
[WAWANCARA] Wawancara Dewi Fortuna Anwar Deputi Sekretariat Wakil Presiden Bidang Politik (2 dari 2) – Secara de facto dan de jure Papua merupakan bagian tidak terpisahkan dari NKRI. Pemerintah tidak bisa menganggap sepele atas maraknya aksi kontak bersenjata di Papua.
Menurut Deputi Sekretariat Wakil Presiden Bidang Politik Dewi Fortuna Anwar bahwa masalah yang terjadi di Papua sudah demikian komplit dan bermasalah sejak integrasinya dengan NKRI, indentitas masyarakat yang dimarjinalkan, eksploitasi ekonomi dan ditambah dengan pelanggaran HAM yang terjadi.
“Ini sekarang yang harus kita perhatikan, kita tidak boleh mengangap hal ini sepele. Tidak bisa melihat masalah Papua hanya terbatas pada masalah ekonomi, kita harus menghargai bahwa ada perasaan terdiskriminasi. Kita harus sadari bahwa pelanggaran HAM ini akan memperburuk masalah karena ia akan menjadi pintu masuk internasionalisasi, ” jelas Dewi Fortuna Anwar.
Khusus untuk pelanggaran HAM, Guru Besar Ilmu Politik Universitas Indonesia ini mengatakan, pemerintah harus serius dan tidak boleh keliru dalam mengambil tindakan di Papua. Adanya doktrin baru responsability to protect, negara tidak bisa bersembunyi di belakang kedaulatan hanya karena berdaulat. Kedaulatan negara masih diakui sebatas tidak melanggar kemanusiaan.
Selain menyoroti masalah Papua, ia juga juga memberikan pandangannya tentang pemimpin. Menurutnya perbedaan pemimpin terletak pada keberanian untuk mengatakan kebenaran.
Berikut wawancara Dewi Fortuna Anwar kepada wartawan TokohIndonesia.com , Bety Bahagianty dan Bantu Hotsan di Gedung Sekretariat Wakil Presiden Lt. 3 Jl. Kebon Sirih, Jakarta (8/5/2012.
Bagaimana Anda melihat adanya gerakan atau daerah yang mencoba melepaskan diri dari NKRI, contohnya seperti Papua sedangkan Timor Timur sudah lepas dari Indonesia?
Kalau kita melihat Timor Timur dan sekarang Papua, itu isu dasarnya itu adalah memang ada masalah dalam proses integrasinya itu sendiri. Kalau Tim Tim itu jelas memang bukan bagian dari Hindia Belanda. Timor Timur dijajah Portugal dan memang tidak masuk di dalam wacana NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia). Jadi ketika Timor Timur berintegrasi ke NKRI, itu kan hanya kehendak sebagian dari orang Timor Timur. Sementara kita tahu sebagian lainnya memberontak di depan atau lari ke luar negeri dan berjuang untuk kemerdekaan Timor Timur di luar negeri. Dan kita tahu bahwa integrasi Timor Timur ke Republik Indonesia tidak pernah diakui oleh masyarakat internasional. Tidak pernah mendapat pengakuan dari PBB.
Pemerintah harus serius dan tidak boleh keliru dalam mengambil tindakan di Papua. Adanya doktrin baru responsability to protect, negara tidak bisa bersembunyi di belakang kedaulatan hanya karena berdaulat. Kedaulatan negara masih diakui sebatas tidak melanggar kemanusiaan.
Jadi dari awal itu sudah masalah (problem) sehingga apapun yang dilakukan oleh Indonesia di sana (Timor Timur), itu mendapatkan sorotan dari luar negeri. Dan ketika mendapat perlawanan terhadap kekuasaan Jakarta dibalas oleh Jakarta dengan tindakan represif itu hanya memperburuk situasi. Karena isunya, tidak hanya isu seperatisme tetapi sudah menjadi isu HAM (Hak Azasi Manusia). Dan Indonesia berada dalam posisi yang tidak bisa dipertahankan.
Kalau Papua agak berbeda. Papua ini adalah bagian dari Hindia Belanda dan bagi Indonesia, Jakarta sejak awal Papua ini adalah bagian tidak terpisahkan dari NKRI. Tapi Belanda, kita tahu mengulur-ulur waktu dan tidak mau menyerahkan Irian Barat ke Indonesia. Sementara diulur-ulurnya waktu itu, Belanda secara sengaja mendorong munculnya nasionalisme Papua. Sehingga melalui proses pertama ada upaya pembebasan Irian Barat melalui militer, tapi kemudian juga ada upaya melalui perundingan akhirnya Irian Barat kembali ke Indonesia.
Bibit permasalahan itu sudah cukup dalam di tanam oleh Belanda. Jadi itu yang menjadi permasalahan, sehingga integrasi ke Indonesia, walaupun secara politis sudah selesai dan juga masyarakat internasional mengakui Papua sebagai bagian dari Indonesia. PPB mengakui Papua sebagai bagian dari Indonesia, walaupun tidak secara menyeluruh ada, satu, dua, namun secara umumnya masyarakat internasional mengakui Papua sebagai bagian dari NKRI. Tapi bibit yang ditanamkan oleh Belanda mengenai nasionalisme itu sudah keburu tertanam, ini jadi satu. Jadi ada problem sejarah di situ.
Kedua, problem sejarah ini dipersulit oleh adanya masalah identitas. Karena kita tahu masyarakat Indonesia ini sangat majemuk. Tapi ada masalah bahwa kalau di Indonesia bagian barat, perbedaan itu lebih kepada etnisitas. Kita semuanya orang Melayu, warna kulit sama, rambut sama-sama lurus dan sebagian besar muslim, walaupun ada yang Kristen tapi nenek moyangnya sama. Tapi Papua masyarakatnya datang dari ras Melanesia dengan kulit yang lebih gelap, rambut yang lebih kriting dan sebagainya, agamanya sebagian besar agama asli atau Kristen.
Perbedaan indentitas ini menjadi isu ketika ada perasaan bahwa orang Indonesia dari bagian barat yang berpusat di Jakarta ini, cenderung memandang masyarakat Papua, ada sikap merendahkan, diskriminatif dan sebagainya. Jadi ada perasaan dimarjinalkan, jadi ini. Pertama tadi, pada waktu pertama kali integrasi sudah ada masalah. Buat perasaan indentitas itu juga ada, merasa dilecehkan.
Ketiga, masalah ekonomi. Kita tahu potensinya ini luar biasa. Tanahnya sangat luas, kekayaannya sangat besar, namun karena pendudukanya kecil dan human resourch development-nya/sumber daya manusia juga masih terbatas. Maka pembangunan Papua ini lebih banyak dijalankan oleh orang-orang yang datang dari luar Papua. Ekonomi di Papua berkembang tapi perkembangan itu banyak dilakukan melalui tangan-tangan orang dari luar Papua.
Jadi perasaan indentitas yang sudah berbeda menjadi makin parah, karena ekonomi di kuasai oleh orang luar. Kapital dikuasai, ada Freeport di situ istilahnya. Tapi Freeport juga membawa insinyur dari Bandung, Surabaya dan sebagainya. Jadi ada penguasaan ekonomi masyarakat lokal bahkan terpinggirkan. Karena ada perasaan tidak puas ini, terjadilah upaya-upaya pemberontakan ada OPM dan sebagainya.
Karena ada pemberontakan negara turun dengan kekerasan. Karena pemberontak kan harus di kalahkan, harus dibasmi, terjadilah tindakan-tindakan represif yang menyebabkan ada beberapa pelanggaran HAM jadi kompitlah itu. Jadi ada sejarah integrasi yang bermasalah, ada perasaan indentitas yang dimarjinalkan, ada perasaan eksploitasi ekonomi ditambah lagi ada pelanggaran HAM.
Ini sekarang yang harus kita perhatikan, kita tidak boleh mengangap hal ini sepele. Tidak bisa melihat masalah Papua hanya terbatas pada masalah ekonomi, kita harus menghargai bahwa ada perasaan terdiskriminasi. Kita harus sadari bahwa pelanggaran HAM ini akan memperburuk masalah karena ia akan menjadi pintu masuk internasionalisasi.
Karena masalah ekonomi saja itu mungkin masalah lokal, tapi begitu ada pelanggaran HAM ini menjadi isu dunia karena dunia sekarang ini menganggap bahwa pelanggaran HAM berat itu adalah tanggung jawab dari komunitas internasional semuanya untuk mencegah. Karena ada doktrin baru namanya, responsability to protect, tidak bisa lagi negara bersembunyi di belakang kedaulatan hanya karena berdaulat maka orang tidak boleh ikut campur. Itu tidak bisa lagi pertahankan sekarang. Kedaulatan negara masih diakui sebatas itu tidak melanggar kemanusiaan. Jadi ini pemerintah harus betul-betul serius tidak boleh salah di Papua.
Dikatakan seorang pemimpin harus melakukan sesuatu yang benar. Apa maksud dari filosofi tersebut?
Jadi, tidak hanya untuk tujuan yang benar tetapi cara mencapai tujuan itu juga (harus) benar. Seorang pemimpin harus tahu apa yang harus dilakukan, what has to be done, the leader must be to the right think. The right think itu bukan selalu the popular think.
Kadang-kadang seorang pemimpin mungkin harus melakukan sesuatu yang sangat mungkin tidak popular. Yang menurut penilaian dia dan analisis tentang kepentingan bangsa tersebut, itu harus dilakukan. Harus memilih mana yang harus dilakukannya walau itu mungkin tidak populer dan pemimpin harus mempunyai keberanian soal itu, do the right think. Tidak hanya cukup do the riht think tapi he has to do it right, to do think right.
Kadang-kadang untuk menyelamatkan satu orang dari hukuman massa, seorang pemimpin harus berani mengatakan itu adalah kebenaran.
To do rights secara hukum, jelas tidak boleh menabrak-nabrak hukum. Secara anggaran misalnya dia harus tepat. Misalnya kita melakukan sesuatu, hukum ditabrak, uang dihabis-habiskan. Kemudian SDM-nya tidak dikelola dengan baik, itu namanya not to do the right think. Jadi kalau kita melakukan sesuatu cara dengan cara-cara yang salah, akhirnya sasarannya juga nggak tercapai. Kita harus menentukan apa-apa yang harus dilakukan. Misalnya harus mengembangkan infrastruktur untuk perkembangan ekonomi. Itu ada pilihan-pilihan yang harus dibuat.
Untuk memilih yang mana yang paling tepat itukan bukan pilihan antara yang buruk dan yang baik tapi antara yang kurang buruk dengan yang lebih buruk. Kadang-kadang pilihannya tidak (bisa) hitam putih. Harus memilih antara membayar lebih banyak untuk kopensasi buruh atau menyisihkan uang untuk membangun jalan atau memberikan lebih banyak investasi untuk pendidikan dasar. Atau apakah kita harus memastikan bahwa seluruh orang Indonesia mendapatkan pendidikan yang sama atau kita harus fokus untuk menciptakan sense of excellent sehingga ada orang-orang Indonesia yang kompetitif secara global.
Ini ngak mudah pilihan ini. Kalau kita menekankan kepada kuantitas kadang-kadang kualitas kurang tercapai. Kalau mendekatkan kepada kualitas, kuantitasnya pun tidak tercapai nanti ada gap antara yang paling pintar dengan yang bodoh-bodoh. Jadi pilihan yang tidak mudah.
Nah itu kadang-kadang pemimpin harus memilih, to do the right think. Dan the right think tidak selalu benar salah dalam arti agama. Tapi benar dan salah dalam arti, apa yang paling baik bagi satu bangsa saat itu.
Kadang-kadang juga apa yang populer dengan yang tidak populer. Pernah kah kita…kan (saya) suka menonton tivi, dulu ada Justice Bao yang sering kali membuat keputusan yang kontroversial yang nggak kepikir. Tapi itu yang memang benar walaupun itu tidak populer. Ada orang yang dituduh membunuh dan masyarakat di desa itu menyatakan ini orang harus dihukum mati. Tapi Justice Bao bisa menyelidiki dan mengatakan tidak, jadi dia harus diselamatkan.
Di kita juga sekarang ini masalah antara agama dimana ada sekolompok masyarakat yang mengatakan dirinya bagian dari mayoritas melakukan intimidasi kepada minoritas. Dalam hal ini pemerintah harus bisa bersikap benar, bahwa melindungi minoritas adalah tanggungjawab dari pemerintah. Walaupun nanti pemerintah menjadi tidak populer di sebagian kelompok mayoritas. Bagi politisi kadang-kadang membuat keputusan ini susah. Kenapa? Kalau kita melindungi minoritas, mayoritasnya marah kepada kita.
Tapi kadang-kadang untuk menyelamatkan satu orang dari hukuman massa, seorang pemimpin harus berani mengatakan itu adalah kebenaran. Dan ini tidak mudah. Itu yang membedakan antara pemimpin dan yang bukan pemimpin, keberanian untuk mengambil resiko itu. Berita wawancara TokohIndonesia.com | hotsan
<==== Sebelumnya 1 dari 2