Jalan Pulang Seorang Cucu Panggoaran

Refleksi tentang kehilangan, tanggung jawab, dan sunyi yang menguatkan

0
119
Pinompar Op. Mangatur Boru
Pinompar Op. Mangatur Boru
Lama Membaca: 3 menit

Di kampung, duka bukan sekadar kehilangan. Ia kerap membuka kembali makna pulang, akar, dan tanggung jawab yang lama diam. Saat Ompung Boru pergi, bukan hanya sosok yang hilang, tapi juga simpul yang selama ini menyatukan. Di sanalah saya, cucu panggoaran, diingatkan kembali akan arti hadir di tengah keluarga.

Pulang kampung pada 23–28 Mei 2025, bersama orang tua dan adik-adik, menjadi perjalanan batin yang tak mudah. Ayah saya, Drs. Ch. Robin Simanullang, adalah anak panggoaran dalam keluarga besar kami – sosok yang tak hanya menjadi poros dalam adat, tapi juga tempat bertanya dan bersandar dalam banyak hal. Tujuan kepulangan kali ini adalah untuk melepas kepergian Ompung Boru tercinta (Ibunda dari ayah), Nurianna, Op. Mangatur Simanullang Boru Situmorang.

Ompung Boru wafat dengan tenang pada usia 98 tahun, tanpa mengalami sakit. Seusai makan bubur, Ompung Boru tiba-tiba lemas. Dokter segera datang, memberikan infus, dan membawanya ke rumah sakit. Tak lama setelah tiba di RS, Ompung Boru mengembuskan napas terakhir pada Rabu, 21 Mei 2025 pukul 14.30 WIB. Jenazah dimakamkan pada Senin, 26 Mei 2025, di Pemakaman Keluarga, Desa Hutagurgur, Doloksanggul, Humbang Hasundutan, dalam Upacara Gereja dan Adat Saur Matua.

Pulang kampung karena duka bukanlah yang pertama. Februari 2019, kami kembali karena kepergian Namboru tercinta. Namun duka kali ini terasa berbeda. Lebih dalam, lebih hening, dan entah bagaimana, lebih damai.

Ompung Mangatur Boru yang lahir pada 23 Juni 1926, bukan sekadar ibu dari 11 anak. Ia adalah simpul batin yang menyatukan. Poros kasih yang halus namun kokoh. Dalam peluk dan doanya, anak-anak, cucu, dan cicit merasa diterima apa adanya. Dari keturunannya, tercatat 39 cucu dan 46 cicit. Angka-angka itu mencerminkan kehidupan yang luas, yang tumbuh dari kasih yang konsisten dan tenang.

Di antara cucu-cucu itu, saya termasuk yang jarang pulang. Lebih sering diam. Lebih banyak berjalan sendiri. Tapi meski dari kejauhan, Ompung Boru tetap menjadi sosok yang menghadirkan rasa pulang bagi saya. Ia memahami saya dengan cara yang tidak menghakimi, memberi ruang untuk menjadi diri sendiri, namun tetap menarik kembali pada nilai-nilai keluarga.

Mungkin karena itu, meski dikelilingi banyak orang, saya sering merasa berjalan di jalur yang sunyi. Saya sadar tidak semua hal harus dijalani bersama. Ada bagian hidup yang memang harus ditempuh sendiri, termasuk ketika orang terdekat tidak berjalan ke arah yang sama. Bukan karena ingin menjauh, tetapi karena takdir membentangkannya begitu.

Setiba di kampung, sambutan keluarga besar terasa begitu tulus. Uda, Inang Uda, Amang Boru, Namboru, Tulang, Nantulang, Lae, Ito, Ompung, haha anggi, anggiboru, menyambut hangat. Kehangatan yang tak dibuat-buat. Sederhana. Tapi membekas. Rasa memiliki kembali meresap. Saya merasa menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar dari diri sendiri.

Saya selalu merasa bahwa kampung halaman adalah tempat saya berasal, bukan tempat saya tinggal. Namun setiap kali saya meninggalkannya, kesadaran akan akar itu justru semakin terasa. Jalan yang sunyi itu bukan sekadar pilihan, melainkan warisan. Sebuah tanggung jawab yang saya rasakan diam-diam, dan yang tak bisa saya elakkan.

Tanpa pelukan Ompung Boru, suasana terasa tak lengkap. Tapi justru dari kehilangan itu, saya semakin mengerti arti pulang yang sebenarnya. Bukan hanya kembali ke tanah, melainkan kembali ke akar. Kembali menyerap ulang makna keluarga. Dalam keheningan itu, saya yang jarang pulang pun merasa diterima sepenuh hati.

Advertisement

Kini, setelah Ompung Boru tiada, muncul pertanyaan dalam hati: akankah ikatan batin ini tetap terjaga? Tanpa sosok yang dulu menyatukan, akankah keluarga tetap saling merawat?

Saya tidak punya semua jawabannya. Tapi saya percaya, kehangatan yang tulus tidak benar-benar hilang. Ia tetap hidup dalam cara kita mengenang, menyapa, dan pulang.

Mungkin karena itu, jalan pulang kali ini terasa lebih sunyi, tapi juga lebih bermakna. Meski kembali ke ruang yang sepi, hati rasanya justru lebih tenang.

Kini, kehangatan kampung tinggal dalam ingatan. Saat kembali melangkah keluar dari kampung, saya sadar bahwa jalan pulang saya sering kali adalah jalan yang sepi. Saya terbiasa mengerjakan banyak hal sendiri, bahkan dalam hal-hal yang penting dan melelahkan secara batin. Bahkan orang-orang terdekat saya pun sering membiarkan saya sendiri, entah karena yakin saya mampu, atau karena memang saya tak pernah benar-benar meminta ditemani.

Tapi kepergian Ompung Boru juga meninggalkan panggilan yang tidak selalu mudah dijelaskan. Panggilan untuk lebih hadir di tengah keluarga, merangkul semua, dan menjadi bagian yang menghidupkan. Bukan hanya sebagai simbol, tapi sebagai penggerak. Tanggung jawab ini tidak ringan. Kadang muncul pertanyaan dalam hati, apakah saya mampu menjalankannya, terutama saat harus melangkah sendiri?

Dari budaya Batak, saya belajar bahwa menjadi berguna bagi orang lain adalah inti dari Hagabeon, Hamoraon, dan Hasangapon. Bukan tentang berapa banyak keturunan, harta, atau gelar yang dimiliki, tapi tentang keberadaan yang memberi arti bagi keluarga dan sesama.

Semoga Tuhan memampukan saya untuk memenuhi tanggung jawab ini sebagai cucu panggoaran. Sebuah peran yang membawa nama besar keluarga: Simanullang.

(Mangatur Lorielcide Paniroy Simanullang)

0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments