Rakyat Berhak Bertanya, Pemimpin Wajib Menjawab

Ijazah Jokowi: Tak Cukup Ditunjukkan - Harus Bisa Diverifikasi

0
66
Ijazah Jokowi, Rakyat Berhak Bertanya
Ijazah Jokowi: Rakyat tidak hanya berhak bertanya, tetapi juga berhak untuk tidak langsung percaya.
Lama Membaca: 3 menit

Menjawab pertanyaan publik bukan soal tunduk pada tekanan, melainkan bentuk penghormatan terhadap rakyat yang telah memberi mandat. Dalam demokrasi, meragukan bukan tindakan subversif, tapi ekspresi kepedulian. Justru dari pertanyaan-pertanyaan itulah kepercayaan dibangun, dan hanya dengan keberanian untuk menjawab, seorang pemimpin menjaga kehormatan yang diwariskan kepadanya.

Dalam sebuah demokrasi, kepercayaan adalah fondasi. Tapi fondasi itu tidak dibangun dari rasa hormat yang buta, melainkan dari kesediaan terus-menerus untuk bertanya. Rakyat tidak hanya berhak bertanya, tetapi juga berhak untuk tidak langsung percaya. Karena itu, dalam masyarakat demokratis, hak untuk meragukan adalah bagian dari keberanian sipil yang paling dasar. Bukan karena ingin menghancurkan, tetapi karena ingin memastikan bahwa yang dibangun memang kokoh dan jujur. Perlu pula dicatat bahwa seorang pemimpin yang besar tidak akan merasa terancam ketika ditanya, karena ia tahu: menjawab dengan jujur adalah bagian dari kehormatan, bukan beban.

Dalam demokrasi, bagaimana seharusnya sikap pemimpin terhadap pertanyaan publik?
VoteResults

Polemik seputar ijazah mantan Presiden Joko Widodo telah melahirkan gelombang keraguan yang berkepanjangan di ruang publik. Bagi sebagian kalangan, pertanyaan tentang keaslian dokumen itu dianggap mengganggu, bahkan tidak sopan terhadap seorang mantan kepala negara. Namun, demokrasi tidak tumbuh dari kesopanan kosong. Ia tumbuh dari ruang yang terbuka terhadap pertanyaan – termasuk yang paling tidak nyaman sekalipun.

Dalam konteks ini, keraguan terhadap ijazah bukan soal kebencian, bukan pula semata urusan politik partisan. Ia adalah ekspresi dari rasa ingin tahu kolektif masyarakat, bahwa pemimpin yang dipercaya memegang kekuasaan tertinggi harus dapat diaudit secara terbuka, bahkan setelah ia lengser. Keraguan bukan penghinaan. Keraguan adalah permintaan verifikasi yang terbuka dan jujur.

Memang, tidak bisa diabaikan bahwa ada pihak-pihak yang mungkin membawa motif politik, dendam pribadi, atau keinginan menjatuhkan melalui isu ini. Namun demokrasi bukanlah sistem yang membungkam semua pertanyaan hanya karena sebagian orang bertanya dengan niat yang salah. Hak untuk bertanya tetap milik semua warga. Sebab demokrasi tidak memfilter suara berdasarkan motif, melainkan menguji substansinya secara terbuka.

Tapi yang kita saksikan, alih-alih dijawab secara terbuka dan meyakinkan, keraguan itu justru dihadapi dengan pelarangan dokumentasi, pembatasan akses, dan respons yang lebih legalistik ketimbang etik. Ketika Jokowi menunjukkan ijazahnya tapi melarang untuk dipotret, pesan yang tersampaikan ke publik bukanlah klarifikasi, melainkan kontrol. Dan saat Jokowi dan kuasa hukum menyatakan bahwa ijazah hanya akan ditunjukkan jika diminta pengadilan, publik merasa bahwa mereka tak lagi punya hak untuk tahu – kecuali jika negara menyuruh. Muncul kesan bahwa pertanyaan rakyat tidak dihargai, bahkan dianggap ancaman.

Padahal, hak untuk meragukan bukan hak yang diberikan oleh hukum, melainkan oleh akal sehat demokrasi. Rakyat tidak butuh izin untuk bertanya. Dan pemimpin yang besar, bukanlah mereka yang marah ketika dipertanyakan, tapi mereka yang menjawab tanpa defensif.

Kita bisa memahami bahwa Jokowi mungkin lelah. Sepuluh tahun diserang, difitnah, dibela, dan dipuja tentu bukan hal mudah. Tapi kelelahan pribadi tidak bisa dijadikan alasan untuk membatasi keinginan publik atas kejelasan. Apalagi jika pertanyaan itu menyangkut syarat legal dan simbolik dari jabatan yang pernah ia emban.

Di sinilah kita harus menyadari: demokrasi bukan hanya memberi hak kepada pemimpin untuk dipilih, tapi juga memberi hak kepada rakyat untuk mempertanyakan. Tanpa itu, demokrasi berubah menjadi represi yang dibungkus prosedur. Kita pun harus waspada terhadap kecenderungan menganggap pertanyaan sebagai serangan bahkan pembangkangan. Ketika warga bertanya lalu disamakan dengan fitnah atau hoaks, maka kita sedang masuk ke fase delegitimasi hak sipil. Jika dibiarkan, bukan hanya pertanyaan soal ijazah yang akan dibungkam, tetapi semua bentuk pengawasan terhadap kekuasaan.

Advertisement

Yang sering luput dari perhatian adalah bahwa menjawab pertanyaan publik bukan soal kalah atau menang, bukan soal tunduk pada tekanan. Bagi seorang mantan presiden, menjawab adalah bentuk penghormatan terhadap rakyat – mereka yang telah memberikan mandat dan kepercayaan. Jokowi, sebagai figur publik yang pernah memimpin negeri ini dua periode, tetap memikul tanggung jawab moral untuk menjaga kepercayaan itu. Dan tanggung jawab itu tidak berhenti di akhir masa jabatan.

Tulisan ini tidak bertujuan membuktikan kebenaran atau kepalsuan dokumen tertentu. Itu adalah ranah hukum. Tapi tulisan ini ingin menegaskan satu hal penting: bahwa selama belum ada penjelasan yang terbuka dan bisa diverifikasi, maka publik tetap punya hak untuk bertanya, untuk meragukan, dan untuk menagih keterbukaan. Hak ini bukan tindakan subversif, melainkan ekspresi dari demokrasi yang sehat.

Jika hari ini kita mengecilkan hak untuk meragukan, besok kita bisa kehilangan hak untuk percaya. Dan jika rakyat tidak lagi punya ruang untuk bertanya, maka pemimpin pun akan kehilangan cermin yang menunjukkan kebenaran wajahnya sendiri. (Atur Lorielcide/TokohIndonesia.com)

0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest


0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments