
[ENSIKLOPEDI] Proses pembentukan diri Agus Suhartono diawali dari proses pengasuhan orang tuanya. Anak kesembilan dari 10 bersaudara tersebut, sejak dilahirkan di Blitar, 25 Agustus 1955, diasuh dengan kasih sayang dan disiplin sangat tinggi Sang Ayah, Raden Manguedipoerno dan Sang Ibu, Masiyem.
Ayahnya seorang pensiunan bardon (pegawai pegadaian) didikan Belanda. Sang Ayah, sebagai pegawai negeri, memiliki disiplin yang sangat tinggi. Sementara, Sang Ibu, lembut dan penuh kasih sayang. Sehingga, anak-anaknya pun dididik dalam lingkungan kedispilinan yang tinggi. Tetapi bukan disiplin mati, melainkan disiplin dalam konteks. Disiplin tinggi yang dikaitkan dengan konteks, terutama konteks tanggung jawab. Artinya, kalau seseorang diberikan tanggung jawab maka bila ada kegiatan lain, maka tanggung jawab itu harus diselesaikan dulu atau pada waktu yang dijadwal kemudian.
Sang Ayah mengatur waktu tertentu harus belajar, harus ditaati. Kalau suatu waktu, jam belajar di rumah tidak bisa dilaksanakan pada waktu yang telah dijadwalkan semula, maka jam belajar harus digeser, sehingga jumlah jam belajar itu harus tetap terlaksana dengan penuh tanggung jawab.
Disiplin tinggi dalam konteks tanggung jawab itu sudah dilakoninya sejak kecil. Dulu ketika remaja, dia suka olahraga voli. Maka, setiap kali dia harus ke pertandingan voli sore hari, dia selalu lebih dulu menyelesaikan tanggung jawabnya mengisi air kamar mandi dengan menimba air dari sumur. Setelah tugas itu selesai, barulah dia berangkat ke pertandingan voli. Pendidikan atau pengasuhan berdisiplin tinggi dalam konteks tanggung jawab itu telah menempanya menuju ke arah kehidupan yang terarah dengan baik.
Awalnya Tak Paham Tentara
Agus mengawali pendidikan dasar formalnya, Sekolah Dasar di tempat kelahirannya, Blitar, Jawa Timur. Masa remajanya juga diisi pendidikan menengah, SMP dan SMA juga di Blitar. Kemudian selepas SMA, dia melanjut ke Akademi TNI Angkatan Laut (AAL)[] angkatan ke-24 tahun 1978. Walaupun sebenarnya, dia tidak begitu paham dengan tentara. Tapi dia mendaftar ke AAL semata karena ingin mendapat pendidikan yang dibiayai oleh negara (ikatan dinas) dan kemudian memiliki masa depan yang baik. Dia pun mendaftar ke Akademi Angkatan Laut (AAL) dibimbing salah seorang kakaknya yang kebetulan sarjana farmasi yang wajib ikut militer di Angkatan Laut.
“… selama belajar dan berlatih sebagai taruna di Akademi Angkatan Laut, dia memegang prinsip disiplin tinggi dalam konteks tanggung jawab yang telah ditanamkan kedua orang tuanya. Selain itu, dia juga mendapat pengalaman-pengalaman menarik dan berharga hidup bersama rekan-rekan seangkatan, senior dan juniornya. Semua pengalaman itu memberinya makna hidup dalam kebersamaan yang sangat kental.”
Selain itu, sebagai jalan yang (dipilih) oleh Tuhan, tanpa dia sadari untuk apa gunanya, sewaktu kelas dua SMA, selain senang olahraga, dia juga senang jogging. Sehingga latihan pisik itu menguatkan dan mempermudah dalam mengikuti tes masuk AAL. Selain pembekalan mengikuti tes akademis yang diperoleh di SMA dimana semua siswa memiliki kesempatan atau peluang yang sama untuk menghadapi tes masuk AAL, dia merasa dibimbing Tuhan menjalani pembekalan untuk mengikuti tes pisik.
Sementara dalam hal psikotes, dia berterimakasih kepada orangtua yang telah mendidiknya sedemikian rupa, sehingga berpengaruh sebagai bekal mengikuti psikotes masuk AAL. Hasil dari semua itu, dia bisa masuk di Akademi Angkatan Laut.
Kemudian, selama belajar dan berlatih sebagai taruna di Akademi Angkatan Laut, dia memegang prinsip disiplin tinggi dalam konteks tanggung jawab yang telah ditanamkan kedua orang tuanya. Selain itu, dia juga mendapat pengalaman-pengalaman menarik dan berharga hidup bersama rekan-rekan seangkatan, senior dan juniornya. Semua pengalaman itu memberinya makna hidup dalam kebersamaan yang sangat kental.
Selama menjalani pendidikan di AAL itu ditempuh melalui suatu kebersamaan. Dia memetik inti pokok pendidikan di dalam AAL itu ada dua macam. Yakni, pendidikan akademis dalam konteks klasikal, dan pendidikan non akademis dalam konteks kehidupan taruna (sosial).
Dalam konteks kehidupan taruna itu, mereka dididik bagaimana agar para calon perwira dapat menjalin kebersamaan dengan teman yang lain. Hal ini penting untuk mampu berkiprah dalam organisasi TNI yang besar, yang selalu menuntut kebersamaan. Oleh karena itu secara awal pendidikan selalu dilatih kebersamaan. Contohnya, jika ada (kendati hanya) satu-dua orang taruna yang melakukan pelanggaran, tetapi semua rekannya harus menerima risikonya. Hal ini dimaksudkan untuk memupuk kebersamaan, solidaritas dan empati.
Jadi walau hanya satu yang melanggar maka yang lain harus ikut menanggung akibatnya. Dengan demikian, timbul empati, kebersamaan, pemahaman antara yang satu dengan yang lain. Timbul toleransi di antara satu sama lain. Orang yang biasanya melanggar akhirnya bertoleransi, dengan berusaha tidak melakukan pelanggaran lagi, supaya temannya tidak ikut menanggung akibatnya lagi. Sebaliknya, teman yang lain yang ikut dihukum juga memberikan empati kepada teman yang dihukum akibat pelanggarannya.
Setelah tamat dari AAL, Agus Suhartono mengawali karir sebagai Perwira Komunikasi KRI Yos Sudarso 353 (15 Juli 1979). Sementara, penuh tanggung jawab menjalankan tugas, dia juga terus mengasah diri dengan mengikuti berbagai pendidikan dan kursus. Di antaranya: Kursus Dasar Operasi Amphibi (1978); Kursus Prosedur Taktis (1982); Sekolah Lanjutan Perwira Artileri (1985); Commando Training Team (Belanda, 1986); Nuclear Biological Chemical Damage (NBCD, Belanda, 1986); dan Operation/Maintenance HARP (1987)
Kemudian, dia mengikuti Seskoal Angkatan-32 (1994/1995); Sesko TNI Angkatan-26 (1999/2000); Lemhannas, KRA Angkatan ke-36 (2003); dan Maritime Force Commander Caurse (Hawaii, 2006). Penulis: Ch. Robin Simanullang | Bio TokohIndonesia.com