Ridwan Kamil dan Karma Pengadilan Opini Publik

 
0
123
Pengadilan Opini Publik
PENGADILAN OPINI PUBLIK: Kini kita hidup dalam zaman di mana narasi bisa lebih kuat dari bukti. Emosi bisa menggantikan logika.
Lama Membaca: 5 menit

Ridwan Kamil – yang dulu ikut bersuara lantang saat publik menghakimi Panji Gumilang – kini merasakan sendiri tajamnya penghakiman yang datang tanpa jeda, tanpa pengadilan, tanpa klarifikasi. Ia bukan yang pertama, dan jelas bukan yang terakhir. Di pengadilan opini publik, semua bisa jadi hakim – hingga tiba giliran mereka sendiri yang diadili. Karena di zaman ini, kebenaran bisa kalah oleh persepsi, dan karakter bisa hancur hanya karena satu unggahan yang viral.

Di era digital, kita tidak lagi sekadar menjadi penonton dari drama sosial-politik yang terjadi. Kita adalah komentator, penyebar, bahkan hakim yang menjatuhkan vonis. Kita duduk di kursi kekuasaan tanpa surat kuasa, berteriak “salah” tanpa bukti lengkap, dan menghukum seseorang dengan satu tombol “share”. Di sinilah lahir satu institusi sosial yang tak terdefinisi dalam undang-undang, tapi daya hancurnya bisa melampaui meja hijau: pengadilan opini publik.

Apakah menurut Anda pengadilan opini publik di era media sosial lebih banyak membawa kebaikan atau kehancuran?
VoteResults

Apa yang semula hanya menjadi desas-desus kini bisa meledak menjadi narasi publik hanya dalam hitungan menit. Yang disebarkan bukan lagi fakta utuh, melainkan potongan-potongan narasi visual dan emosi personal yang diramu sedemikian rupa agar viral. Di titik inilah pengadilan opini publik berubah fungsi: dari alat demokratis menjadi senjata yang menghukum bahkan sebelum proses hukum dimulai. Dan dalam banyak kasus, pengadilan opini publik justru menjadi alat pembunuhan karakter yang lebih kejam daripada hukuman resmi.

Salah satu contoh terbaru yang sangat menonjol adalah kasus Ridwan Kamil dan tuduhan perselingkuhan yang dilontarkan oleh seorang wanita bernama Lisa Mariana. Isu ini meledak di media sosial ketika Lisa Mariana mempublikasikan tangkapan layar percakapan pribadi, video call, dan klaim bahwa dirinya pernah hamil dan diabaikan oleh sosok pria yang disebut sebagai mantan Gubernur Jawa Barat. Narasi yang dibangun Lisa Mariana sangat personal dan emosional, membuat publik langsung bereaksi. Dalam hitungan jam, nama Ridwan Kamil terjungkal dari narasi kepemimpinan santun dan religius menjadi subjek empuk perundungan dan spekulasi.

Di sisi lain, hingga kini belum ada pembuktian hukum atas klaim Lisa Mariana tersebut. Ridwan Kamil pun telah membantah semua tuduhan itu. Dalam pernyataannya, ia menyatakan bahwa hanya pernah bertemu Lisa satu kali, dan menyebut kasus ini sebagai fitnah bermotif ekonomi. Ia menyatakan akan menempuh jalur hukum dan menekankan bahwa semua tuduhan telah diselesaikan secara internal empat tahun lalu.

Sayangnya, publik sudah terlanjur bersidang. Publik tak lagi tertarik pada penjelasan. Mereka sudah terlanjur asyik dengan kisah dramatis dan imajinasi yang sedang mereka bangun sendiri. Kebenaran? Nanti saja. Persepsi? Yes!

Yang membuat kasus ini lebih ironi adalah kenyataan bahwa Ridwan Kamil pernah menjadi bagian dari pengadilan opini publik itu sendiri. Saat masih menjabat Gubernur Jawa Barat, ia dengan lantang bersikap terhadap Panji Gumilang dan Al-Zaytun, menyebut ajarannya menyimpang dan perlu tindakan tegas. Pernyataannya menambah bensin di atas bara, memperkuat tekanan terhadap aparat untuk menangkap Panji Gumilang. Kini, giliran dia yang diseret ke meja opini – diadili tanpa ampun, tanpa ruang klarifikasi, dan tanpa jeda. Apa yang dulu ia gunakan untuk menekan seseorang, kini berbalik menghakimi dirinya.

Kasus pimpinan Al-Zaytun Panji Gumilang menjadi bukti nyata dari pengadilan opini publik. Ia dituduh menista agama melalui ajaran-ajarannya yang dinilai menyimpang dari norma-norma mayoritas umat Islam. Potongan-potongan ceramah Panji Gumilang yang tersebar di media sosial – yang dipenggal dan dikemas dengan nada provokatif – membentuk gelombang kemarahan publik. Demonstrasi meledak, tokoh-tokoh agama menuntut tindakan, dan tekanan publik mendorong aparat menetapkannya sebagai tersangka penistaan agama. Bahkan sejumlah media mainstream ikut menggoreng isu lalu melebar dengan memberitakan berbagai fitnah.

Yang menarik, dalam kasus Panji Gumilang, perdebatan publik jauh lebih mendominasi daripada pembuktian hukum. Diskusi soal perbedaan tafsir agama, hak atas kebebasan berkeyakinan, dan ruang eksistensi ajaran minoritas nyaris tak terdengar. Yang dominan adalah narasi “ajaran sesat”, “bahaya terhadap akidah”, dan “harus dihukum”. Sekali lagi, publik sudah memutuskan jauh sebelum majelis hakim bersidang. Proses hukum yang seharusnya berjalan dengan nalar ilmiah dan adil, terpaksa berlari mengikuti ritme kemarahan massa.

Advertisement

Dan siapa yang bisa melupakan kasus Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) di tahun 2016, salah satu contoh terbesar lainnya dari kekuatan opini publik. Dalam satu pidatonya di Kepulauan Seribu, ia menyinggung Surat Al-Maidah 51. Video pidato tersebut dipotong, disebar, dan dijadikan alat pembentukan opini. Meski konteks ucapannya membuka ruang tafsir, potongan video dan framing politik menjadikannya musuh umat karena dianggap menista agama. Aksi 212 membesar menjadi gerakan sosial-politik. Ahok akhirnya dijatuhi hukuman dua tahun penjara karena penistaan agama. Banyak yang menilai, yang menghukum bukan hukum, tapi tekanan dari opini publik yang dibakar dengan sentimen keagamaan dan politik.

Namun kita juga tak bisa menutup mata bahwa pengadilan opini publik tak selalu kelam. Kadang, ia menjadi satu-satunya jalan menuju keadilan, menjadi penyelamat.

Kasus Baiq Nuril menjadi saksi nyata. Seorang guru di NTB, ia justru dipenjara karena merekam pelecehan verbal dari atasannya. Hukum gagal membela korban. Tapi masyarakat bersuara. Petisi digalang, media bersuara, dan akhirnya Presiden memberikan amnesti. Ia bebas bukan karena hukum sadar, tapi karena publik menolak untuk diam.

Prita Mulyasari adalah ibu rumah tangga yang digugat RS Omni karena mengirim email berisi keluhan pelayanan. Ia digugat secara perdata dan pidana. Namun dukungan publik membalik keadaan. Gerakan “Koin untuk Prita” menjadi simbol perlawanan terhadap ketimpangan kekuasaan. Gugatan dicabut. Ia akhirnya dibebaskan, tapi proses panjang itu hanya mungkin diselamatkan oleh kekuatan suara publik.

Kasus Ferdy Sambo dan Brigadir J adalah monumen besar pengaruh publik. Awalnya, publik diberi narasi “baku tembak” antar polisi. Tapi warga tidak percaya. Investigasi netizen, media independen, dan tekanan dari masyarakat membongkar kebohongan besar. Kini Ferdy Sambo divonis hukuman penjara seumur hidup lewat putusan Mahkamah Agung (MA). Tanpa tekanan publik, bisa jadi fakta akan terkubur selamanya.

Dan tentu, siapa bisa melupakan kasus Vina Cirebon. Kasus pembunuhan keji terhadap Vina dan kekasihnya Anggi pada 2016 kembali mencuat berkat media sosial. Ketika muncul dugaan bahwa pelaku utama masih berkeliaran, masyarakat bergerak. Tagar #JusticeForVina menggema, investigasi netizen dimulai, dan tekanan publik membuat kasus ini dibuka kembali. Sekali lagi, proses hukum digerakkan oleh desakan publik yang percaya bahwa keadilan belum ditegakkan sepenuhnya.

Namun semua itu menegaskan wajah ganda atau pedang bermata dua pengadilan opini publik. Di satu sisi, opini publik adalah koreksi sosial terhadap sistem hukum yang lambat, bias, atau tak adil. Ia menjadi alarm sosial ketika aparat tidur. Ia menjadi benteng terakhir bagi korban yang tak punya suara. Dalam beberapa kasus, suara masyarakat menyelamatkan yang lemah dari ketidakadilan yang membutakan.

Namun di sisi lain, pengadilan opini publik juga bisa berubah menjadi alat pembunuhan karakter yang lebih kejam daripada hukuman resmi. Dia menghukum tanpa proses, tanpa pembuktian, dan tanpa ruang klarifikasi. Ia menjatuhkan vonis, lalu berlalu begitu saja – tanpa rasa bersalah, tanpa koreksi.

Kini kita hidup dalam zaman di mana narasi bisa lebih kuat dari bukti. Emosi bisa menggantikan logika. Dan reputasi bisa hancur bukan karena vonis pengadilan, tapi karena ribuan komentar dan potongan video viral. Dan akhirnya, kita dipaksa untuk menerima kenyataan pahit: bahwa kebenaran kini punya musuh baru – viralitas. Bukan lagi soal benar atau salah, tapi siapa yang lebih dulu trending/FYP, siapa yang lebih menyentuh, siapa yang lebih disukai algoritma. Bukti bisa menyusul, klarifikasi bisa ditunggu. Tapi persepsi yang terbentuk sejak awal sulit dipatahkan.

Itulah pengadilan opini publik. Ia tak butuh sidang. Tak kenal waktu. Tak perlu prosedur. Ia hanya butuh dua hal: perhatian dan emosi.

Ironinya, hari ini Anda bisa jadi hakim. Besok Anda bisa jadi terdakwa. Mungkin karena sebuah pernyataan, mungkin karena satu foto, mungkin karena sesuatu yang dulu Anda abaikan. Sama seperti Ridwan Kamil yang dulu menjadi hakim dan sekarang menjadi bulan-bulanan pengadilan opini publik. (Atur Lorielcide/TokohIndonesia.com)

 


Tabel Fakta tentang Pengadilan Opini Publik

Aspek Fakta Keterangan
Definisi Pengadilan opini publik adalah proses “penghakiman” sosial melalui media massa atau media sosial, tanpa mekanisme hukum resmi. Seringkali terjadi sebelum proses hukum berjalan.
Karakteristik Cepat, emosional, viral, tidak berbasis bukti lengkap. Dipengaruhi persepsi, bukan fakta terverifikasi.
Kekuatan Utama Persepsi, emosi, algoritma media sosial. Likes, shares, dan trending menentukan “siapa yang benar”.
Sisi Positif Koreksi terhadap sistem hukum yang lambat atau bias. Menjadi “alarm sosial” saat hukum gagal bekerja.
Sisi Negatif Pembunuhan karakter tanpa pembuktian. Orang bisa dihancurkan reputasinya sebelum sempat membela diri.
Contoh Kasus Ahok, Baiq Nuril, Prita Mulyasari, Ferdy Sambo, Vina Cirebon, Ridwan Kamil. Beberapa diselamatkan oleh opini publik, beberapa dihancurkan olehnya.
Musuh Baru Kebenaran Viralitas. Yang lebih cepat trending lebih dulu dipercaya, bukan yang lebih benar.
Risiko Sosial Trial by media, mob justice, pembelokan fakta. Bisa menghancurkan keadilan jangka panjang.
Tantangan ke Depan Menyeimbangkan kekuatan publik dengan prinsip keadilan berbasis bukti. Membangun kesadaran literasi digital dan etika bermedia.

Pusat Data Tokoh Indonesia, Maret 2025

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini