Rp20 Ribu Sehari, Itu Buat Sarapan Doang
Miskin Versi Negara, atau Versi Kita?

Pemerintah bilang hanya 8 persen rakyat Indonesia yang miskin. Tapi batas kemiskinan yang dipakai Rp20 ribu per hari: uang yang bahkan belum tentu cukup untuk sekali sarapan. Di atas kertas, angkanya mungkin terlihat meyakinkan. Tapi di kehidupan nyata, rasanya tak banyak yang merasa aman hidup dengan jumlah segitu. Lucunya, kita bisa tak dianggap miskin meski hidup serba kekurangan setiap hari.
Di sebuah warung makan sederhana, seporsi soto ayam kini dihargai Rp18.000. Tambah segelas teh tawar hangat, pas Rp20.000. Dua lembar uang sepuluh ribuan habis hanya untuk satu kali makan. Tidak ada yang luar biasa dari menu itu, kecuali satu hal: jumlah itulah yang hari ini menjadi batas resmi kemiskinan versi negara. Jika seseorang masih bisa membelanjakan Rp20.000 per hari, ia belum termasuk kategori miskin—setidaknya menurut Badan Pusat Statistik (BPS).
BPS menetapkan garis kemiskinan sebesar Rp595.242 per kapita per bulan, atau sekitar Rp19.841 per hari. Angka ini dijadikan patokan untuk menghitung siapa saja yang tergolong miskin secara statistik. Hasilnya: hanya 8,57% warga Indonesia yang masuk kategori tersebut.
Di sisi lain, Bank Dunia menggunakan pendekatan berbeda. Untuk negara berpendapatan menengah seperti Indonesia, garis kemiskinan ditetapkan pada US$6,85 per hari, berdasarkan paritas daya beli (PPP)—sekitar Rp100.000. Dengan tolok ukur itu, lebih dari 60% penduduk Indonesia tercatat hidup di bawah garis kemiskinan.
Dua angka yang jauh berbeda. Dua pendekatan. Dua realitas.
Secara teknis, perbedaan ini bisa dijelaskan. BPS menggunakan pendekatan kebutuhan dasar lokal, sedangkan Bank Dunia memakai standar global yang memungkinkan perbandingan lintas negara. Tapi di luar ruang seminar dan naskah akademik, perbedaan angka ini tetap menimbulkan kebingungan. Bahkan, memunculkan pertanyaan yang barangkali tidak nyaman untuk dijawab: kalau mau jujur, kita lebih percaya data pemerintah atau Bank Dunia?
Pertanyaan ini tidak dimaksudkan untuk menyudutkan. Ia justru berangkat dari rasa ingin tahu yang wajar ketika angka yang ditampilkan terasa begitu jauh dari keseharian. Di luar laporan resmi, harga-harga naik, biaya hidup bertambah, pekerjaan tetap susah dicari. Tapi angka kemiskinan dikabarkan menurun.
Di sinilah muncul rasa janggal. Makin banyak orang merasa hidupnya makin sempit, tapi angka resmi menunjukkan kemajuan. Banyak yang menyebut dirinya “pas-pasan”, “hampir miskin”, atau “berjuang tiap hari”—kategori yang mungkin tak ada dalam tabel statistik, tapi nyata dalam kehidupan.
Apa sebenarnya yang sedang kita ukur? Kemampuan untuk bertahan hidup, atau kemampuan untuk hidup layak?
Ketika batas kemiskinan diletakkan terlalu rendah, banyak kenyataan yang tidak ikut tercatat. Mereka yang masih bisa makan sekali sehari, tapi harus memilih antara beli sabun atau beli bensin, tidak termasuk dalam hitungan. Padahal hidup bukan hanya soal isi perut, tapi juga soal kepastian, rasa aman, dan harapan.
Mungkin pemerintah punya alasan teknis dalam menyusun angka itu. Tapi tetap sulit membayangkan, hidup dengan Rp20.000 per hari dianggap cukup untuk keluar dari kategori miskin. Ya, mungkin cukup untuk satu kali makan. Tapi setelah itu?
Perbedaan pendekatan antara BPS dan Bank Dunia bukan sekadar soal metode. Ini soal bagaimana kita memandang kemiskinan: sebagai masalah nyata yang harus diatasi, atau sekadar baris angka yang bisa diatur.
Menurunkan ambang batas kemiskinan bisa membuat statistik terlihat lebih baik. Tapi apakah hidup orang-orang di bawah garis itu sungguh jadi lebih baik?
Kebanyakan orang mungkin tak tahu teknis perhitungan garis kemiskinan. Tapi mereka tahu persis rasanya hidup pas-pasan. Mereka tahu betapa tipis batas antara cukup dan kekurangan. Maka tak heran jika banyak yang merasa, angka resmi yang hanya menyebut 8 persen itu tidak mencerminkan kenyataan di sekitar mereka.
Karena kemiskinan tak selalu tampil sebagai kelaparan. Ia bisa berupa kontrakan yang belum dibayar, anak yang harus berhenti sekolah, pajak STNK motor yang nunggak bertahun-tahun, atau belanja mingguan yang harus dikurangi terus-menerus.
Jika kemiskinan hanya diukur dari apakah seseorang bisa makan, kita sedang menyederhanakan persoalan yang jauh lebih kompleks. Hidup bukan sekadar bertahan, tapi juga soal martabat dan harapan.
Dan pada akhirnya, mungkin bukan soal benar atau salah. Tapi soal apakah angka itu masuk akal. Nyambung atau tidak dengan kenyataan di lapangan. Karena masyarakat tidak hidup dalam laporan statistik, mereka hidup di antara tagihan, antrean BPJS, dan warung yang menaikkan harga.
Maka pertanyaan pentingnya bukan soal metode, tapi soal makna: apakah data soal kemiskinan ini masih mewakili kenyataan hidup yang sesungguhnya?
(Atur Lorielcide/TokohIndonesia.com)