Sejarah yang Dipilih, Ingatan yang Dihapus
Ketika Ingatan Mei 1998 Dipertanyakan dari Panggung Kekuasaan

Tak semua yang tak terdengar berarti tak pernah terjadi. Dan tak semua yang tak tercatat berarti tak pernah ada. Sejarah ditulis oleh mereka yang punya kuasa, dan itulah sebabnya kita perlu bertanya: siapa yang bicara, siapa yang diam, dan siapa yang sengaja disingkirkan dari ingatan bersama?
Beberapa waktu lalu, Menteri Kebudayaan Fadli Zon menyampaikan pernyataan yang menyentuh luka lama bangsa ini, dan bukan dengan kelembutan. Ia menyebut tidak ada bukti pemerkosaan massal dalam kerusuhan Mei 1998. Baginya, klaim itu masih sebatas rumor. Kata “massal” dinilainya berlebihan karena tak disertai data rinci, tak ada nama, waktu, atau tempat yang bisa diverifikasi secara akademik. Maka, ia pertanyakan kebenarannya.
Di saat yang hampir bersamaan, pemerintah sedang menyusun ulang sejarah nasional. Proyek ambisius ini ditargetkan rampung sebelum HUT RI ke-80 tahun depan. Narasinya ingin inklusif, katanya. Tapi publik bertanya: sejarah siapa yang akan ditulis ulang? Dan untuk siapa ia disusun?
Dalam ruang yang sama antara tafsir sejarah dan penyangkalan, muncul ketegangan yang lebih dalam. Ketika seorang pejabat publik mempertanyakan eksistensi kekerasan seksual dalam tragedi 1998, yang telah dicatat dalam laporan resmi seperti TGPF dan Komnas Perempuan, muncul kesan bahwa bukan kebenaran yang sedang dicari, melainkan batas baru atas apa yang boleh diingat.
Laporan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang dibentuk pada 1998 mencatat secara eksplisit adanya kekerasan seksual terhadap perempuan, khususnya perempuan Tionghoa. Laporan itu menyebutkan 85 laporan kekerasan seksual, terdiri dari 52 pemerkosaan, 14 pemerkosaan disertai penganiayaan berat, 10 penganiayaan seksual, dan 9 pelecehan seksual. Dalam banyak kasus, korban tidak hanya diperkosa, tetapi juga diperlakukan secara rasial, dianiaya, dan dibungkam secara sistemik. Komnas Perempuan dalam laporan tahunannya menegaskan bahwa trauma kolektif, rasa takut, dan minimnya perlindungan negara membuat banyak korban memilih diam. Tapi diam bukan berarti tidak ada.
Organisasi internasional seperti Human Rights Watch (HRW) juga merilis laporan berjudul “The Jakarta Riots of May 1998: Evidence of Sexual Violence” yang menyebutkan kekerasan seksual sebagai bagian dari kekacauan terorganisir. Bahkan, LSM-LSM yang aktif di bidang HAM seperti Amnesty International dan Asia Watch telah sejak awal mengidentifikasi pola kekerasan berbasis gender dan rasial selama kerusuhan berlangsung. Bukti medis, testimoni petugas rumah sakit, hingga saksi mata menunjukkan kekerasan itu nyata.
Namun entah mengapa, dua dekade setelahnya, seorang pejabat negara justru memilih menyangsikan keberadaan peristiwa itu. Tidak dalam semangat kehati-hatian, melainkan dalam nada membatalkan. Seakan-akan, ketiadaan data formal atau keberanian korban untuk bicara dianggap cukup untuk menghapus luka itu dari sejarah.
Sementara itu, proses penulisan ulang sejarah nasional sedang berjalan. Kementerian Kebudayaan menyebut proyek ini sebagai upaya menyusun sejarah yang lebih “objektif” dan “berbasis riset akademik”. Tapi publik tentu berhak curiga. Siapa yang duduk di meja penulis sejarah itu? Apakah suara korban, kelompok marginal, dan komunitas yang selama ini tidak terdengar ikut didengar? Ataukah ini hanya pergantian narasi dari satu elite ke elite lain?
Sejarah tidak pernah benar-benar netral. Ia adalah cermin kekuasaan. Dalam banyak kasus, sejarah disusun untuk menyelamatkan wajah negara, bukan untuk mencatat kebenaran yang menyakitkan. Dan bila sejarah ditulis oleh mereka yang tak pernah mengalami luka, maka yang tercatat hanyalah versi yang nyaman dibaca.
Maka wajar jika ada yang menyebut, yang dipertaruhkan hari ini bukan hanya masa lalu, tapi arah masa depan. Ketika seorang menteri menyangsikan kekerasan seksual yang telah didokumentasikan, dan pada saat yang sama pemerintah sedang menyusun sejarah versi barunya, sulit untuk tidak curiga bahwa ini bukan kebetulan. Ini adalah proses seleksi ingatan.
Sebagian menyebut ini bagian dari upaya “rasionalisasi sejarah”. Tapi yang sering kali terjadi adalah reduksi: menyusutkan yang kompleks menjadi data steril, menghilangkan emosi, dan mengganti suara korban dengan grafik dan statistik. Padahal sejarah bukan hanya angka dan arsip. Ia adalah ingatan kolektif, luka yang diwariskan, dan tanggung jawab yang tidak bisa dibagi rata.
Ketika Fadli Zon menyebut perlunya “bukti akademik”, kita patut bertanya balik: apakah akademik selalu berarti adil? Apakah validasi ilmiah adalah satu-satunya pintu masuk untuk mengakui bahwa perempuan-perempuan pernah dilukai, tubuh mereka dirusak, dan hidup mereka berubah selamanya?
Tidak semua penderitaan bisa dihadirkan dalam bentuk data. Tidak semua luka bisa dijelaskan dengan footnote dan bibliografi. Kadang, cukup satu testimoni yang jujur untuk menggambarkan ribuan yang memilih diam.
Dalam konteks ini, pernyataan Fadli Zon bukan hanya problematis, ia bisa dibaca sebagai bagian dari pola penghapusan ingatan. Ia menyebut ingin mencari kebenaran, tapi terdengar seperti sedang membatasi ruang ingatan. Dan jika ini selaras dengan arah penulisan sejarah nasional, maka kita sedang menyaksikan pembentukan versi masa lalu yang baru: lebih steril, lebih rapi, dan lebih sesuai dengan kepentingan politik hari ini.
Sejarah memang tidak bisa mencatat segalanya. Tapi ia juga tidak boleh memilih hanya yang menguntungkan. Karena ketika sejarah hanya menyimpan yang nyaman, maka bangsa ini kehilangan bagian terdalam dari identitasnya: keberanian untuk mengakui luka.
Kita bisa berdalih tak ada data, tak ada bukti. Tapi yang tak ada bukan berarti tak pernah terjadi. Terlalu banyak yang diam bukan karena tak terjadi, melainkan karena takut tak dipercaya. Maka, pertanyaan paling penting hari ini bukan hanya: “apa yang terjadi pada Mei 1998?”, melainkan: “apa yang sedang kita lakukan terhadap ingatan itu sekarang?”
Ketika sejarah mulai ditulis ulang, waspadalah bukan hanya terhadap yang ditulis, tapi juga terhadap yang dihapus secara halus. Sebab masa depan sebuah bangsa tak hanya dibentuk oleh ingatan yang dipertahankan, tapi juga oleh luka yang berani diakui. (Atur Lorielcide/TokohIndonesia.com)