Jangan Lebay, ‘Sudah Dimasak Saja’

“Sudah dimasak saja” – begitu tanggapan seorang pejabat atas teror kepala babi ke jurnalis Tempo. Sebuah candaan yang bukan sekadar tak etis, tapi trik halus menormalkan kekerasan, membungkam empati publik, sekaligus memosisikan mereka yang mengecam sebagai pihak yang ‘panik dan lebay’.
Ketika sebuah kepala babi dikirim ke kantor Tempo, diarahkan langsung kepada jurnalis mereka, Francisca Christy Rosana (Cica), publik seharusnya mengecam keras peristiwa ini sebagai bentuk nyata dari teror terhadap kebebasan pers. Namun, apa yang terjadi justru sebaliknya. Dari pusat kekuasaan, kita mendengar tanggapan sinis: “Sudah dimasak saja.” Kalimat pendek ini keluar dari mulut Hasan Nasbi, Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan – posisi yang semestinya menjadi penjaga martabat bahasa dan empati negara di ruang publik. Pernyataan itu bukan sekadar lelucon keliru. Ia adalah bentuk komunikasi politis yang sangat strategis. Sebuah cara membungkus ancaman menjadi humor, menyulap kekerasan menjadi kenormalan, dan menggeser fokus publik dari substansi ke gaya. Inilah yang disebut dengan trik manipulasi persepsi publik.
Hasan Nasbi, dalam perannya sebagai arsitek komunikasi negara, sangat sadar bahwa opini publik dibentuk bukan hanya oleh fakta, tapi oleh narasi yang menyertainya. Dan dalam kasus ini, dia memilih menggunakan narasi sinisme. Dengan mengatakan “sudah dimasak saja”, ia seolah ikut dalam gaya santai korban – jurnalis Tempo yang memang menanggapi teror tersebut dengan kepala dingin. Tapi perbedaannya adalah: Cica adalah korban yang mencoba bertahan dengan keberanian. Sedangkan Hasan Nasbi adalah pejabat negara, yang seharusnya merespons dengan empati dan perlindungan, bukan ikut bercanda. Di sinilah terjadi distorsi peran: komunikasi kekuasaan yang menyaru sebagai solidaritas, padahal sesungguhnya sedang membelokkan arah pembicaraan publik.
Trik pertama yang digunakan adalah normalisasi ancaman. Dengan menjadikan teror simbolik sebagai bahan bercanda, publik diarahkan untuk menganggap hal tersebut bukanlah masalah besar. Ini adalah bentuk dari bias psikologis yang disebut normalization bias – kecenderungan manusia untuk menyepelekan peristiwa ekstrem karena dianggap “sudah biasa” atau “tidak menyentuh langsung kehidupan kita.” Dalam konteks kekuasaan, strategi ini sangat efektif karena membuat masyarakat tidak bereaksi dengan urgensi, tidak merasa perlu menuntut pertanggungjawaban, dan akhirnya, membiarkan kekerasan itu terus berulang. Di balik kesan “santai”, yang dibangun justru pembiaran sistemik.
Ini bukan hal baru dalam komunikasi politik Indonesia. Saat demonstrasi mahasiswa besar-besaran pada 2019 menolak sejumlah RUU kontroversial, aparat menggunakan kekerasan, beberapa mahasiswa luka berat, bahkan meninggal. Namun sejumlah pejabat hanya menyebutnya sebagai “gesekan biasa” dalam dinamika aksi. Kalimat itu melemahkan makna kekerasan sistematis, menyulapnya jadi rutinitas. Sama seperti komentar Hasan Nasbi, kekerasan simbolik terhadap jurnalis dibingkai sebagai hal biasa yang tak perlu dirisaukan.
Trik kedua adalah penggunaan ketenangan palsu sebagai strategi framing. Dalam teori komunikasi krisis, sikap tenang seorang pemimpin memang bisa memberi efek stabilisasi. Namun, ketika ketenangan itu tidak dilandasi empati dan aksi nyata, ia hanya menjadi selubung untuk menutupi ketidaksiapan atau keengganan mengambil sikap. Ini adalah bentuk manipulasi emosi publik. Ketika pejabat tampak tidak terganggu oleh insiden yang seharusnya mengusik nurani siapa pun, maka publik diajak untuk bersikap sama: menganggap ancaman terhadap jurnalis sebagai hal yang tidak mengganggu tatanan demokrasi. Padahal, faktanya justru sebaliknya. Serangan terhadap jurnalis adalah serangan terhadap hak kita semua atas informasi yang jujur dan independen.
Trik ini pernah terjadi pada awal pandemi COVID-19 tahun 2020. Saat banyak negara mulai siaga, sejumlah pejabat Indonesia justru menyatakan bahwa virus corona tidak akan masuk ke Tanah Air karena masyarakat gemar minum jamu atau tinggal di daerah tropis. Alih-alih bersikap waspada, negara memilih narasi yang menenangkan, meski tak berdasar. Hasilnya: publik terlambat menyadari bahaya, dan negara harus membayar mahal dalam lonjakan kasus. Begitu pula komentar Hasan Nasbi – ketenangan yang ia tampilkan bukan bentuk kedewasaan berpolitik, melainkan cara membungkam urgensi.
Trik ketiga adalah polarisasi naratif – sebuah teknik retoris yang membelah publik ke dalam dua kutub: mereka yang “santai dan rasional” versus mereka yang “panik dan lebay.” Dalam logika ini, yang bersikap kritis dianggap berlebihan, pencitra, atau bahkan subversif. Ini cara halus untuk menyudutkan pihak-pihak yang berteriak menuntut keadilan, termasuk media, aktivis, dan masyarakat sipil. Dengan cara ini, Hasan Nasbi tidak hanya menjauhkan empati dari korban, tetapi juga membingkai mereka yang peduli sebagai “masalah baru.” Ini sangat berbahaya dalam demokrasi, karena menjadikan keberpihakan pada nilai – seperti kebebasan pers – tampak tidak keren, tidak cerdas, dan tidak dibutuhkan.
Ini strategi yang sering digunakan dalam isu-isu strategis seperti proyek Ibu Kota Negara (IKN). Kritik terhadap proyek IKN dibingkai sebagai suara anti-kemajuan, anti-nasionalis. Kritik yang valid pun kehilangan tempat karena sudah dibungkus dengan label negatif. Dalam konteks kepala babi, suara-suara yang membela kebebasan pers kini dibingkai seolah hanya “drama” dari kalangan tertentu yang tak tahan tekanan.
Trik terakhir, yang paling subtil namun mematikan, adalah pengaburan makna simbolik. Dengan menjadikan kepala babi – simbol teror – sebagai objek humor, Hasan Nasbi sedang memainkan realitas. Ia sedang merebut makna dari simbol itu dan menggantinya dengan makna yang lebih ringan. Ini bukan sekadar manipulasi kata, ini adalah pembelokan makna. Ketika simbol teror kehilangan efek kejutnya, maka pelaku kekerasan telah dimenangkan secara diam-diam. Kita diajari untuk tertawa, bukan untuk bertindak.
Di masa lalu, praktik ini juga terjadi dalam wacana pelanggaran HAM berat. Saat para korban tragedi 1965 atau penculikan aktivis 1998 menuntut keadilan, beberapa tokoh menyebutnya sebagai “masa lalu kelam yang tak perlu diungkit.” Simbol perjuangan pun dikaburkan, ditenggelamkan oleh narasi rekonsiliasi yang menolak pertanggungjawaban.
Dalam semua ini, yang paling mengkhawatirkan bukan hanya komentar Hasan Nasbi, tetapi bahwa komentar seperti itu bisa dianggap biasa, bahkan dibela. Terus diulang, dari generasi ke generasi kekuasaan, dengan wajah yang berbeda tapi pola yang sama. Di sinilah letak bahaya terbesar dari komunikasi kekuasaan yang manipulatif: ia tidak lagi bersandar pada kebenaran atau empati, tetapi pada kelincahan membentuk persepsi. Ketika kekuasaan memilih bercanda atas kekerasan, publik diajak menertawakan ancaman. Ketika teror dibingkai santai, publik dibentuk agar lupa bahwa yang sedang diserang bukan hanya individu, tapi hak konstitusional kita semua atas informasi, kritik, dan kemerdekaan berpikir.
Intimidasi terhadap jurnalis bukan bahan guyon. Ia adalah alarm keras bahwa ada yang tidak beres dalam sistem. Apa yang dikatakan Hasan Nasbi adalah lelucon. Tapi jika kita diam, maka lelucon itu akan berubah menjadi kebijakan tak tertulis: bahwa kekerasan bisa ditertawakan, kritik bisa disederhanakan, dan jurnalis bisa diintimidasi tanpa konsekuensi. Dan itu bukan lagi sekadar kesalahan komunikasi. Itu adalah kegagalan moral. (Atur Lorielcide/TokohIndonesia.com)