Ijazah Jokowi: Kewajiban Moral yang Tak Kunjung Dipenuhi

 
0
175
Ijazah Jokowi Kewajiban Moral
IJAZAH JOKOWI: Di tengah tuntutan publik, transparansi bukan lagi pilihan, melainkan tanggung jawab.
Lama Membaca: 3 menit

Dalam demokrasi, transparansi adalah keutamaan – terutama bagi pejabat publik. Seorang pemimpin, bahkan setelah tak menjabat, tetap memikul tanggung jawab moral untuk menjaga kepercayaan rakyat. Karena itu, meski sah secara hukum, pernyataan bahwa ijazah hanya akan ditunjukkan jika diminta pengadilan tidak cukup secara etika demokratis. Demokrasi menuntut keterbukaan proaktif, bukan defensif. Publik menghendaki kejujuran yang bisa diuji, bukan sekadar diklaim.

Momen ketika Joko Widodo, mantan Presiden Republik Indonesia, memperlihatkan ijazah-ijazah pendidikannya kepada wartawan tanpa mengizinkan dokumentasi berupa foto atau rekaman, menjadi sorotan tajam di tengah riuhnya perdebatan publik tentang keaslian dokumen tersebut. Tindakan itu, yang dilakukan secara tertutup di kediamannya di Solo, tidak hanya mengundang pertanyaan, tetapi juga menggugah diskursus yang lebih dalam mengenai batas antara hak atas privasi dan tanggung jawab terhadap transparansi dalam negara demokrasi.

Menurut Anda, apa yang terpenting dalam merespons keraguan publik soal ijazah?
VoteResults

Alasan Jokowi jelas: ijazah adalah dokumen pribadi. Secara hukum, argumen ini sah. Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi melindungi setiap warga negara atas data-data yang bersifat pribadi, dan secara teknis, Jokowi memiliki hak untuk tidak mengizinkan siapa pun memotret atau merekam dokumen tersebut. Namun, hukum tak selalu berjalan sejajar dengan etika demokrasi. Jokowi bukan warga negara biasa. Ia adalah mantan kepala negara yang dua kali terpilih oleh rakyat, dan dalam sistem demokrasi, rekam jejak serta kredensial pendidikan seorang pemimpin nasional adalah bagian dari informasi yang memiliki kepentingan publik. Dengan kata lain, ketika menyangkut legitimasi pendidikan seorang kepala negara, publik berhak mengetahui dan memverifikasi, bukan hanya mendengar.

Apa yang dilakukan Jokowi memang bukan pelanggaran hukum. Tapi pertanyaan yang lebih dalam: apakah itu pantas secara etika? Dalam etika demokrasi, transparansi adalah keutamaan, terlebih bagi pejabat publik. Seorang pemimpin, bahkan setelah masa jabatannya usai, tetap memikul tanggung jawab moral untuk menjaga kepercayaan publik. Demokrasi menuntut keterbukaan proaktif, bukan defensif. Maka, dari perspektif ini, pernyataan kuasa hukum Jokowi bahwa ijazah hanya akan ditunjukkan jika diminta pengadilan tidak dapat dibenarkan secara moral demokratis.

Pernyataan itu memang logis dari sudut hukum, tetapi gagal menjawab kebutuhan etika demokrasi dan ekspektasi publik politik. Hukum boleh membolehkan, tapi publik menuntut lebih dari sekadar ketaatan prosedural. Mereka menghendaki kejujuran yang dibuktikan, bukan hanya diklaim.

Di tengah derasnya desakan keterbukaan, larangan mendokumentasikan ijazah justru menciptakan ruang kecurigaan. Bukannya menutup polemik, sikap itu memberi bahan bakar baru bagi mereka yang selama ini mempertanyakan keaslian dokumen tersebut. Dan ketika akses informasi dibatasi, publik mudah teringat pada masa lalu, ketika negara menentukan informasi mana yang boleh diakses dan mana yang tidak. Gema gaya Orde Baru – pengendalian narasi, pengawasan terhadap pers, dan ketertutupan informasi – muncul kembali, bukan dalam bentuk represif, tetapi dalam wujud yang lebih halus namun tetap problematis.

Tentu saja Jokowi bukan Soeharto. Ia tidak memberangus media, tidak memenjarakan lawan politik. Tapi ketika seorang mantan presiden meminta wartawan menyerahkan kamera dan ponsel sebelum melihat dokumen, peristiwa itu menimbulkan resonansi yang mengganggu. Dalam negara demokrasi, pembatasan terhadap kerja jurnalisme, walau secara prosedural sah, bisa melukai semangat kebebasan pers yang dijamin konstitusi. Maka membatasi dokumentasi bukan hanya persoalan privasi, tetapi menjadi simbol ketidaksiapan terhadap audit publik.

Jika dibandingkan dengan para pendahulunya, situasi ini menjadi lebih kontras. Soeharto, yang sangat tertutup dalam banyak hal, tak pernah diragukan ijazahnya. Gus Dur yang eksentrik dan penuh kontroversi tak pernah ditantang latar belakang pendidikannya. Susilo Bambang Yudhoyono, seorang jenderal akademis, dan Habibie, ilmuwan kelas dunia, memiliki legitimasi pendidikan yang kuat dan tak terbantahkan. Bahkan Megawati Soekarnoputri, meski sempat disorot soal latar belakang akademiknya, tak pernah berhadapan dengan gugatan keabsahan dokumen. Jokowi adalah satu-satunya yang menghadapi narasi “ijazah palsu” secara berkepanjangan. Dan justru karena itu, sebagai pemimpin yang lahir dari kelas sosial bawah dan naik lewat mandat rakyat, ada kewajiban moral dan etik untuk bersikap lebih terbuka demi menjernihkan persepsi publik.

Tindakan Jokowi juga tidak bisa dilepaskan dari gaya personalnya yang cenderung diam, menghindari konfrontasi, dan membiarkan waktu menjawab kritik. Namun dalam kasus seperti ini, diam justru bisa membentuk makna baru. Transparansi yang bersyarat dan komunikasi yang dikendalikan malah memperbesar ruang spekulasi. Dalam politik modern, persepsi lebih menentukan ketimbang pernyataan resmi. Ketika kebenaran dibatasi, kecurigaan tumbuh subur.

Advertisement

Mungkin Jokowi dan tim hukumnya ingin mempertahankan martabat, menjaga jarak dari polemik yang dianggap tidak berdasar. Namun, sebagai pemimpin yang pernah duduk di puncak kekuasaan, logika privasi tak bisa lagi berdiri sendiri. Apa yang menyangkut legitimasi kepemimpinan bukan lagi milik pribadi, melainkan milik publik. Bahkan jika ia merasa lelah, bahkan jika tidak ada kewajiban hukum, ada tanggung jawab moral yang tetap melekat.

Menunjukkan ijazah tanpa membiarkan publik mendokumentasikan memang bukan pelanggaran hukum. Namun, dalam dunia yang kian terbuka, itu adalah langkah yang lemah secara etika. Publik tidak menuntut kesempurnaan, melainkan kejujuran yang terbuka untuk diuji. Dan dalam demokrasi, kejujuran bukan hanya soal berkata benar, tetapi juga soal memberikan akses agar kebenaran bisa diperiksa oleh siapa pun, kapan pun.

Pada akhirnya, publik akan menilai bukan hanya dari isi ijazah yang tak pernah benar-benar terlihat, tetapi dari sikap seorang mantan presiden dalam menghadapi pertanyaan integritas – yakni dengan keberanian moral dan tanggung jawab yang berkelanjutan, bahkan setelah lampu-lampu kekuasaan padam. Dan dari sikap itulah, warisan kepemimpinan dinilai – oleh rakyat hari ini, dan oleh sejarah yang tak pernah lupa. (Atur Lorielcide/TokohIndonesia.com)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini