
[SELEBRITI] Suaranya yang khas, dipadu dengan cengkok serta teknik improvisasi yang baik menjadikan Broery Pesulima sebagai penyanyi pria yang paling disegani di zamannya. Penyanyi asal Ambon kebanggaan Indonesia ini menghembuskan nafasnya yang terakhir pada usia 51 tahun setelah berjuang melawan stroke.
Penyanyi kelahiran Ambon, 25 Juni 1948 ini terlahir dengan nama Simon Dominggus Pesulima dari pasangan Gijsberth Pesulima dan Wilmintje Marantika.
Sejak kecil, anak sulung dari empat bersaudara ini aktif dalam kegiatan paduan suara di gereja. Ia mengawali kiprahnya pada bidang tarik suara di kampung halamannya. Tahun 1964, ia mengikuti Festival Bintang Radio yang diadakan Radio Republik Indonesia (RRI) Ambon. Ketika hijrah ke Jakarta dan bersekolah di SMA PSKD, bakat Broery di bidang olah vokal semakin terasah dengan tampil di luar lingkungan gereja.
Broery sempat mengganti nama belakangnya menjadi Marantika, nama keluarga ibunya. Ia memang sangat mengagumi sosok ibu, sebab di mata Broery, Wilmintje merupakan perempuan sederhana namun penuh kasih. Selain itu, berbeda dengan tiga adiknya, masa kecil Broery pernah dihabiskan di bawah asuhan keluarga pamannya dari pihak ibunya, Pdt. Simon Marantika. Oleh sang paman, Broery diperlakukan tak ubahnya anak kandung. Belakangan, ia kembali menggunakan nama Pesulima setelah mendapat protes dari keluarga mendiang ayahnya.
Pada tahun 1973, Broery tampil dalam sebagai jawara Festival Lagu-Lagu Pop Indonesia. Saat itu ia membawakan lagu ciptaan Nick Mamahit yang berjudul Penuh Harapan. Setahun berselang ia mengikuti World Pop Song Festival sebagai perwakilan Indonesia. Dalam acara yang dihelat di Budokan Hall Tokyo itu, ia membawakan tembang bertajuk Cinta, salah satu karya emas milik Titiek Puspa.
Broery tak hanya piawai menyanyi namun juga menguasai alat musik. Kemampuannya itu kemudian mengantarkannya bergabung dengan Anagatha, sebuah kelompok musik yang diakui Broery sebagai kelompok musik pertamanya. Bersama Anagatha, ia tampil di berbagai acara mulai dari pesta sekolah, pesta keluarga, hingga acara mahasiswa. Hingga pada akhirnya dalam sebuah kesempatan ia berkenalan dengan Dimas Wahab dan Pomo.
Perkenalan dengan dua musisi itu akhirnya membawa kakak kandung dari Henky, Freejohn, dan Helmy ini bergabung dengan band bernama The Pro’s. Di band itu ia juga berkolaborasi dengan nama-nama besar di dunia musik seperti Chrisye, Abadi Soesman, dan Ronnie Makasutji.
Setelah itu, Broery bergabung dengan Remy Leimena Group. Dari situ jalan untuk masuk dapur rekaman mulai terbuka bagi Broery. Di bawah naungan label rekaman Remaco, Broery mulai membuat album rekaman. Di awal karir profesionalnya ia kerap menyanyikan lagu-lagu Barat, salah satunya adalah Love is Blue. Setelah itu ia baru membawakan lagu-lagu Indonesia. Angin Malam, Mimpi Sedih, Pertama Hati, dan Layu Sebelum Berkembang, merupakan sederet lagu karya musisi dalam negeri yang pertama kali dinyanyikan Broery. Lagu-lagu tersebut merupakan karya maestro musik pop, almarhum A Riyanto. Album-albumnya laris manis di pasaran. Seiring dengan perolehan yang luar biasa itu, nama Broery semakin dikenal masyarakat.
Popularitasnya sebagai penyanyi akhirnya mendatangkan tawaran di bidang lain, yaitu berakting di layar lebar. Debutnya sebagai aktor terekam dalam film ‘Akhir Sebuah Impian’. Dalam film yang diedarkan di Malaysia sekitar tahun 1971-an itu, ia tak sekadar berakting tapi juga menyanyikan dua lagu yang masih dikenang hingga kini yaitu ‘Angin Malam’ dan ‘Mimpi Sedih’.
Judul-judul film yang juga pernah dibintanginya adalah Brandal-brandal Metropolitan, Impian Perawan, serta film arahan Turino Junaedy yang berjudul Akhir Sebuah Impian. Judul yang disebutkan terakhir itu bahkan amat digemari masyarakat Malaysia dan Singapura. Kabarnya, film tersebut bahkan diputar selama 40 hari nonstop. Tak hanya film, lagu-lagu Broery juga mendapat tempat istimewa di dua negara tetangga itu. Ia juga memperkaya khazanah musik pop Malaysia lewat tembang hitsnya Senja di Kuala Lumpur, Mimpi di Siang Hari, dan lain sebagainya.
Sejak kecil, anak sulung dari empat bersaudara ini aktif dalam kegiatan paduan suara di gereja. Ia mengawali kiprahnya pada bidang tarik suara di kampung halamannya. Tahun 1964, ia mengikuti Festival Bintang Radio yang diadakan Radio Republik Indonesia (RRI) Ambon. Ketika hijrah ke Jakarta dan bersekolah di SMA PSKD, bakat Broery di bidang olah vokal semakin terasah dengan tampil di luar lingkungan gereja.
Untuk memuaskan dahaga para penggemarnya yang tersebar di segala penjuru dunia, Broery kerap berkelana dari satu negara ke negara lain, mulai dari kawasan Asia Tenggara, Australia, Jepang, Amerika, hingga Belanda. Saat bertandang ke Singapura ia berkenalan dengan penyanyi, Anita Sarawak yang kemudian menjadi istrinya. Pelantun lagu ‘Tragedi Buah Apel’ itu dinikahi Broery secara Islam, dengan menggunakan nama muslim, Broery Abdullah.
Sayangnya pernikahan dua penyanyi top itu hanya bertahan selama beberapa tahun saja hingga akhirnya mereka memutuskan untuk berpisah. Setelah bercerai sebelum sempat dikaruniai anak, mantan istri Broery hijrah ke Las Vegas, Amerika Serikat untuk menjalani profesinya sebagai penyanyi di sana.
Pasca resmi menyandang status duda, Broery kemudian kembali ke Tanah Air. Sampai suatu ketika, dalam sebuah perayaan Natal di Hotel Sari Pan Pacific Jakarta, ia dipertemukan dengan sang pujaan hati yang kelak mendampinginya hingga maut menjemput. Wanita yang juga berdarah Ambon itu bernama Wanda Irene Latuperisa. Wanda, begitu ia biasa disapa, adalah seorang perempuan berusia 19 tahun, sedangkan usia Broery saat menikah untuk kedua kali sudah memasuki kepala empat.
Namun nyatanya, meski ada perbedaan usia yang cukup jauh, pasangan Broery-Wanda berhasil mempertahankan rumah tangganya hingga dikaruniai dua orang anak, Indonesia Pesulima dan Nabila Methaya Pesulima.
Pernikahan keduanya seakan memberikan semangat baru dalam hidup Broery. Ia pun kembali berkiprah di dunia musik setelah vakum selama empat tahun dengan membuat album rekaman di akhir tahun 80-an. Kala itu Broery membawakan lagu karya musisi Rinto Harahap yang berjudul Aku Jatuh Cinta dan ‘Aku Begini, Engkau Begitu’ yang akhirnya melahirkan sepenggal idiom populer, Buah Semangka Berdaun Sirih. Dua lagu tersebut menandai kembalinya Broery di jagad musik pop tanah air. Setelah itu, ia seakan tak letih untuk terus melahirkan lagu-lagu hits.
Pamor Broery terus bersinar hingga awal dekade 90-an. Dalam sebuah ajang penghargaan bagi insan musik bertajuk Jakarta Music Festival, ia memborong penghargaan untuk empat kategori sekaligus, yakni Video Klip Terbaik, Soundtrack Terbaik, Komposisi Terbaik, dan Produser Terbaik. Pada malam penghargaan itu, Broery juga tampil sebagai pengisi acara dengan membawakan sebuah lagu ‘There Was Love’ karya Rod Thompson.
Di pertengahan tahun 90-an, ia bekerja sama dengan Hadi Soenyoto, produser HP Record. Dari kerjasama itu, Broery berduet dengan penyanyi Dewi Yull membawakan tembang romantis berjudul ‘Jangan Ada Dusta Di Antara Kita’ dan ‘Rindu Yang Terlarang’.
Banyaknya tawaran menyanyi, membuat Broery lalai menjaga kondisi fisiknya. Ditambah lagi pola hidup yang kurang teratur hingga pada akhirnya ia terserang stroke. Serangan penyakit yang dijuluki the silent killer itu pertama kali menyerang Broery pada 23 September 1998, saat ia tengah berjogging dengan istrinya. Usai berjogging, Broery tidak bisa menggerakkan badannya. Keesokan harinya, Broery dilarikan ke RS Puri Cinere. Menurut hasil diagnosis dokter yang merawatnya, dr. David Tandian dan dr. Marwatal Hutajulu, Broery mengalami pendarahan pada otak sebelah kirinya. Akibatnya ia harus menjalani perawatan dan terapi bagian tubuh sebelah kanan di rumah sakit selama hampir dua bulan.
Dokter menganjurkannya untuk membatasi aktivitas termasuk menyanyi. Namun anjuran itu tak serta merta merontokkan semangat Broery untuk terus memperdengarkan suara emasnya. Sekeluarnya dari rumah sakit setelah hampir dua bulan menjalani perawatan, ia kembali ke dapur rekaman dengan menyelesaikan album duet berjudul ’20 Spesial Nostalgia’ bersama Dewi Yull. Di samping itu, ia juga merampungkan satu album keroncong berisi lagu-lagu lamanya.
Hikmah lain yang dipetiknya kala terbaring sakit adalah ia menjadi lebih mendekatkan diri pada Sang Pencipta. Di tengah deraan penyakitnya, dengan susah payah ia datang dari satu gereja ke gereja lain untuk memberikan kesaksian dan memuji keagungan Tuhan lewat lantunan suaranya.
Dalam salah satu kesaksian di sebuah acara rohani, Broery yang sudah tidak bisa bicara dan duduk di kursi roda, memberikan kesaksian di atas panggung. Dengan didampingi Wanda, Broery bicara dengan bahasa yang hanya dimengerti oleh istrinya. Selesai kesaksian, Broery yang sama sekali tidak bisa bicara justru ingin menyanyi. Meski terbata-bata, tapi cengkok khas Broery toh keluar juga dengan utuh membawakan lagu Amazing Grace.
Hingga pada akhirnya serangan stroke kedua menyerang otak sebelah kanan Broery saat ia menyanyi di sebuah gereja pada 14 Mei 1999. Untuk kali kedua ia masuk ruang ICU RS Puri Cinere. Serangan stroke yang kedua ini lebih parah karena ia tidak bisa bicara dan hanya terbaring tempat tidur saja. Setelah menjalani perawatan tanpa pembedahan selama 44 hari, Broery akhirnya berhasil keluar dari ICU. Tentunya hal itu tak terlepas dari dukungan doa dari istri serta kedua anaknya.
Di penghujung bulan September tahun 1999, ia mengalami kejang selama satu setengah jam. Ia pun kembali menjalani perawatan selama satu setengah bulan sebelum akhirnya diizinkan pulang. Setelah keluar dari rumah sakit, kondisi Broery sempat dikabarkan berangsur membaik. Dalam sakitnya, Broery memiliki sekelumit impian mulia, yakni menyanyi bagi para orang tua di desa-desa serta mendirikan rumah yatim piatu. Selain itu ia juga berniat menanggalkan predikatnya sebagai penyanyi pop sekuler dan beralih menjadi penyanyi rohani.
Namun manusia hanya bisa berencana dan Tuhanlah yang menentukan. Setelah setahun lebih bergulat melawan stroke, perjuangan Broery akhirnya berakhir pada hari Jumat, 7 April 2000 pukul 7.15 WIB. Penyanyi asal Ambon kebanggaan Indonesia itu menghembuskan nafasnya yang terakhir di Rumah Sakit Puri Cinere, Jakarta Selatan pada usia 51 tahun setelah mengalami sesak nafas dan tekanan darahnya meningkat. Wanda, wanita yang selama ini setia mendampinginya tidak berada di sisinya karena sedang diutus gereja ke Los Angeles, Amerika Serikat.
Firasat akan kepergian Broery sebenarnya sudah dirasakan kedua anaknya, Indonesia dan Nabila atau yang akrab disapa Don dan Laya. Setelah selesai berdoa ketika hendak berangkat sekolah, tidak seperti biasanya, kedua bocah itu sempat meminta maaf pada ayahnya. Dalam beberapa bulan terakhir mereka juga selalu ingin tidur di samping ayah dan ibunya meski masing-masing mempunyai kamar sendiri. Rupanya jauh hari sebelum kepergian ayahanda tercinta, Don dan Laya sudah merasakan sesuatu akan terjadi. eti | muli, red