Buya Guru Moral Bangsa

Syafi’i Ma’arif Untuk Apa Agama? Rezim Pepesan Kosong
 
0
1852
Syafii Maarif
Syafii Maarif | Tokoh.ID

[ENSIKLOPEDI] Prof. Dr. H. Ahmad Syafi’i Ma’arif, MA, yang akrab dipanggil Buya Syafi’i Ma’arif, seorang guru besar ilmu sejarah, yang juga ahli filsafat dan agamawan (ulama). Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah (1999-2005), ini ‘si anak kampoeng’ pejuang pluralisme dan guru moral bangsa. Seorang muslim panutan yang tulus dan bersahaja.

Penulis: Ch. Robin Simanullang

PROLOG | Penerima penghargaan Magsaysay Award (2008) dan Habibie Award dalam bidang harmonisasi kehidupan beragama (2010), itu tampak tak merasa lelah, apalagi merasa takut, untuk menyampaikan pesan-pesan moral, suara kenabian, untuk membangun etika moral dan karakter bangsa, menyebar nilai-nilai agama (Islam) yang rahmatan lil ‘alamin. Memperjuangkan nilai-nilai toleransi dan perdamaian, kebenaran dan keadilan serta kemanusiaan universal.

Sangat pantas,mantan Presiden World Conference on Religion for Peace (WCRP) kelahiran Sumpur Kudus, Sumatera Barat, 31 Mei 1935, itu diberikan sebutan Buya, suatu panggilan kehormatan buat orang Minangkabau yang berasal dari kata abi, abuya dalam bahasa Arab, yang berarti ayahku, atau seseorang yang dihormati.

Perpaduan keahlian sebagai sejarawan, ahli filsafat dan agamawan (ulama) telah mengasah dirinya menjadi manusia pembelajar, guru pembawa obor moral bangsa. Buya Syafii Maarif tidak kuasa untuk bungkam, jika melihat ada sesuatu yang perlu diluruskan atau diperbaiki. Demi keberagaman, kemanusiaan, kebenaran dan keadilan, dia tidak mau terpengaruh oleh tekanan maupun kenikmatan.

Kekuatan reliji (Islam) yang telah dimiliki sejak pengasuhan masa kecil, remaja, dewasa hingga masa tuanya, telah menempanya menjadi seorang cendekia yang arif, baik dalam pergulatan keilmuan, keagamaan dan pergaulan kemasyaratan, kebangsaan dan kenegaraan. Dalam konteks keberagamaan, kemasyarakatan dan kebangsaan, dia adalah seorang pejuang keberagaman (pluralisme), toleransi, perdamaian dan kemanusiaan. Dalam konteks bernegara, dia adalah negarawan sejati yang taat pada asas dan nilai-nilai dasar Pancasila dan UUD 1945 serta aturan hukum turunannya.

Seorang tokoh agama (Islam) yang kaya kearifan sejarah dan filsafat. Pesan, pemikiran dan pandangan serta kritiknya sangat terasa bening dan tulus. Dia tak pernah terlihat mengusung beban kepentingan diri dan/atau kelompoknya. Suaranya adalah suara kenabian yang mendorong semua orang meninggalkan kemungkaran menuju kebaikan. Suara (Islam) yang rahmatan lil alamin.

Mantan Anggota Dewan Pertimbangan Agung RI (1999-2003), ini tidak pernah merasa sungkan, baik kepada penguasa dan ulama, maupun sahabat dan kerabat dekat, untuk melontarkan kritik dan pandangan atas sesuatu yang dianggapnya perlu diperbaiki. Dia adalah seorang agamawan dan cendekiawan yang memiliki kemauan dan kemampuan mencubit dan menertawakan diri sendiri. Bahkan kemampuan itu, sudah menjadi sifat dan karakter yang menyatu dalam dirinya, yang terpancar dari penampilan kesehariannya yang rendah hati dan bersahaja.

Bagi dia, rendah hati adalah refleksi dari iman. Dia adalah salah satu orang (ulama dan cendekia) yang semakin berisi (beriman dan berilmu) menjadi semakin rendah hati. Dia memancarkan pesan: Cilakalah seseorang, termasuk penguasa, jika menampakkan filsafat ilalang, yang jika semakin tinggi semakin liar tumbuhnya.

Perpaduan keahlian sebagai sejarawan, ahli filsafat dan agamawan (ulama) telah mengasah dirinya menjadi manusia pembelajar, guru pembawa obor moral bangsa. Buya Syafii Maarif tidak kuasa untuk bungkam, jika melihat ada sesuatu yang perlu diluruskan atau diperbaiki. Demi keberagaman, kemanusiaan, kebenaran dan keadilan, dia tidak mau terpengaruh oleh tekanan maupun kenikmatan.

Kendati sudah meraih gelar profesor doktor dan telah menjelajah berbagai belahan dunia, bergaul dengan berbagai lapisan elit dunia, dia tetap membanggakan sikapnya sebagai orang desa, si anak kampoeng. Sekadar contoh, hingga di usia emasnya, dia masih belum merasa canggung berbelanja di pasar dan memasak sendiri, bila isteri tak ada di rumah. Bahkan, dia berani bertanding masak dengan siapa saja, dari segi rasa dan tanpa bumbu yang aneh-aneh. Pada usia mendekati 80 tahun, dia pun masih terbiasa menyetir mobil sendiri, untuk perjalanan yang tidak terlalu jauh. Dia tak pernah merasa menjadi kecil dengan kebiasaan itu dan juga tak merasa besar jika kehidupan ala kampung itu ditinggalkan.

Advertisement

Maka, tak heran jika dia melihat gejala filsafat ilalang melekat pada diri seseorang, terutama para pejabat publik, penguasa, dia pasti bersuara. Termasuk kepada kelompok-kelompok tertentu (mayoritas atau minoritas) yang memaksakan kehendak kepada pihak lain, memaksakan kebenaran keyakinannya supaya menjadi keyakinan orang lain, dia pasti bersuara.

Kekuatan dan cakrawala luas pemahaman keagamaannya sebagai seorang muslim, ditambah keahlian filsafat dan ilmu sejarahnya, serta pengalaman empiris dalam pergulatan hidupnya, telah menjadikan keberadaan dan kearifannya dirasakan menjadi rahmat bagi semua, bagi sesama, tanpa batas suku, ras, agama atau golongan. Dia telah menjadi milik semua dan guru moral bangsa.

Kehadirannya, tak ubahnya seperti obor yang menerangi sekitar, menembus kegelapan. Dia adalah seorang agamawan dan cendekiawan, yang selain memberi cahaya pencerahan berpikir mengatasi masalah, juga untuk mengenali kebenaran serta berkeberanian memperjuangkan kebenaran itu demi kepentingan umum, meskipun menghadapi tekanan, ancaman dan cibiran.

Pemilik gelar Master Ilmu Sejarah dari Departemen Sejarah Ohio State Universitas, Ameria Serikat (1982) dan Doktor Program Studi Bahasa dan Peradaban Timur Dekat dari Universitas Chicago, Amerika Serikat (1983), ini juga tak pernah terlihat merasa letih menyampaikan ide-ide dan gagasan-gagasan baru tentang berbagai masalah serta memublikasikan dan mendiskusikannya dengan khalayak ramai (publik).

Guru Besar Ilmu Sejarah IKIP Yogyakarta (sekarang Universitas Negeri Yogyakarta), ini sangat aktif (murah hati) menyampaikan (mentransformasi) dan mengaktualisasi ide dan gagasannya kepada orang lain atau publik. Baik dalam percakapan keseharian, forum diskusi dan seminar, maupun dalam bentuk tulisan di berbagai media (pers) dan buku.

Belasan buku yang mencerahkan telah ditulis dan diterbitkannya. Di antaranya: Dinamika Islam, 1984; Islam, Mengapa Tidak, 1984; Islam dan Masalah Kenegaraan, 1985; Peta Bumi Intelektualisme Islam di Indonesia, 1993; Membumikan Islam, 1995; Islam: Kakuatan Doktrin dan Kegamangan Umat, 1997; Islam dan Politik: Upaya Membingkai Peradaban, 1999; Independensi Muhammadiyah di Tengah Pergumulan Pemikiran Islam dan Politik, 2000; Indonesia (Menengok ke Belakang untuk Melangkah ke Depan), 2002; Mencari Autentisitas dalam Kegalauan, 2004; Menggugah Nurani Bangsa, 2005; Islam, Good Governance dan Pengentasan Kemiskinan, 2007; dan, Islam dalam Bingkai KeIndonesiaan dan Kemanusiaan, Sebuah Refleksi Sejarah, 2009.

Dia pun sangat banyak menulis di berbagai media. Di antaranya, mengisi kolom Resonansi Harian Republika, dan kolom Opini Harian Kompas. Tulisannya di Harian Kompas, Senin, 3 Januari 2011 berjudul: Tahun 2011 bagi Indonesia; yang juga dipublikasikan TokohIndonesia.com di bawah judul: Jangan Merasa Benar di Jalan Sesat!; dilanjutkan tulisan di Harian Kompas, Senin, 07 Februari 2011 berjudul: Main Api Terbakar; yang juga dipublikasikan TokohIndonesia.com di bawah judul: Drama, Siapa Pemain Api?; sangat sarat pesan moral – yang amat berani – mengingatkan penguasa supaya kembali ke jalan yang benar.

Pesan moral supaya penguasa jangan merasa benar di jalan sesat, itu disuarakannya lebih terbuka bersama delapan tokoh lintas agama lainnya (Andreas A Yewangoe, Din Syamsuddin, Pendeta D Situmorang, Bikkhu Pannyavaro, Shalahuddin Wahid, I Nyoman Udayana Sangging, Franz Magnis Suzeno, dan Romo Benny Susetyo), setelah melakukan pertemuan pada Senin (10/1/2011) di kantor Dakwah PP Muhammadiyah, Jakarta. Mereka menyatakan Tahun 2011 sebagai Tahun Perlawanan Atas Kebohongan. Pada saat itu dipaparkan secara terbuka 18 kebohongan publik yang dilakukan pemerintah.

Bagi penguasa, pesan moral ini pastilah tidak enak. Begitu pula bagi para loyalis dan ulama/rohaniawan yang setia pada penguasa. Mereka menilai pernyataan ini kurang pantas dikemukakan para tokoh lintas agama. Penguasa pun bereaksi dengan mempertahankan kebenaran diri dan menolak disebut pembohong. Bahkan menuding para tokoh lintas agama itu melakukan gerakan politik.

Kendati Syafii Maarif bersama para tokoh lintas agama, itu membantah kalau pesan moral mereka dipolitisasi untuk kepentingan golongan tertentu. Dia menegaskan keberadaan gerakan tokoh lintas agama adalah untuk mengingatkan pemerintah. “Bukan gerakan politik, tapi gerakan moral,” ucap Buya saat jumpa pers sejumlah tokoh lintas agama di kantor Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI) di Jakarta, Kamis (20/1/2011).

Demikianlah memang hakekat suara kebenaran (moral, kenabian) yang mengusung kebenaran demi kebaikan bersama tanpa beban interes kepentingan diri sendiri. Tidak jarang pembawa suara moral, malah dihukum, dicaci-maki, dihujat dan dibenci. Maka tak semua yang merasa diri ulama, rohaniawan dan cendekiawan memiliki kekuatan dan keberanian moral (nyali) untuk memancarkan suara moral kebenaran.

Banyak faktor yang memengaruhi seseorang mendegradasi keulamaan dan kecendekiawanannya. Di antaranya kedalaman keagamaan (keimanan) dan keilmuan, hasrat kuasa dan kenikmatan, serta kepentingan diri sendiri dan kelompok. Hanya mereka yang tidak haus akan hal itu yang mau mempertahankan hakikat keulamaan dan kecendekiaan, apa pun risikonya, jangankan harta dan kuasa, bahkan tak jarang nyawa pun jadi taruhannya.

Buya Syafi’i Ma’arif satu di antara ulama dan cendekia yang punya tekad kuat (proses) mempertahankan hakikat keulamaan dan kecendekiaan itu. Memang, pastilah tidak sempurna karena hakikat kemanusiaannya. Sebab dia bukanlah nabi, melainkan hanya manusia biasa, bahkan hanya ‘Si Anak Kampoeng’.[1] Tapi tekad kuat, sikap dan tindaknya yang terus bertumbuh dalam proses mengejawantahkan hakikat keimanan (keulamaan) dan keilmuan (kecendekiaan), itu dalam kebersahajaan dan ketulusan, itulah kesempurnaannya (proses yang senantiasa bertumbuh lebih baik).

Dia bertumbuh sebagai ulama dan cendekiawan humaniora, dalam dunia tanpa batas (global). Suara dan seruannya selalu memiliki dan memotivasi ketajam berpikir untuk mengasah moral dan mencerdaskan kehidupan bangsanya dan dunia. Kendati secara fisik, dia telah memasuki usia emas (di atas 70 tahun), dia tetap fit dan bersemangat melahirkan gagasan (pemikiran) cemerlang dan baru, serta tajam melontarkan kritik.

Pancaran ketulusan hati, kebersahajaan dan kerendahhatiannya telah membuat gema suaranya begitu nyaring dan mencerahkan hati banyak orang. Kendati sebagian orang malah membencinya. Kerendahan hati itu, selain tampak dalam kesehariannya, juga terpancar tatkala dia menyampaikan Pidato Pengukuhan Guru Besarnya di IKIP Negeri Yogyakarta. Kala itu (1996), dia mengungkapkan, sudah 25 tahun menumpahkan perhatian terhadap sejarah, filsafat dan agama, melebihi perhatiannya terhadap cabang ilmu yang lain, namun dia sadar sepenuhnya, bahwa semakin dia memasuki ketiga wilayah itu semakin tidak ada tepinya.

Dia mengaku tidak jarang merasa sebagai orang asing di kawasan itu, kawasan yang seakan-akan tanpa batas. “Terasalah kekecilan diri ini berhadapan dengan luas dan dalamnya lautan jelajah yang hendak dilayari,” katanya kala itu.[2] Sebuah ungkapan kerendahan hati yang berguna sebagai guru kehidupan, bukan saja bagi dirinya, tetapi juga bagi banyak orang. Kerendahan hati yang sekaligus sebagai refleksi dari keimanannya sebagai seorang muslim. Ch. Robin Simanullang | Bio TokohIndonesia.com

Footnote:

[1] Damien Dematra, Si Anak Kampoeng, Gramedia, 2010: Buku novel yang mengisahkan masa kecil Syafii Maarif di Desa Calau, sebuah kampung terpencil di Minangkabau. Walaupun dia sering dicibirkan sebagai anak kampung di sekolah, semangat belajar dan cita-citanya jauh melampaui anak-anak dari kota.

[2] Persyarikatan Muhammadiyah, http://www.muhammadiyah.or.id/prof-dr-ha-syafii-maarif.html

02 | Kearifan Tradisi Lokal dan Islam

Syafi’i Ma’arif dilahirkan di Sumpur Kudus, Sumatera Barat, 31 Mei 1935. Dia adalah anak bungsu Ma’rifah Rauf (ayah) dan Fathiyah (ibu) dari empat bersaudara. Semasa kecil, Syafi’i yang dipanggil Pi’i, diasuh dalam perpaduan dasar-dasar dan nilai-nilai tradisi Islam dan budaya Minangkabau yang matrilineal, oleh ayah dan tantenya di Desa Calau, sebuah kampung terpencil di Kecamatan Sumpur Kudus, Kabupaten Sawahlunto Sijunjung, Provinsi Sumatera Barat.

Memang, ayah Syafii, Ma’rifah Rauf adalah seorang datuak (kepala nagari) dan ibunya, Fathiyah, seorang perempuan berwawasan luas. Tapi takdir menentukan, Pi’i kecil tidak sempat merasakan kasih sayang Sang Ibu, karena meninggal dunia saat Pi’i masih bayi. Pi’i diasuh dan dibesarkan oleh tantenya dalam budaya Minangkabau yang matriarkal.

Pi’i menghabiskan masa-masa kanaknya, seperti lazimnya anak kampung. Bekerja sambil bermain menggembala ternak, mengadu ayam, mengail dan menjala ikan, serta berburu burung. Bahkan juga pernah mencangkul di sawah. Hidup bersahaja tanpa obsesi angan muluk. Namun, selalu tekun belajar. Pagi hari belajar di Sekolah Rakyat. Malam harinya, rajin mengaji al-Qur’an di surau Calau dengan ustad, pamannya sendiri.

Pi’i menghabiskan masa-masa kanaknya, seperti lazimnya anak kampung. Bekerja sambil bermain menggembala ternak, mengadu ayam, mengail dan menjala ikan, serta berburu burung. Bahkan juga pernah mencangkul di sawah. Hidup bersahaja tanpa obsesi angan muluk. Namun, selalu tekun belajar. Pagi hari belajar di Sekolah Rakyat. Malam harinya, rajin mengaji al-Qur’an di surau Calau dengan ustad, pamannya sendiri.

Kala itu, pikirannya masih amat lugu, bahkan dia menyebutnya pandir. Pengetahuan dan wawasan masih amat terbatas. Maklum, dia belum pernah ke luar dari desa dan kecamatan kelahirannya. Dia baru menginjak kota Padang saat duduk di kelas empat SR. Kala itu, diajak pergi ke Padang dan menginap di sebuah hotel di kota tersebut. Di hotel itulah dia pertama kali melihat listrik, yang bisa dihidupkan dan dimatikan hanya dengan menekan tombolnya di dinding. Saat itu, dia bertanya apakah listrik itu bisa dibawa ke kampung, seperti membawa lampu teplok. Maklum, dia tinggal di desa terpencil. Bayangkan, saking terpencilnya, listrik saja baru masuk ke kampung itu tahun 2005.

Maka, selain sejak kecil sudah piatu, Pi’i juga sering dicibir sebagai seorang anak kampung, anak udik. Tapi cibiran ini tidak membuatnya surut dalam derap langkah maju perjuangan hidup. Bahkan kemudian memacunya mengibarkan bendera ‘cita-cita setinggi-tingginya’, jauh melampau anak-anak kota yang mencibirnya. Bagi dia, hidup adalah tantangan yang harus dijawab dengan semangat belajar tinggi.

Apalagi, Pi’i sudah dibekali ayah dan pamannya dengan kearifan budaya (lokal) dan pengetahuan tentang agama Islam. Pi’i mengawali pendidikan formalnya di Madrasah Ibtidaiyah di Sumpur Kudus. Di Sekolah Rakjat (SR) ini, dia pernah lompat kelas karena ketekunan dan kepandaiannya. Dia pun menamatkan SR (sekarang SD, Sekolah Dasar) pada tahun 1947. Saat itu terjadi perang revolusi (1947-1950) sehingga madrasah itu tidak sanggup mencetak ijazah kelulusan. Perang itu juga memaksa Pi’i putus sekolah.

Kemudian setelah keadaan membaik, Pi’i melanjut ke Madrasah Mu’allimin Lintau, Sumatera Barat (1950). Setelah itu, dia ingin melanjutkan studi ke Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta. Dengan berat hati, bercampur penuh harap, Sang Ayah merelakan Pi’i menuntut ilmu di Pulau Jawa, pulau yang belum pernah dia injak.

Berangkatlah Pi’i, si anak remaja bersemangat belajar tinggi, menuju Yogyakarta untuk mewujudkan cita-citanya belajar di sekolah idamannya. Walaupun dia sendiri mengaku tidak punya cita-cita, apalagi cita-cita tinggi, tetapi hanya berjuang menjalani hidup apa adanya. Namun sesampainya di Yogyakarta, ternyata dia belum bisa langsung masuk sekolah di Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta, itu karena kelasnya telah penuh. Dia pun harus menunggu setahun lagi.

Namun, Pi’i tak mau menunggu dengan berdiam diri. Dia pun menggunakan waktu menunggu tahun ajaran baru berikutnya dengan belajar di sekolah montir. Setahun terlampaui, tahun ajaran baru pun tiba, Pi’i diterima masuk Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta. Di sana dia belajar bersungguh-sungguh sampai tamat pada tahun 1956. Setelah lulus dia sempat diditugaskan selama satu tahun sebagai pengajar sekolah Muhammadiyah di Lombok Timur.

Di saat Pi’i mengejar cita-cita jauh di pulau seberang, sebuah berita duka datang: Sang Ayah meninggal dunia. Pi’i menjadi yatim-piatu. Lengkaplah pergulatan hidup yang dihadapinya. Jejak hidup masa kecil Buya Syafi’i Ma’arif yang inspiratif itu dikisahkan Damien Dematra, dalam buku novel berjudul ‘Si Anak Kampoeng’. Novel terbitan Gramedia Pustaka Utama (2010) itu diangkat dari skenario film dengan judul yang sama tentang perjalanan hidup Buya Syafi’i.
Penulisnya, mengatakan, kisah Syafi’i Ma’arif dalam novel ‘Si Anak Kampoeng’ ini dapat menginspirasi generasi muda agar menyadari bahwa tidak ada yang tidak mungkin jika ingin berjuang mencapai impian. Buya bukan orang berdarah biru, tapi beliau berjuang untuk bisa survive dan sangat luar biasa,” ujar Damien, yang mengaku Buya Syafi’i dan Gus Dur sebagai guru spiritualnya, saat peluncuran buku Si Anak Kampoeng di kantor PP Muhammadiyah Jakarta, Kamis (11/2/2010) malam.
Buya sendiri dalam sambutannya menyampaikan rasa syukur dan terimakasih atas usaha menovelkan kisah hidupnya. “Saya terpaku dan terpukau. Saya nggak ada apa-apanya sebenarnya. Nggak ada cita-cita,” ujar Buya Syafi’i tulus dengan kebersahajaan dan kerendahan hatinya.
Proses pergulatan hidup yang dibimbing dan dicerahkan pengasuhan nilai-nilai agama dan kearifan tradisi budaya, serta dipertajam ketekunannya belajar (sekolah) telah menempanya menjadi manusia bersahaja dan rendah hati.

Setelah kedua orang tuanya meninggal, menjadi yatim-piatu, tentu bukanlah hal mudah bagi Syafi’i dalam mengarungi pergulatan hidup, apalagi untuk melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi, jauh dari kampung halaman. Terutama menyangkut pembiayaan. Kala itu, betapa sedih dan galau perasaannya. Tak heran, bila kala itu, masa depan, sepertinya begitu terjal dalam bayangnnya. “Saya terdampar di pantai karena belas kasihan ombak,” katanya mengilustrasikan perjalanan hidupnya dalam sebuah wawancara dengan reporter Majalah Kuntum.[3]

Namun, Allah tidak membiarkannya dalam kegelisahan dan tatapan masa depan yang terjal (gelap). Allah mengulurkan tangan melalui bantuan dari saudaranya, sehingga dia akhirnya bisa melanjutkan studi di FKIS Universitas Cokroaminoto, Surakarta. Dia pun belajar dengan sepenuh hati.

Namun, baru satu tahun kuliah, tantangan baru muncul silih berganti di luar kendali diri dan keluarganya. Meletus pemberontakan PRRI/Permesta (1958-1961)[4], jalur hubungan Sumatera-Jawa terputus. Bantuan biaya kuliah dari saudaranya pun terputus, sehingga dia tidak bisa lagi melanjutkan kuliah. Lalu, untuk menyambung hidup, dia pun bekerja sebagai guru desa di wilayah Kecamatan Baturetno, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah.

Kemudian, sambil bekerja, dia kembali melanjutkan kuliah. Dia pun meraih gelar Sarjana Muda dari Universitas Cokroaminoto pada tahun 1964, pada usia 29 tahun. Di kampus inilah dia aktif di HMI Cabang Solo dan menjadi ketua bidang pendidikan HMI cabang Solo periode 1963-1964.

Setelah meraih gelar sarjana muda itu, sejak tahun 1964, dia mengajar Sejarah dan Kebudayaan Islam di Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta. Sambil mengajar, dia pun melanjutkan pendidikannya ke IKIP Negeri Yogyakarta. Dia mengambil Jurusan Sejarah, jurusan yang dipilihnya secara tidak sengaja. Pada tahun 1967 dia mulai mengajar di IKIP Yogyakarta sebagai Asisten Dosen Sejarah Asia Tenggara. Juga dosen (paruh waktu) di UII Yogyakarta.(1967-1972).

Tahun 1968, dia pun meraih gelar Sarjana Ilmu sejarah dari IKIP Negeri Yogyakarta (Universitas Negeri Yogyakarta). Setelah itu, hanya satu tahun sebagai asisten dosen, dia pun diangkat menjadi dosen Sejarah Asia Barat Daya di IKIP Yogyakarta hingga tahun 1976.

Selain bekerja sambil kuliah, dia pun selalu aktif dalam organisasi Muhammadiyah dan kemahasiswaan. Dia telah aktif sebagai Anggota Muhammadiyah sejak tahun 1955 hingga hari tuanya. Juga aktif sebagai Anggota HMI (1957-1968) dan Pengurus HMI Surakarta (1963-1964). Aktifitas di organisasi itu telah membuatnya terlatih mengaplikasikan keilmuan dan keagamaannya di tengah pergulatan hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Ch. Robin Simanullang | Bio TokohIndonesia.com |

© ENSIKONESIA – ENSIKLOPEDI TOKOH INDONESIA

Footnote:

[3] Ibid

[4] PRRI, singakatan dari Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia; Permesta singkatan dari Perdjuangan Semesta atau Perdjuangan Rakjat Semesta. PRRI, suatu gerakan sipil dan militer (pemberontakan) daerah menentang pemerintah pusat (Jakarta) yang dinilai hanya memusatkan pembangunan di Jawa. Gerakan ini dideklarasikan pada tanggal 15 Februari 1958 dengan keluarnya ultimatum dari Dewan Perjuangan yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Achmad Husein di kota Padang, Sumatera Barat. Gerakan ini mendapat sambutan dari wilayah Sulawesi Utara dan Sulawesi Tengah, tanggal 17 Februari 1958 dengan gerakan sipil-militer Permesta. Permesta sebenarnya lebih awal dideklarasikan oleh Letkol Ventje Sumual, pemimpin sipil dan militer Indonesia Timur pada 2 Maret 1957. Awalnya masyarakat Makassar mendukung gerakan ini, namun kemudian berbalik, sehingga pada 1958 markas besar Permesta dipindahkan ke Manado. Pemberontakan PRRI/Permesta bukan menuntut pendirian negara baru (merdeka dari RI) tetapi menuntut agar konstitusi dijalankan dengan adanya otonomi daerah yang lebih luas, memprotes ketimpangan pembangunan Jawa dengan luar Jawa. Kabinet PRRI terdiri dari: Mr. Sjafruddin Prawiranegara sebagai Perdana Menteri merangkap Menteri Keuangan; Mr. Assaat Dt. Mudo sebagai Menteri Dalam Negeri; Maluddin Simbolon sebagai Menteri Luar Negeri; Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo sebagai Menteri Perhubungan dan Pelayaran; Moh. Syafei sebagai Menteri PPK dan Kesehatan; JF Warouw sebagai Menteri Pembangunan; Saladin Sarumpaet sebagai Menteri Pertanian dan Perburuhan; Muchtar Lintang sebagai Menteri Agama; Saleh Lahade sebagai Menteri Penerangan; Ayah Gani Usman sebagai Menteri Sosial; dan Dahlan Djambek sebagai Menteri Pos dan Telekomunikasi. (Pusat Data Tokoh Indonesia)

03 | Temukan Hikmah Kemanusiaan

Dia pun makin merasakan bahwa ternyata, ‘keterdamparannya’ ke ilmu sejarah itu merupakan tuntunan Illahi yang selalu menyertainya. Karena, setelah mendalami sejarah, dia makin merasakan bahwa ilmu itu telah menuntunnya menemukan hikmah kemanusiaan. Sejarah yang berbicara tentang kemanusiaan secara totalitas, makin didalaminya, merupakan studi yang sangat menarik tentang manusia yang memang unik.

Apalagi ketika kepakarannya di bidang sejarah semakin dalam, setelah memperoleh gelar Master pada Departemen Sejarah Ohio State Universitas, Amerika Serikat, pada tahun 1982. Setahun kemudian, 1983, dia merampungkan program doktornya di Universitas Cichago, AS, dengan mengambil konsentrasi Program Studi Bahasa dan Peradaban Timur Dekat. Disertasinya berjudul: Islam as the Basis of State: A Study of the Islamic Political Ideas as Reflected in the Constituent Assembly Debates in Indonesia.

Saat mengikuti program doktor di Universitas Cichago inilah, dia terlibat secara intensif melakukan pengkajian terhadap al-Quran, dengan bimbingan dari Fazlur Rahman, seorang tokoh pembaharu pemikiran Islam dari Mesir. Di sana pula, dia kerap berdiskusi dengan Nurcholish Madjid dan Amien Rais yang juga sedang mengikuti pendidikan program doktor.

Pendalamannya atas al-Quran, membuatnya makin kritis terhadap tokoh-tokoh Islam seperti Abu A’la Maududi, Sayyid Qutb dan Iqbal, yang sebelumnya sangat dikaguminya. Bahkan, berselang dengan perjalanan waktu, dia pun berbalik arah dengan mengkritik Fazlur Rahman. Demikian pula dengan kelompok-kelompok, yang kerap memaksakan aspirasi dan kehendaknya dengan cara kekerasan.

Pendalamannya atas al-Quran, membuatnya makin kritis terhadap tokoh-tokoh Islam seperti Abu A’la Maududi, Sayyid Qutb dan Iqbal, yang sebelumnya sangat dikaguminya. Bahkan, berselang dengan perjalanan waktu, dia pun berbalik arah dengan mengkritik Fazlur Rahman. Demikian pula dengan kelompok-kelompok, yang kerap memaksakan aspirasi dan kehendaknya dengan cara kekerasan.

“Sudah lama saya kehilangan kepercayaan terhadap kelompok radikal, yang sesungguhnya sangat haus kekuasaan. Sebab aktivisme tanpa kontemplasi yang mendalam, akan bermuara menuju kesia-siaan,” ujarnya, sebagaimana dirilis dalam kolom Uswah, berjudul: Menyelamatkan Dunia yang Tanpa Rujukan, Mimbar Pembangunan Agama (MPA) 286/Juli 2010, halaman 34-35 [5] Ch. Robin Simanullang | Bio TokohIndonesia.com |

© ENSIKONESIA – ENSIKLOPEDI TOKOH INDONESIA

Footnote:

[5] Mimbar Pembangunan Agama (MPA), Media informasi, komunikasi dan edukasi, Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi Jawa Timur, Edisi 286/Juli 2010, halaman 34-35 http://jatim.kemenag.go.id/file/dokumen/286uswah.pdf (diakses, 21/2/2011).

04 | Guru Besar Filsafat Sejarah

Setelah menyelesaikan program doktornya di Cichago, Buya pulang ke tanah air dan berlabuh kembali ke kampusnya dengan menjadi dosen senior Filsafat Sejarah IKIP Yogyakarta (1983-1993). Juga mengabdikan diri sebagai dosen senior (paruh waktu) Sejarah dan Kebudayaan Islam IAIN Kalijaga (1983-1990).

Aktif pula sebagai Anggota Kelompok Pemikir Masalah Agama Departemen Agama (1984-kini), Profesor tamu di University of Iowa, AS (1986), dosen senior (paruh waktu) di UII Yogyakarta (1984-1990), serta dosen senior (paruh waktu) Sejarah Ideologi Politik Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta (1987-1990). Juga menjadi dosen senior (pensyarah kanan) di Universitas Kebangsaan Malaysia (1990-1994), dan Profesor tamu di McGill University, Kanada (1992-1994).

Pada tahun 1996, dia pun dikukuhkan sebagai Profesor (Guru Besar) Filsafat Sejarah IKIP Yogyakarta, serta Guru Besar IKIP Yogyakarta. Selain itu dia juga aktif sebagai Guru Besar Pascasarjana IAIN Yogyakarta.

Dia seorang ilmuwan (cendekiawan) yang selalu menempatkan proses pencarian keilmuannya di atas kekuatan religi (keimanan). Dia yakin bahwa dalam setiap ilmu pengetahuan ada tanda-tanda keberadaan Tuhan. Menurutnya, hanya lewat agama, manusia bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang tujuan eksistensi manusia dan tentang makna kematian. “Filsafat, apalagi sejarah, tidak mampu melakukannya,” tegas Buya, yang adalah seorang ahli filsafat dan sejarah.

Dia seorang ilmuwan (cendekiawan) yang selalu menempatkan proses pencarian keilmuannya di atas kekuatan religi (keimanan). Dia yakin bahwa dalam setiap ilmu pengetahuan ada tanda-tanda keberadaan Tuhan. Menurutnya, hanya lewat agama, manusia bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang tujuan eksistensi manusia dan tentang makna kematian. “Filsafat, apalagi sejarah, tidak mampu melakukannya,” tegas Buya, yang adalah seorang ahli filsafat dan sejarah.

Selain aktivitasnya sebagai Guru Besar, Buya Syafii juga mengabdikan dalam persyarikatan Muhammadiyah. Dia aktih sebagai Wakil Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah mendampingi Amien Rais, selaku Ketua Umum periode 1995-2000.

Lalu, ketika reformasi bergulir, Amien Rais yang memilih mendirikan dan memimpin Partai Amanat Nasional, harus mengundurkan diri sebagai Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Panggilan sejarah menempatkan Syafi’i Ma’arif selaku Wakil Ketua Umum melanjutkan kepemimpinan sebagai Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, yang dikukuhkan melalui Sidang Pleno Diperluas Pimpinan Pusat Muhammadiyah, periode 1999-2000. Buya Syafii pun diangkat menjadi Anggota Dewan Pertimbangan Agung (1999-2003), sampai lembaga tinggi negara ini dibubarkan dengan Keputusan Presiden Nomor 135/M/2003. Keppres tersebut menyebutkan, masa berakhirnya tugas anggota DPA sampai 31 Agustus 2003.

Kemudian, pada Muktamar ke-44 tahun 2000, Buya Syafiia dipilih kembali menjadi Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah untuk periode masa jabatan 2000-2005. Dalam kepemimpinannya, Muhammadiyah menunjukkan komitmen keislaman dan kebangsaan yang kuat. Dia pun semakin menampakkan sosok sebagai guru moral bangsa. Sebagai Ketua PP Muhammadiyah, pada era arus politik dan demokrasi yang amat deras, Buya Syafi’i menampakkan sosok yang tak mau terbawa arus dalam permainan politik praktis.

Lalu pada Muktamar ke-45 di Malang, dia pun menyatakan diri tak mencalonkan diri lagi untuk jabatan Ketua PP Muhammadiyah berganti yang berganti sebutan menjadi Ketua Umum. Prof. Dr. Din Syamsuddin terpilih menggantikannya menjadi Ketua Umum PP Muhammadiyah. Buya sendiri menjadi Penasehat bersama Prof. Amien Rais, Prof. Drs. H. Asjmuni Abdurrahman, Prof. Dr. H Ismail Sunny, SH, MCL dan Ustadz KH Abdur Rahim Noor, MA. Ch. Robin Simanullang | Bio TokohIndonesia.com |

© ENSIKONESIA – ENSIKLOPEDI TOKOH INDONESIA

05 | Milik Semua Bangsa

Dalam posisi yang lebih ‘bebas’ eksistensi kebebasan berpikirnya pun semakin mengorbit mencerahi nusantara bahkan dunia. Buya Syafi’i Ma’arif bukan saja milik warga Muhammadiyah, melainkan menjadi milik semua, lintas agama, suku, ras dan bangsa.

Pantan Presiden World Conference on Religion for Peace (WCRP) ini pun menjadi narasumber dalam berbagai forum kemanusiaan, toleransi dan perdamaian, baik di dalam negeri maupun dunia internasional. Bahkan pernah menjadi pembicara kunci pada Konferensi “Catholic Theological Ethics in the World Church” pada 24-27 Juli 2010 di Trento, Italia. Dia satu-satunya perwakilan intelektual muslim yang diminta menyampaikan materi soal tantangan etika global dalam perspektif Islam.

Dia berbicara para sesi pembuka, Sabtu (24/7/2010) bersama Kardinal Bruno Forte yang juga Kepala Keuskupan Chieti-Vasto, Italia dan Profesor Mercy Amba Oduyoye dari Seminari Teologi Trinitas, Ghana.

Maarif Institute didirikan dengan Visi: Menjadi lembaga pembaruan pemikiran dan advokasi untuk mewujudkan praksisme Islam sehingga keadilan sosial dan kemanusiaan menjadi fondasi keindonesiaan sesuai cita-cita sosial dan intelektualisme Ahmad Syafii Maarif.

Dalam forum itu, Buya Syafii menegaskan bahwa problema kemanusiaan global yang kian menghimpit rasa keadilan umat manusia menuntut para pemuka agama dari semua keyakinan untuk memikirkan kembali apa sesungguhnya pesan moral agama-agama.

“Apa yang menjadi kegelisahan kalangan gereja saat ini sama seperti yang sedang dialami umat agama lain, tidak terkecuali Islam. Kuncinya terletak bagaimana kita mau dengan lapang dada merajut kebersamaan dan kerja sama demi tegaknya keadilan dan kemanusiaan,” kata Syafii, dalam rilis Maarif Institute yang diterima TokohIndonesia.com.

Dalam rangka mengembangkan cita-cita sosial dan intelektualisme Buya Syafii Maarif, sejumlah tokoh (Ahmad Syafii Maarif, Haedar Nashier, Moeslim Abdurrahman, Jeffrie Geovannie, Rizal Sukma dan Suyoto) mendirikan Maarif Institute (2002).

Maarif Institute didirikan dengan Visi: Menjadi lembaga pembaruan pemikiran dan advokasi untuk mewujudkan praksisme Islam sehingga keadilan sosial dan kemanusiaan menjadi fondasi keindonesiaan sesuai cita-cita sosial dan intelektualisme Ahmad Syafii Maarif.

Lembaga ini mengusung Dua Misi besar, yakni: Pertama, mengembangkan pembaharuan Islam dan menjembatani dialog serta kerja sama antar-agama, antar-budaya, dan antar-peradaban dalam rangka mewujudkan keadaban, perdamaian, saling pengertian, dan kerjasama yang konstruktif bagi kemanusiaan. Kedua, memperjuangkan percepatan proses konsolidasi demokrasi di Indonesia dengan memperkuat dan memperluas partisipasi civil society melalui advokasi kebijakan publik.

Visi dan kedua misi itu dilandaskan pada empat nilai dasar yakni Egaliter, Non-diskriminasi, Toleran, dan Inklusif.[6]

Dalam statuta pendirian Maarif Institute for Culture and Humanity (2002) jelas dinyatakan komitmen dasar lembaga ini sebagai gerakan kebudayaan dalam konteks keislaman, kemanusiaan, dan keindonesiaan. Ketiga hal ini merupakan bagian terpenting dalam perjalanan intelektualisme dan keagamaan Buya Syafii Maarif.

Kehadiran Maarif Institute merupakan bagian tidak terpisahkan dari jaringan gerakan pembaruan pemikiran Islam di Indonesia, yang merupakan sebuah keniscayaan sekaligus tuntutan sejarah. Dalam situs Maarif Institute [7]dijelaskan bahwa kompleksitas masalah kemanusiaan modern berikut isu-isu kontemporer yang mengikutinya seperti demokrasi, hak asasi manusia, pluralisme, gender, dialog antar-agama dan peradaban serta sederet isu lainnya menuntut pemahaman dan penjelasan baru dari ajaran Islam.

Dijelaskan, program serta aktivitas Maarif Institute tidak dapat dipisahkan dari kebutuhan sosiologis persyarikatan Muhammadiyah, meskipun tidak ada hubungan organisatoris dengan organisasi ini dan tanpa mengurangi komitmen untuk terus memperluas radius pergaulan lembaga. Muhammadiyah, menurut banyak kalangan, sering dianggap sebagai representasi gerakan modernis-moderat di Indonesia yang aktif mempromosikan pemikiran-pemikiran Islam, berdakwah, dan melakukan aksi-aksi sosial. Oleh karena itu, memperjuangkan arus pembaruan pemikiran Islam dalam konteks gerakan Muhammadiyah merupakan concern utama Maarif Institute sebagai bagian dari upaya pencerahan sekaligus memperkuat elemen moderat (empowering moderates) di Indonesia.

Organisasi Maarif Institute, selain adanya Dewan Pendiri, juga dilengkapi Dewan Pembina (Abdul Munir Mulkan, Abd. Rohim Ghazali, Amin Abdullah, Clara Juwono, Luthfi Assyaukanie, M. Deddy Julianto, Muhadjir Effendy, dan Raja Juli Antoni.

Kegiatan lembaga ini sehari-hari digerakkan oleh Badan Eksekutif yang dipimpin Direktur Eksekutif Fajar Riza Ul Haq. Dia didampingi Direktur Program Pengembangan Kajian Islam M. Abdullah Darraz, Asisten Program Pengembangan Kajian Islam Khelmy K. Pribadi, Direktur Program Demokrasi & Good Governance Defi Nopita, Manager Oprasional Endang Tirtana, Sekretaris Eksekutif M. Supriadi, Keuangan Henny Ridhowati, Asisten Keuangan Muslima Ertansiani, Media & IT Support Deni Murdiani, Driver Irman Susanto, Office Boy Awang, dan Security Agusman.

Juga diperkuat Koordinator Maarif Institute di beberapa kabupaten, di antaranya Gunungkidul (Muhammad Alvian), Sleman (Nur Cahyoprobo), Kota Bandar Lampung (Handy Mulyaningsih), Sumatera Barat (Musfir Idris), Kota Metro (Agus Riyanto), dan Boyolali (Sarbini).[Pemutakhiran Data, 21 Februari 2011]

Lembaga ini juga membangun kemitraan dengan Kementerian Luar Negeri, Kementerian Pendidikan Nasional, The Asia Foundation, Ford Foundation, NZAID, dan TIFA. Salah satu kegiatan tahunannya adalah penganugerahan Maarif Award.

Tujuan Maarif Award tersebut adalah mencari model-model alternatif kepemimpinan lokal yang memprakarsai dan memperkuat diseminasi nilai-nilai toleransi, moderasi, pluralisme, dan keadilan sosial di masyarakat akar rumput. Juga, membangun harapan dan optimisme kebangsaan dengan mengangkat dan memperkuat kapasitas kepemimpinan lokal yang berorientasi pada kemandirian komunitas/masyarakat.

Sedangkan Sasaran Maarif Award adalah organisasi sosial-keagamaan, komunitas dan kelompok masyarakat, asosiasi sosial-budaya, dan perseorangan yang dinilai memelopori, menggerakkan, memimpin, ataupun berperan aktif dalam kerja-kerja sosial-kemanusiaan.

Dengan dukungan kuat dari lembaga ini, Buya Syafii dapat selalu mengikuti perkembangan, termasuk perkembangan pemerintahan. Dia pun aktif mengkritisi pemerintah bila menurut pandangannya ada kesalahan. Dia memandang Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang dipilih langsung dan memiliki legitimasi kuat, tapi sayang tidak dijawab atau diimbangi dengan gaya kepemimpinan yang tegas. Dia melihat sangat banyak kebijakan pemerintah yang diarahkan SBY tidak jalan.

Pemerintah, khususnya SBY sebagai pemimpin, harusnya bisa menempatkan diri sebagai pemimpin dan negarawan. Harus bersikap tegas dan cermat dalam mengambil keputusan agar diikuti pembantu-pembantunya. Perlu kearifan yang dikawinkan dengan ketegasan. Kalau sudah begini baru bisa jalan agenda bangsa. Membangun perekonomian, taat hukum, dan semuanya. Sekarang kan hanya seperti memperlihatkan kearifan saja, tapi praktiknya banyak yang tidak jalan.

Belakangan, Senin (10/1/2011) di kantor Dakwah PP Muhammadiyah, Jakarta, Buya Syafii bersama delapan tokoh lintas agama, menyampaikan pesan moral supaya penguasa jangan merasa benar di jalan sesat. Secara terbuka, mereka menyatakan Tahun 2011 sebagai Tahun Perlawanan Atas Kebohongan. Pada saat itu dipaparkan secara terbuka 18 kebohongan publik yang dilakukan pemerintah.

Setelah itu dibuka pula Rumah Pengaduan Kebohongan Publik di beberapa tempat, yang dikoordinasi oleh Direktur Eksekutif Maarif Institut beralamat di Maarif Institute Jl. Tebet Barat Dalam II No.06 Tebet, Jakarta Selatan 12810, Phone: +62-21- 83794554, Facsimile: +62-21- 83795758. Ch. Robin Simanullang

Footnote:

[6] Visi, Misi & Nilai Dasar Maarif Institute, Pemutakhiran Terakhir ( Tuesday, 13 May 2008 ), http://www.maarifinstitute.org/content/view/65/73/lang,indonesian/

[7] Profil Maarif Institute: http://www.maarifinstitute.org/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=79

Data Singkat
Syafii Maarif, Guru Besar dan Ketua Umum PP Muhammadiyah (1999-2005) / Buya Guru Moral Bangsa | Ensiklopedi | muhammadiyah, Pluralisme, Guru Besar, Toleransi, Perdamaian, Guru, Lintas Agama, kemanusiaan

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini