Rielniro: Merawat Jeda, Membiarkan Sunyi Bicara
Perjalanan memahami dunia tanpa terbawa arusnya
Dua Ruang, Satu Sunyi: Jejak Atur Lorielcide alias Rielniro
Namanya pernah muncul di Lorong Kata lewat kisah “Dua Ruang, Satu Sunyi”. Atur Lorielcide, yang dikenal di media sosial sebagai Rielniro, kembali hadir. Kali ini bukan sebagai potret dua peran, tetapi sebagai penulis yang merawat jeda dan membiarkan sunyi bicara. Tulisan-tulisannya terasa seperti meditasi dalam bentuk kata: sederhana, tenang, dan memberi ruang untuk berpikir.
Dalam arus informasi yang terus bergerak, tidak mudah menemukan tulisan yang membuat orang berhenti sejenak. Rielniro memilih langkah berbeda: menulis pelan, tanpa tergesa, dan memberi ruang di antara kalimat.
Bagi kebanyakan orang, nilai kata sering diukur dari seberapa cepat tersebar dan seberapa keras terdengar. Rielniro justru menempatkan jeda sebagai bagian dari pesan. Satu kalimat darinya kerap membuat pembaca berhenti membaca sebentar, bukan karena terkejut, tetapi untuk mencerna.
“Kadang ada jarak yang tak diberi nama. Dan tak ada kata yang pantas menyeberangi diam itu.”
Nama pena Rielniro menyimpan gabungan dua identitas: LoRIELcide dan PaNIROy. Lorielcide berasal dari frasa Latin gloria in excelsis Deo (kemuliaan bagi Allah di tempat mahatinggi) yang menjadi penanda arah spiritual. Paniroy diambil dari bahasa Batak yang berarti penasihat, menerangkan.
Keduanya menyatu menjadi satu nama: Rielniro. Bagi dia, itu bukan sekadar tanda tangan di akhir tulisan, tetapi penunjuk arah batin. Ia menulis dengan kesadaran bahwa kata adalah jejak, dan setiap jejak perlu dijaga arahnya.
“Kamu pernah membawa terang. Tapi bagi mereka… semua cahaya adalah api.”
Di luar dunia penanya, ia bernama Mangatur Lorielcide Paniroy Simanullang. Di Lorong Kata TokohIndonesia.com, ia mengasuh ruang refleksi yang mengutamakan kejernihan. Di media sosial, ia membangun persona Rielniro dengan karakter yang sama: tenang, selektif, dan tidak mengejar sorot.
Gaya menulis Rielniro tidak mencari banyak kata. Kalimatnya sering singkat, kadang hanya dua baris, dan sengaja dibiarkan menggantung.
“Yang pergi karena terluka, akan sembuh. Yang pergi karena ragu, akan selamanya membawa sisa tanya.”
Strukturnya sering mengikuti pola dua bagian. Di media sosial (@rielniro), ini hadir sebagai narasi dua-slide: slide pertama berisi premis hening, slide kedua menghadirkan pukulan sunyi atau paradoks. Format ini membuat setiap kata terasa terukur, tanpa ada yang berlebihan.
Tema yang muncul berulang antara lain jarak emosional, keputusan melepaskan, koneksi batin tanpa suara, dan ketenangan yang lahir dari menerima. Ia jarang menamai emosi secara langsung. Sebaliknya, ia membiarkan pembaca merasakannya dari konteks. Bagi sebagian pembaca, momen membaca ini memberi jeda sejenak dan membantu melihat sesuatu dengan lebih jernih.
“Kadang damai datang, bukan karena dunia tenang, tapi karena kita berhenti melawan sunyi.”
Di antara banyak kalimatnya, ada garis bawah yang menonjol:
“Menang bukan tujuan, mengerti adalah akhirnya.”
Kalimat ini bukan sekadar motto, tetapi prinsip yang konsisten di setiap karyanya. Ia tidak menulis untuk membuktikan pendapat atau memenangkan perdebatan. Tidak ada niat untuk mengajak semua orang setuju. Tujuannya adalah memahami, bahkan jika pemahaman itu hanya datang untuk dirinya sendiri.
Prinsip ini membuat tulisannya bebas dari nada menggurui. Tidak ada ajakan memaksa dan tidak ada simpulan yang menutup pintu tafsir. Ia membiarkan karyanya menjadi seperti cermin: pembaca yang menentukan apa yang mereka lihat di dalamnya.
“Yang tetap tenang bukan karena tak merasa. Tapi karena tahu, tidak semua luka perlu dibunyikan. Yang memilih diam sering paling lama mendengar gema dari sunyi yang ia biarkan tinggal.”
Membaca karya Rielniro memberi kesan bahwa ia tidak hanya menulis apa yang terlihat, tetapi juga apa yang tidak terucap. Ia menangkap jeda yang terlalu panjang, tatapan yang sedikit berubah, atau nada suara yang menurun sepersekian detik sebelum kalimat selesai. Hal-hal kecil yang sering lewat begitu saja bagi kebanyakan orang, justru disimpannya dan tinggal lebih lama.
Kebiasaan ini tidak lahir dalam semalam. Ada masa ketika membaca tanda-tanda kecil adalah cara untuk bertahan. Saat keadaan sulit ditebak, memperhatikan detail menjadi bentuk kewaspadaan. Kebiasaan itu terbawa sampai sekarang. Bukan lagi sekadar bertahan, tetapi menjadi cara memahami dunia. Karena itu, momen sederhana dalam tulisannya bisa terbuka seperti pintu ke ruang yang lebih luas.
“Kadang, melepaskan bukan karena tidak ingin, tapi karena sudah cukup.”
Konsistensi Rielniro terasa lintas ruang. Di gawai maupun di halaman web, suaranya tetap sama: pendek, jernih, dan tidak terburu-buru. Topik bisa berganti, format berubah, tetapi benang yang mengikat tetap ada. Ia menulis untuk merapikan, bukan menghebohkan.
“Menulis adalah cara hati membela dirinya sendiri tanpa menyakiti siapa pun. Sebab ia tahu, tidak semua rasa bisa dihilangkan. Hanya bisa dirapikan.”
Ia tidak menulis untuk semua orang. Tidak semua orang mencari jeda. Tetapi bagi yang berhenti sejenak, tulisannya menyediakan ruang untuk diam, merenung, dan mungkin menemukan sesuatu yang sebelumnya tidak terlihat. Ia tidak mengetuk, tidak memanggil. Jika pintu dibuka, ia bicara secukupnya. Bila tidak, ia pergi tanpa bising.
Pada akhirnya, pilihan ini adalah sikap. Nilai kata tidak ditentukan oleh seberapa cepat ia menyebar, melainkan oleh gema yang tertinggal setelahnya. Rielniro menaruh percaya di sana: pada jeda, pada sunyi yang bekerja pelan.
“Ia tidak menawarkan makna. Ia hanya meninggalkan gema.”
Untuk menemukan karya lain Rielniro di luar Lorong Kata:
Instagram: @rielniro
Facebook: Riel Niro
(red/TokohIndonesia.com)