Rielniro: Merangkai Gema dalam Dua Slide

Sederhana saat dibaca, panjang saat direnungkan

Rielniro: Merawat Jeda, Membiarkan Sunyi Bicara Rielniro: Psikologi di Balik Sunyi Rielniro: Tidak Ingin Jadi Pusat
0
11
Rielniro: Merangkai Gema dalam Dua Slide
Atur Lorielcide, dikenal sebagai Rielniro, menjaga kekuatan kata dalam format dua slide — berbicara secukupnya, memberi ruang secukupnya.
Lama Membaca: 3 menit

Di tiga tulisan sebelumnya, kita mengenal Rielniro sebagai penulis yang merawat jeda, memahami sunyi, dan memilih tidak berada di pusat sorot. Tapi ada satu bahasa visual yang ikut membentuk identitasnya di media sosial: format dua slide. Bagi banyak pengikutnya, dua gambar itu bukan sekadar estetika. Ia menjadi semacam tanda tangan kreatif: memadatkan ide, menyisakan ruang, dan meninggalkan gema.

Catatan Redaksi:
Tulisan ini adalah bagian keempat dari Seri Rielniro di rubrik Lorong Kata.
Sebelumnya, seri ini telah membahas sunyi sebagai pilihan menulis dan cara hidup.
Baca juga bagian sebelumnya:
Rielniro: Merawat Jeda, Membiarkan Sunyi Bicara,
Rielniro: Psikologi di Balik Sunyi, dan
Rielniro: Tidak Ingin Jadi Pusat.

Format ini lahir dari prinsip yang sama dengan gaya menulisnya: minimalis, tenang, dan tepat sasaran. Dalam beberapa percakapan kreatif, ia menyebut bahwa dua slide memaksanya memeras gagasan hingga ke esensinya, hanya yang penting yang tinggal. Batas ini ia anggap cukup untuk berbicara, dan cukup untuk diam. Lebih dari itu, pesan bisa kehilangan tajamnya. Dua slide juga memberi ritme alami: pembaca berhenti sejenak di slide pertama, lalu menatap slide kedua dengan kesiapan yang setengah sadar. Di sanalah jeda muncul, memberi ruang untuk berpikir sebelum “pukulan” datang.

Bahasa dua slide ini mengikuti pola yang hampir selalu sama. Slide pertama menjadi premis hening: pernyataan atau pengamatan yang tampak sederhana, kadang netral, kadang ambigu, yang membuat pembaca bertanya pada dirinya sendiri. Slide kedua menjadi pukulan sunyi, membalik atau menajamkan makna slide pertama, sering kali dengan nada paradoks. Narasi dua slide ini dibangun seperti percakapan batin: premis yang memicu, lalu diikuti resonansi mendalam yang tinggal lebih lama dari kata-katanya.

Beberapa contohnya:
Yang diam bukan selalu damai, diikuti Ia memilih melindungi diri dengan membiarkan luka orang lain tetap terbuka.
Atau: Mau tahu… apa yang kusuka darimu? diikuti Following-mu tak sampai 100.
Atau: Yang tetap tenang bukan karena tak merasa. Tapi karena tahu, tidak semua luka perlu dibunyikan.
Diikuti: Yang memilih diam sering paling lama mendengar gema dari sunyi yang ia biarkan tinggal.

Format ini bekerja karena memberi jarak antara pemicu dan resolusi. Jeda singkat saat perpindahan dari slide pertama ke kedua adalah ruang sunyi yang ia sengaja ciptakan. Di sana, pembaca tak sekadar melihat, tapi ikut merangkai makna.

Interaksinya dengan pembaca pun selaras dengan ini. Ia tidak menuntut respons atau penjelasan. Ia hadir tanpa mengetuk, membiarkan pembaca membuka pintu sendiri. Ruang yang ia beri memungkinkan pembaca bergema dalam sunyi. Ia mengisi jeda dengan tafsir dan rasa milik masing-masing. Kalimat-kalimatnya pendek, berirama, dan sering dibiarkan menggantung. Metafora yang muncul alami, tanpa polesan berlebihan, tak terlihat, tapi terasa lebih kuat daripada “Aku rindu”. Kadang seperti embun pagi: menggambarkan rasa yang hadir diam-diam. Pertanyaan implisit juga sering dipakai, tanpa tanda tanya, mengajak pembaca berpikir tanpa merasa diinterogasi.

Di setiap narasi dua slide, selalu ada ‘caption penguat’ yang ditaruh di kolom caption. Caption penguat ini tidak mengulang isi narasi, melainkan menambahkan lapisan rasa atau perspektif yang membuat narasi semakin bergema di benak pembaca. Bagi Rielniro, ini seperti menyisipkan gema kedua: tidak keras, tapi cukup untuk membuat makna bertahan lebih lama. Ia juga memilih tagar dengan cermat, bukan sekadar untuk jangkauan, tapi untuk memperkuat bobot atau arah narasi yang ingin dibawa.

Meskipun singkat, dua slide Rielniro memuat beberapa tema yang menjadi benang merah: relasi emosional, keputusan sunyi, koneksi batin, dan ketertarikan selektif. Semua dibangun dengan pola premis dan pukulan yang konsisten. Salah satu contohnya: Mau tahu apa yang kusuka darimu? diikuti dengan Following-mu tak sampai 100.

Seiring waktu, format ini ikut berevolusi. Awalnya hanya berupa dua slide statis yang jika dibuat menjadi reel berdurasi sekitar 10 hingga 15 detik, kini juga hadir sebagai carousel post dengan panjang 10 hingga 15 slide untuk narasi berlapis, atau IG Reels 60 detik untuk cerita yang lebih utuh. Namun, DNA narasinya tetap sama: membangun premis hening, memberi jeda, lalu menyampaikan pukulan sunyi. Bahkan ketika bentuknya lebih panjang, prinsip ini tetap terlihat dalam alur cerita: pembaca diajak berjalan pelan, lalu diberi satu titik yang membuat mereka berhenti dan merasa. Di saat banyak kreator menjejalkan pesan ke puluhan slide demi waktu tonton lebih lama, Rielniro tetap mempertahankan dua slide sebagai napas awal yang membentuk identitasnya.

Bagi Rielniro, dua slide adalah cara untuk berbicara secukupnya dan diam secukupnya. Ia tidak menggunakannya untuk mengejar algoritma atau memancing respons cepat. Dua slide bukan sekadar format, melainkan bahasa yang selaras dengan cara ia memandang dunia. Tidak semua hal perlu dijelaskan panjang, tapi setiap kata yang muncul harus punya tempatnya.

Advertisement

“Aku hanya seseorang yang tahu kapan berhenti menyesuaikan diri,” tulisnya dalam satu karya.

Sebuah kalimat sederhana yang terasa seperti inti dari semua sunyi yang ia bangun.

Atau seperti kutipannya yang lain:
“Sunyi adalah superpowerku. Aku tidak lagi sibuk membuktikan apa pun. Yang tahu, tahu. Yang tidak, bukan urusanku.”

Di tengah hiruk pikuk media sosial, sunyi semacam ini terasa seperti perlawanan kecil yang bermakna panjang.

Bahasa dua slide Rielniro membuktikan bahwa kesederhanaan bisa memikul kedalaman. Di dunia yang sering memuja banyak kata, ia menunjukkan bahwa dua potongan kalimat, bila ditempatkan tepat, bisa tinggal lama di kepala pembaca.

Mungkin itu sebabnya, dua slide miliknya bukan sekadar konten, tapi percakapan diam yang hanya lengkap di kepala masing-masing pembacanya.

Seperti pernah ditulis tentangnya, “Rielniro menulis seperti seseorang yang tidak mengetuk pintu, hanya berdiri tenang di luar, membiarkanmu membuka jika mau.”

Dan mungkin, justru karena ia berhenti di situ, gema itu bertahan lebih lama.

Catatan:
Untuk menemukan karya lain Rielniro di luar Lorong Kata, kunjungi:
Instagram: @rielniro
Facebook: Riel Niro

(TokohIndonesia.com / Tokoh.ID)

0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments