Berjuang dan Masuk Penjara
Urip Santoso
[ENSIKLOPEDI] BIO 04 | Setelah tamat dan menerima ijazah dari SMT Djakarta, Urip Santoso ikut berjuang dengan masuk Badan Keamanan Rakyat (BKR)[1]. Hal mana ketika itu, Indonesia memasuki babak baru, Zaman Merdeka (Perjuangan Kemerdekaan), mulai Proklamasi 17 Agustus 1945 sampai Pengakuan dan Penyerahan Kedaulatan dari Kerajaan Belanda kepada Republik Indonesia Serikat (RIS) pada 27 Desember 1949[2], sesuai hasil Ronde Tafel Conferentie (RTC) atau Konferensi Meja Bundar di Den Haag (23 Agustus-2 November 1949).
Seingat Urip, waktu itu yang menerimanya ikut berjuang di BKR adalah Mr. Kasman Singodimedjo, seorang tokoh Masyumi. Namun di BKR hanya sekitar 2-3 bulan. Sebab BKR menjelma menjadi TKR (Tentara Keamanan Rakyat) kemudian menjadi TRI (Tentara Rakyat Indonesia), sebagai cikal-bakal TNI (Tentara Nasional Indonesia)[3]. Maka Urip otomatis jadi TKR. Kali itu, dia tidak bergabung dengan laskar tentara pelajar tapi langsung dibawa ke Yogya oleh pimpinannya dari PETA. Waktu itu dia ditempatkan di MBT (Markas Besar Tentara) di Yogyakarta, yang masih bernama TKR, kemudian menjadi TRI, lalu jadi TNI.
Selama perjuangan di TKR (TRI dan TNI), Urip dipercayakan dengan pangkat kapten. Dia pun terima saja pangkat kapten itu, walaupun menyadari bahwa dia belum pernah mendapat pelatihan militer secara khusus. Tapi kala itu, banyak juga orang seperti itu, ada yang berpangkat letnan dan lain-lain. Sebagai seorang tamatan SMT yang waktu itu masih termasuk langka, maka dia sepantasnya diberi pangkat kapten.
Kemudian, dia pun ditugaskan di daerah pendudukan, Jakarta. Ketika itu, ibukota pindah ke Yogyakarta. Dia bertugas di SO 1 (staf oemoem 1) yang antara lain bertugas di bidang informasi dan intelejen. Dia pun menjalankan tugasnya dengan baik sampai dia diciduk dari kereta api khusus pada Juli 1947. Kereta api khusus yang juga ditumpangi pejabat berangkat dari Jakarta menuju Yogyakarta. Namun, kereta api itu distop tentara Belanda. Urip dipaksa turun tanpa menjelaskan apa sebabnya dan atas perintah siapa. Mungkin Belanda sudah tahu bahwa dia seorang tentara yang bertugas di bidang informasi dan intelejen, mungkin ada yang kasih tahu (membocorkan). Sebab sebelumnya, dia bisa bergerak bebas menghimpun informasi yang dibutuhkan.
Tentara Belanda itu pun memeriksanya. Kemudian Urip langsung dibawa ke Jakarta dan dijebloskan ke Penjara Glodok (sekarang sudah jadi Pertokoan Harco)[4]. Di penjara Glodok ini, Urip dicampur dengan maling dalam sel berisi delapan orang. Saat dijebloskan dalam sel itu, Urip masih berpakaian rapi dan bagus. Sementara, para tahanan di sel itu terlihat kumal dan mukanya sangar-sangar. Mungkin mereka sudah lama dikurung dalam sel itu.
Di sel itu, ada juga orang yang membunuh pilot Dakota (Sekutu) yang ditembak jatuh di Bekasi. Kelihatannya semua penghuninya seram, untuk diajak bicara saja susah. Kondisi sel itu juga seram. Kakusnya ada di dalam. Namun, sumur untuk mandi berada di luar. Di belakang dekat sel itu, tempat menembak (mengeksekusi) orang. Kalau ada orang dihukum mati, dari sel itu kedengeran rentetan letusan senjatanya, mengerikan. Pokoknya amat menyeramkan.
Namun, Urip pasrah dan tenang saja. Tapi, ternyata mereka (para tahanan yang kumal dan sangar itu) baik dan malah hormat sama dia. Namun, Penjara Glodok itu tetap mengerikan, sangat tidak manusiawi, apalagi untuk tahanan perang. Di Penjara Glodok itu, tiap hari makanannya hanya sayur kangkung dan terong yang tidak asin. Lebih sebulan lamanya dia berada di sel Penjara Glodok itu.
Kemudian, dia dipindah ke Penjara Bukit Duri. Penjara yang juga sama seramnya. Tapi di sana dia sudah berstatus sebagai tahanan militer, prisoner war (tahanan perang)[5], lengkap dengan pakaian dan atributnya. Walau terkenal sebagai penjara seram, kondisi di Penjara Bukit Duri jauh lebih baik dibanding Penjara Glodok. Urip dimasukkan dalam sel yang punya tempat tidur dari beton.
Ketika dia baru masuk, memang masih harus membakar pakai lilin kutu busuk yang bercokol di lantai dan dinding sel itu. Pintu selnya doubel, berwarna hitam, dan hanya ada lobang kecil. Setiap malam dicek 2-3 kali oleh sipir. Makannya juga sudah tiga kali sehari dengan menu yang sudah lebih baik dibanding Penjara Glodok. Pengalamannya di Penjara Bukit Duri itu, pihak Belanda masih memegang konvensi Jenewa, walaupun tidak sepenuhnya. Seperti, jam masuk dan keluar sel, masih dari jam enam pagi sampai enam sore.
Di Penjara Bukit Duri itu, Urip ketemu Pramoedya Ananta Toer[6]. Setelah seminggu Urip ditahan di penjara itu, Pram dijebloskan di tempat seram itu. Sel mereka berdekatan. Orang bilang Pram itu komunis. Namun, bagi Urip, hal itu tidak masuk akal, sebab dia tahu Pram itu bangga sebagai anggota TNI.
Selama di penjara, Urip selalu waspada. Dia tidak pernah mau sembarang bicara. Sebab segala macam orang ada di situ, terutama di Penjara Bukit Duri, banyak mata-mata. Pada suatu hari ada kelompok dari Australia, isinya Menado, Flores, Ambon, pokoknya dari timur, orang KNIL[7]. Belakangan, Urip tahu mereka berontak di Sydney. Akibatnya, mereka ditangkap dan dimasukkan ke Penjara Bukit Duri. Tapi Urip tidak mau gegabah dengan mudah percaya pada orang-orang itu.
Dia tidak mau sembarang bicara dengan para tahanan di penjara itu. Jangan-jangan mereka itu sengaja dimasukkan ke penjara sebagai mata-mata. Bahkan, ketika Pramoedya masuk, Urip sempat curiga. Namun, kemudian kecurigaan itu sirna setelah mengetahui lebih dalam apa yang dilakukan Pram sehingga dijebloskan ke penjara.
Kemudian, Urip sempat dipindah ke Penjara Tangerang, yang sekarang jadi penjara wanita. Di Penjara Tangerang itu sebenarnya merupakan proses rehabilitasi. Di situ, tawanan militer dan sipil dijadikan satu. Tapi di dalamnya dipisah. Setelah berada beberapa saat di Penjara Tangerang itu, barulah Urip menyadari hal itu sebagai bagian proses rehabilitasi. Sebab yang jaga dan direkturnya juga bukan tentara, tetapi sipil. Namun, rupanya maksud rehabilitasi itu adalah supaya tahanan menyerah jadi orang baik-baik sama Belanda.
Urip sendiri ditawari bea siswa Malino, pengiriman mahasiswa Malino ke Belanda. Tapi, Urip menampik tawaran itu. Seingat dia, selain dirinya, juga tahanan lainnya, baik dari militer maupun sipil, tidak ada yang mau. Semuanya punya prinsip dan menjunjung tinggi semangat nasionalisme.
Lalu, suatu hari, karena penjaganya memang tidak ketat, ada 10 orang tahanan dari bagian militer yang kabur. Waktu itu, Urip juga diajak kabur. Tapi Urip menampik. Bukan karena takut, tapi atas pertimbangan rasional sesuai kondisi yang berkembang di dalam penjara maupun di luar. Kabur malah bisa menimbulkan kerepotan baru.
Setelah kejadian tahanan kabur itu, Urip dikembalikan lagi ke Penjara Bukit Duri. Lalu, tak lama kemudian, dalam rangka Konfrensi Meja Bundar di Den Haag (23 Agustus-2 November 1949) para tahanan dilepaskan. Kecuali, Urip dan tujuh orang lainnya, di antaranya Pramoedya, seorang lagi Komandan Resimen Pattimura, dan Brigade Macan Citarum Harun Umar, masih tetap ditahan. Dalam suasana lengang seperti itu, hanya dihuni delapan orang, terasa penjara itu makin serem.
Kemudian, seminggu sebelum penyerahan kedaulatan di Jakarta (27 Desember 1949), yang diterima oleh Sri Sultan Hamengkubuwono[8], mereka berdelapan dibebaskan. Seingat Urip, pembebasan mereka tak ubahnya kayak melepas kucing atau kambing dari kurungan (kandang). Tanpa proses. Mereka disuruh keluar saja. Tak heran jika mereka rada bingung, selain karena tanpa proses, keadaan di luar juga sudah lain. Maklum, Urip sudah mendekam selama dua tahun sembilan bulan dalam penjara Glodok – Bukit Duri – Tangerang – Bukit Duri. Atas perjuangannya, pemerintah RI pun menganugerahkan penghargaan Bintang Gerilya kepadanya. Bio TokohIndonesia.com | crs – ms
Footnote:
[1] Badan Keamanan Rakyat (BKR) terbentuk berdasarkan keputusan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia dalam sidangnya tanggal 22 Agustus 1945, lima hari setelah Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945, bersamaan dengan pembentukan Komite Nasional. Pembentukan BKR Pusat ini diumumkan oleh Presiden Soekarno pada tanggal 23 Agustus 1945 dengan Ketua Umum Kaprawi, Ketua I dan II Sutalaksana dan Latief Hendraningrat, serta anggota Arifin Abdurahman, Mahmud dan Zlkifli Lubis. BKR ditetapkan sebagai bagian dari Badan Penolong Keluarga Korban Perang (BPKKP) yang merupakan induk organisasi yang ditujukan untuk memelihara keselamatan masyarakat. Pembentukan BKR dan bukan tentara dimaksudkan untuk tidak membangkitkan permusuhan dari kekuatan-kekuatan asing (terutama tentara sekutu dan Jepang) yang pada waktu itu ada di Indonesia. Ke dalam BKR itulah terhimpun bekas anggota Peta, Heiho, Keisatsutai (Polisi), Seinendan, Keibodan dan lain-lain. Bersamaan dengan itu dibentuk pula BKR-Laut. (Sumber, antara lain: 30 Tahun Indonesia Merdeka, 1945-1949, Sekretariat Negara, Cetakan Keenan, 1985, hlm.24-25)
[2] Pengakuan Kedaulatan: Upacara penandatangan naskah pengakuan kedaulatan dilakukan pada waktu bersamaan di Indonesia dan di negeri Belanda pada tanggal 27 Desember 1949. Di negeri Belanda, bertempat di ruang tahta Istana Kerajaan Belanda, Ratu Juliana, Perdana Menteri Dr. Willem Drees, Menteri Seberang Lautan Mr. AMJA Sassen dan Ketua Delegasi RIS Drs. Moh. Hatta, bersama-sama menandatangani naskah pengakuan kedaulatan dari pemerintah Belanda kepada pemerintah RIS. Sementara, di Jakarta, Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Wakil Tinggi Mahkota AHJ Lovink menandatangani naskah penyerahan kekuasaan. Lalu, pada tanggal yang sama di Yogyakarta dilanjutkan penyerahan kedaulatan dari Republik Indonesia kepada Republik Indonesia Serikat. (Pengakuan Kedaulatan, 30 Tahun Indonesia Merdeka, Seri 1945-1949, Sekretariat Negara, Cetakan Keenam, 1985, hlm. 251).
[3] Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dibentuk melalui Dekrit Presiden tanggal 5 Oktober 1945, yang merupakan perubahan dari BKR (Badan Keamanan Rakyat). Pembentukan TKR 5 Oktober 1945 inilah kemudian yang diperingati sebagai hari lahirnya TNI. Sebelum menjadi TNI, pada tanggal 7 Januari 1946, Tentara Keamanan Rakyat berganti nama menjadi Tentara Keselamatan Rakyat dan pada 24 Januari 1946 berubah lagi menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI). Namun pada saat itu di Indonesia terdapat juga barisan-barisan bersenjata lainnya di samping TRI, maka pada tanggal 5 Mei 1947, Presiden Soekarno mengeluarkan keputusan untuk mempersatukan TRI dengan barisan-barisan bersenjata tersebut menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI). Penyatuan itu diresmikan pada tanggal 3 Juni 1947.
[4] Penjara Glodok terkenal merupakan penjara menakutkan. Pada awalnya penjara ini dikhususkan untuk pidana psychopalen. Bung Hatta pernah ditahan di sana dengan tuduhan menghasut rakyat untuk melawan Belanda pada 1930-an saat berpidato di Hotel Des Indes. Dalam penjara Glodok itu Bung Hatta menyelesaikan penulisan buku Krisis Ekonomi dan Kapitalisme. Dari sana Bung Haat kemudian dibuang ke Boven Digul, Papua, tempat pengasingan yang menakutkan pula.
[5] Tahanan perang (prisoner of war) adalah sebutan bagi tentara yang dipenjara oleh musuh pada masa atau sesaat berakhirnya konflik bersenjata (perang). Konvensi Ketiga Jenewa memastikan para tahanan perang diperlakukan dengan manusiawi. Salah satu syarat konvensi tersebut adalah bahwa penyiksaan terhadap para tahanan dianggap ilegal, dan bahwa mereka hanya perlu memberikan nama, tanggal lahir, pangkat, serta nomor jasa mereka. Namun pematuhan terhadap konvensi tersebut berbeda antara negara.
[6] Pramoedya Ananta Toer, Sang Pujangga yang Dihargai Dunia Dipenjara Negeri Sendiri. Lahir di Blora, Jawa Tengah, 6 Februari 1925 dan meninggal di Jakarta, 30 April 2006. Pada Oktober 1945, bergabung dengan Badan Keamanan Rakyat (BKR) dan ditempatkan di Cikampek pada kesatuan Teruna, yang kemudian menjadi inti divisi Siliwangi, sebagai prajurit II. Dalam waktu singkat, dia menjadi sersan mayor. Beberapa waktu kemudian di Jakarta, Pramoedya Ananta Toer bekerja pada “The Voice of Free Indonesia”, di mana roman Ditepi Kali Bekasi mulai disusun dan diterbitkan (yang diterbitkan saat itu adalah fragmen Krandji-Bekasi Jatoeh). Selain itu, Pram pun mendapat order dari atasannya untuk mencetak serta menyebarkan pamflet dan majalah perlawanan. Itu terjadi pada saat Belanda mulai melakukan agresi militer pertama 21 Juli 1947. Dua hari kemudian dia tertangkap marinir Belanda dengan surat-surat bukti di dalam sakunya. Dia pun disiksa oleh satu peleton marinir totok, indo, dan Ambon. Barang-barang di rumahnya disita. Dimasukkan ke dalam tahanan tangsi di Gunung Sahari dan tangsi polisi di Jagomonyet (seperti diceritakan dalam Pertjikan Revolusi ). Akhirnya ia dipenjarakan di Bukit Duri tanpa proses wajar, dan selanjutnya dipenjarakan lagi di pulau Damar (Edam). (www.tokohindonesia.com/pramudya-ananta-toer/)
[7] KNIL, singkatan dari het Koninklijke Nederlands(ch)-Indische Leger (bahasa Belanda), arti harafiah Tentara Kerajaan Hindia-Belanda. Namun banyak di antara anggotanya yang bumiputra dan orang Indo-Belanda, bukan orang-orang Belanda. Di antara mereka yang pernah menjadi anggota KNIL pada saat menjelang kemerdekaan adalah Oerip Soemohardjo, E. Kawilarang, AH. Nasution, Gatot Soebroto dan TB Simatupang, yang kemudian memegang peranan penting dalam pengembangan dan kepemimpinan di dalam angkatan bersenjata Indonesia. (Pusat Data Tokoh Indonesia)
[8] Sri Sultan Hamengku Buwono IX, Sang Bangsawan yang Demokratis. Wakil Presiden RI (1973-1978) ini lahir di Yogyakarta, 12 April 1912 dengan nama Dorodjatun. Ketika Dorodjatun berusia 3 tahun diangkat menjadi putera mahkota (calon raja) dengan gelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Hamengku Negara Sudibya Raja Putera Narendra ing Mataram. Pemerintahan Kesultanan Yogyakarta mengalami banyak perubahan di bawah pimpinannya. Pendidikan Barat yang dijalaninya sejak usia 4 tahun membuat Sri Sultan Hamengku Buwono IX (HB IX) menemukan banyak alternatif budaya untuk menyelenggarakan Keraton Yogyakarta. Dia menunjukkan bahwa raja bukan lagi gung binathara, melainkan demokratis. Dia memiliki paham kebangsaan yang tinggi. Meninggal di RS George Washington University Amerika Serikat, 1 Oktober 1988, dan dimakamkan di Astana Saptarengga, Komplek Pemakaman Raja Mataram di Imogiri, Yogyakarta, 8 Oktober 1988. (www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/s/sri-sultan-hb-ix/)