, anggaran dipangkas, rakyat diminta berhemat. Subsidi dikurangi, proyek infrastruktur tertunda, dan layanan publik diperketat demi efisiensi. Namun, di balik kebijakan penghematan ini, anggaran untuk kabinet jumbo tetap ada, retreat pejabat tetap berjalan, dan skandal anggaran terus bermunculan. Jadi, siapa yang sebenarnya sedang diet? Rakyat, atau hanya mereka yang tidak punya akses ke porsi lebih besar?
“Banyak pertanyaan, sedikit jawaban – dan itu masalahnya.”
Pemerintah menerapkan kebijakan efisiensi anggaran dengan pemangkasan besar-besaran. Belanja negara harus dikendalikan, subsidi dikurangi, proyek infrastruktur ditunda, dan masyarakat diminta hidup lebih hemat. Semua ini dilakukan demi menjaga stabilitas fiskal dan memastikan anggaran negara digunakan seefektif mungkin.
Sebagai warga negara yang rasional, tentu kita bisa memahami bahwa keuangan negara bukan sumber daya tak terbatas. Pengeluaran yang tidak terkendali bisa berujung pada krisis ekonomi yang lebih besar. Dalam situasi seperti ini, wajar jika pemerintah mengambil langkah untuk mengoptimalkan anggaran dan memangkas belanja yang dianggap kurang prioritas.
Namun, sebagai warga yang juga berpikir kritis, kita perlu bertanya: Apakah kebijakan penghematan ini diterapkan secara adil dan merata?
Dari sisi rakyat, kebijakan ini terasa cukup berat. Subsidi dipangkas, harga barang dan jasa naik, layanan kesehatan semakin terbatas, dan infrastruktur banyak yang mangkrak karena anggaran dikurangi. Bahkan pegawai negeri sipil (PNS) diminta tidak terlalu sering menyalakan AC di kantor sebagai bagian dari efisiensi energi.
Namun, di sisi lain, masih ada alokasi anggaran yang tampaknya tidak tersentuh oleh kebijakan hemat ini. Salah satu yang menjadi sorotan adalah struktur kabinet jumbo, yang terdiri dari lebih dari 100 pejabat, termasuk menteri dan wakil menteri. Jika pemerintah memang ingin memangkas anggaran, bukankah kabinet yang lebih ramping bisa menjadi salah satu solusi?
Selain itu, ada pula anggaran untuk retreat kabinet dan retreat kepala daerah yang menghabiskan dana miliaran rupiah. Retreat ini diadakan di Akademi Militer Magelang dengan dalih untuk menyatukan visi pemerintahan dan meningkatkan kedisiplinan para pejabat.
Di atas kertas, tujuan ini terdengar masuk akal. Namun, pertanyaannya adalah: Apakah retreat seperti ini benar-benar diperlukan, terutama di saat anggaran sedang diketatkan? Apakah tidak ada metode lain yang lebih hemat, misalnya dengan diskusi berbasis daring, pembekalan berbasis wilayah, atau mekanisme koordinasi yang lebih sederhana?
Kita tentu tidak ingin terjebak dalam pola pikir yang hanya bisa mengkritik tanpa memahami kompleksitas pemerintahan. Mengelola negara bukan perkara mudah, dan ada keputusan-keputusan yang mungkin sulit diterima dalam jangka pendek tetapi memiliki manfaat dalam jangka panjang.
Namun, sebagai warga negara yang cerdas, kita juga berhak mengajukan pertanyaan kritis: Mengapa kebijakan penghematan lebih banyak dibebankan kepada rakyat kecil? Mengapa anggaran untuk subsidi, pendidikan, dan kesehatan dipangkas, tetapi masih ada alokasi dana besar untuk hal-hal yang tidak langsung berdampak pada kesejahteraan masyarakat?
Lebih dari sekadar pemangkasan anggaran, yang dibutuhkan saat ini adalah keadilan dalam distribusi dan transparansi dalam pengelolaan anggaran. Jika rakyat diminta untuk berhemat, maka pemerintah juga harus menunjukkan bahwa mereka pun melakukan hal yang sama.
Kebijakan efisiensi tidak akan efektif jika hanya diterapkan pada satu sisi saja. Jika pengorbanan ini memang demi kepentingan bersama, maka semua pihak, termasuk pejabat dan pengelola anggaran negara, harus menunjukkan komitmen yang sama dalam mengurangi pemborosan dan meningkatkan efisiensi.
Diet Nasional seharusnya bukan hanya berlaku untuk rakyat, tetapi juga untuk mereka yang berada di atas. Karena jika hanya satu pihak yang harus berhemat sementara pihak lain tetap menikmati kemewahan, maka ini bukan lagi soal efisiensi – ini soal ketidakadilan.
“Banyak pertanyaan, sedikit jawaban – dan itu masalahnya.”
(Atur Lorielcide/TokohIndonesia.com)
Tabel 1: Pemangkasan Anggaran dan Penggunaan Anggaran Lainnya (2025)
Kategori | Kebijakan | Perkiraan Anggaran (Rp Triliun) | Keterangan |
Pemotongan Infrastruktur | Penundaan proyek jalan, jembatan, irigasi | 81,38 | Efisiensi untuk mendukung anggaran prioritas lain |
Pemotongan Pendidikan Tinggi | Pengurangan operasional kampus negeri | 7,68 | Dampak langsung ke mahasiswa |
Pemotongan Kesehatan | Pengetatan layanan dan pengadaan alat kesehatan | 4,25 | Terutama untuk fasilitas dasar |
Pemangkasan Perjalanan Dinas | Pembatasan dinas luar kota dan luar negeri | 2,45 | Bagian dari Instruksi Presiden |
Anggaran Kabinet Jumbo | Operasional 48 Menteri dan 55 Wakil Menteri | 6,5 | Salah satu struktur kabinet terbesar sejak 1966 |
Retreat Kabinet di Akmil Magelang | Kegiatan koordinasi kabinet | 4,0 | Melatih kedisiplinan dan kekompakan |
Retreat Kepala Daerah Nasional | Kegiatan pengarahan kepala daerah se-Indonesia | 13,0 | Dilaksanakan terpusat |
Tabel 2: Dampak Pemotongan Anggaran terhadap Layanan Publik
Sektor | Dampak Utama |
Pendidikan | Beasiswa berkurang, fasilitas kampus memburuk |
Infrastruktur | Penundaan pembangunan jalan tol, jembatan, dan irigasi |
Kesehatan | Keterbatasan alat medis, antrean pelayanan lebih panjang |
Energi | Kampanye penghematan listrik di instansi pemerintah |
Transportasi Publik | Penundaan proyek kereta, jalan nasional |
Catatan:
- Angka-angka adalah estimasi berdasarkan berita dan kebijakan aktual tahun 2025.
- Data bertujuan memperkuat narasi bahwa penghematan banyak dirasakan oleh sektor layanan publik, sementara penggunaan anggaran lain tetap berjalan di area elite.
Pusat Data Tokoh Indonesia, Maret 2025