Dalang Wayang Kulit Terbaik

Ki Nartosabdo
 
0
3505
Ki Nartosabdo
Ki Nartosabdo | Tokoh.ID

[ENSIKLOPEDI] Seniman musik dan dalang wayang kulit kesayangan Bung Karno ini melegenda karena karya-karyanya yang inovatif dan menghibur turut mewarnai sejarah budaya Jawa. Salah seorang muridnya, Ki Manteb Soedharsono, mengakui bahwa Ki Nartosabdo adalah dalang wayang kulit terbaik yang pernah dimiliki Indonesia dan belum tergantikan sampai saat ini.

Ki Nartosabdo lahir dengan nama asli Soenarto di Wedi, Klaten, Jawa Tengah, 25 Agustus 1925. Bungsu dari delapan bersaudara ini lahir dalam keluarga yang tidak mampu. Ayahnya, Partiyono, sehari-hari bekerja sebagai mranggi atau pembuat rangka keris, sementara sang ibu, Madiah adalah seorang pengrawit. Kenyataan itu membuatnya harus melewati masa kecil dengan keadaan yang serba kekurangan. Karena kesulitan ekonomi pulalah, ia hanya bisa mengenyam pendidikan formal sampai kelas 5 SD di Standaard School Muhammadiyah.

Meski putus sekolah, bakat seni Ki Nartosabdo terus bertumbuh. Saat masih berusia 11 tahun, ia sudah mampu memainkan rebab, gendang, dan gender. Dengan kelebihannya itu, ia dapat membantu perekonomian keluarganya yang serba sulit. Ia pernah menjadi pelukis, juga menjadi pemain biola dalam orkes keroncong Sinar Purnama. Sebelumnya ia sempat bekerja sebagai pembuat seruling dan pengantar susu. Beranjak remaja, pada tahun 1940, ia bergabung dengan grup ketoprak Budi Langen Wanodya selama 2 tahun. Bakat seninya kian berkembang ketika ia melanjutkan sekolah di Lembaga Pendidikan Katolik yang kemudian dilanjutkan ke Akademi Seni Karawitan Indonesia, Solo.

Pada 1945, ia sempat menjadi pemain gendang pada grup Sri Wandawa. Setelah itu ia berkenalan dengan Ki Sastrosabdo, pendiri grup Wayang Orang Ngesti Pandowo. Di bawah bimbingan Ki Sastrosabdo, Ki Nartosabdo betul-betul ditempa kemampuannya dalam mengenali dan mendalami instrumen gendang serta mengenal dunia pewayangan. Sejak itulah Ki Nartosabdo belajar mendalang. Hubungan guru dan murid itu ibarat “Warangka manjing curuga, curiga manjing warangka”, keduanya adalah satu kesatuan bagaikan bapak dan anak. Bahkan karena jasa-jasanya membuat banyak kreasi baru bagi grup tersebut, ia memperoleh gelar tambahan Sabdo di belakang nama aslinya pada tahun 1948. Sejak saat itu, namanya berubah menjadi Narto Sabdo.

Soal ilmu mendalang, Ki Nartosabdo lebih banyak belajar secara otodidak dan memilih teknik terbaik dari beberapa dalang terkemuka, tidak seperti dalang pada umumnya yang lahir di tengah keluarga dalang atau mendapat wahyu (kewahyon). Ia makin serius mendalami seni mendalang pada beberapa dalang ternama seperti Ki Gitocarito dari Sukoharjo yang bermukim di Semarang. Ia juga belajar mendalang pada Ki Pujosumarto dari Klaten dan Ki Wignyo Sutarno dari Solo. Dari guru yang disebut terakhir itu, Ki Nartosabdo belajar banyak mengenai dramatika pewayangan. Suami Tumini ini juga tekun membaca berbagai buku tua.

Tawaran untuk mendalang datang pertama kalinya dari Kepala Studio RRI saat itu, Sukiman. Bertempat di Gedung PTIK, Jakarta, pada 28 April 1958, Ki Nartosabdo memulai debutnya sebagai dalang. Ketika itu ia membawakan lakon Kresna Duta dengan gabrak Yogyakarta atau Banyumasan. Saat tampil dalam pertunjukan yang disiarkan oleh RRI itu, Ki Nartosabdo sempat dilanda demam panggung. Sebab pada saat itu, pekerjaan yang sesungguhnya ialah pengendang grup Ngesti Pandowo.

Pada adegan pertama, ia sempat kebingungan mencari cempala, alat yang biasa diketukkan dalang pada sisi kotak wayang. Padahal, alat untuk mendramatisasi suasana itu sudah tergeletak di pangkuannya. Meski demikian, penampilan perdananya ketika itu langsung mengangkat namanya. Sejak saat itu, tawaran tampil mendalang terus berdatangan dari Solo, Yogyakarta, Surabaya, dan kota-kota lain. Lahir pula cerita-cerita gubahannya, seperti Dasa Griwa, Mustakaweni, Ismaya Maneges, Gatutkaca Sungging, Gatutkaca Wisuda, Arjuna Cinoba, Kresna Apus, dan Begawan Sendang Garba.

Ki Nartosabdo kemudian merajai panggung wayang orang di tahun 50-70an. Pertunjukannya, terutama yang digelar pada malam minggu hampir selalu dibanjiri penonton. Para penggemarnya tak segan menahan kantuk semalaman suntuk demi menyaksikan lakon-lakon yang dibawakannya. Karena selain menghibur, Ki Nartosabdo selalu memberikan nasihat, filosofi, dan perjalanan hidup.

Di sisi lain, Ki Nartosabdo juga mendapat banyak kritik lantaran ia lebih banyak mementaskan cerita-cerita carangan, hasil apresiasi mendalam dari suatu cerita baku, atau gubahan baru yang bersumber dari pakem (cerita induk). Ia juga dianggap terlalu menyimpang dari aturan yang sudah baku, antara lain berani menampilkan humor sebagai selingan dalam adegan keraton yang biasanya kaku dan formal.

Menanggapi kritikan tadi, Ki Nartosabdo enteng saja menjawab, “Apa salahnya?” Ia bahkan mengibaratkan kreasi baru itu seperti bakmi, yang bukan makanan sehari-hari. Suatu saat kita toh akan kembali makan nasi. Atau ibarat bistik. Tuhan menciptakan sapi, pengolahannya terserah kepada kita. Nyatanya, kritikan demi kritikan yang dialamatkan padanya tidak membuatnya gentar, justru semakin giat berkarya. Pandangannya yang moderat membuat wawasan berpikirnya lebih luas termasuk dalam mempelajari budaya Jawa.

Advertisement

Kreativitasnya pun kian meluas. Selain piawai mendalang, Ki Nartosabdo juga dikenal sebagai pencipta lagu-lagu Jawa yang sangat produktif. Lagu ciptaannya terbilang unik namun enak didengar. Untuk menghasilkan karya yang dapat diterima pasar, ia tak segan melakukan eksperimen dengan menciptakan gending yang berirama rumba, waltz, bahkan dangdut. Seperti saat menggelar konser karawitan di Gedung Mitra Surabaya, 1976, yang menampilkan 14 komposisi ciptaannya, Ki Nartosabdo membawakan lagu Begadang milik Rhoma Irama dalam Pelog Paten Nem. Selain yang bertema ringan dan menghibur, Ki Nartosabdo juga pernah menciptakan karya “berat”, misalnya Sekar Ngenguwung.

Ia bahkan membuat gebrakan baru dengan memasukkan gending-gending ciptaannya dalam setiap lakon yang dimainkan. Hal ini membuat banyak dalang senior yang memojokkannya. Bahkan ada RRI di salah satu kota yang memboikot hasil karyanya. Meski demikian, masih ada beberapa orang yang mendukung sepak terjangnya, mereka antara lain adalah dalang-dalang muda yang menginginkan pembaharuan di mana seni wayang hendaknya lebih luwes dan tidak kaku. Berkat inovasi yang diluncurkannya, tak heran bila Ki Nartosabdo kemudian dianggap sebagai pembaharu dunia pedalangan di tahun 80-an.

Melalui grup karawitan bernama Condong Raos yang ia dirikan, lahir sekitar 319 buah judul lagu (lelagon) atau gending, antara lain Caping Gunung, Gambang Suling, Ibu Pertiwi, Klinci Ucul, Ngundhuh Layangan, Rujak Jeruk, Lumbung Desa, Lesung Jumenglung, Saputangan, Ojo Lamis, Ojo Dipleroki, dan yang paling populer adalah Prau Layar. Lagu berirama ceria ini sering dibesut dalam kemasan campursari dan gending oleh para pencinta alunan musik Jawa.

Karya-karya gendingnya memiliki karakter khas Ki Nartosabdo yang kemudian mendapat istilah Gending-gending Nartosabdhan. Seperti adanya unsur gregel, wiled (cengkok yang menunjukkan naik turunnya titi laras), serta sigrak yang hampir ada di setiap lagon (jenis gending yang terlepas dari Subokasto: Gending, Ketawang, Ladrang dan Lancaran), dan lain-lain. Di dalamnya terkandung unsur dinamis yang merangsang orang yang mendengarnya untuk hanyut dalam lagu-lagu tersebut.

Inovasi yang dilakukan Ki Nartosabdo diumpamakan dengan istilah Tri Karsa Budhaya. Istilah tersebut pertama kali dicetuskan oleh Sekretariat Pewayangan Indonesia yang bermakna: menggali, mengembangkan, serta melestarikan kebudayaan nasional. Dengan kesadaran Tri Karsa Budhaya inilah, ia berjalan di belantara kesenian Indonesia. Beberapa lagu rakyat yang sempat ia gali antara lain, Kembang Glepang Banyumasan, Mijil Lelayu, Jurang Jugrug, Gudril dan masih banyak lagi.

Bersama perkumpulan Karawitan Condong Raos, ia berhasil mengolah lagu-lagu kuno itu tampil dalam balutan irama yang lebih segar. Tak heran bila hampir semua karyanya meledak di pasaran, apalagi para dalang yang satu aliran dengannya juga ikut mempopulerkan karya-karya Ki Nartosabdo melalui seni pakelirin. Maka dengan sendirinya, gending-gending Nartosabdhan ini pun kian memasyarakat.

Misalnya dalam lagu Swara Suling, yang dimainkannya dengan sembilan gendang sekaligus serta tiga tambur, sehingga suara gendang lebih mendominasi lagu tersebut. Cara memukul gendangpun menggunakan ibu jari. Sampai-sampai Swara Suling yang dimainkan oleh dalang manapun dalam pementasan wayang kulit, tembang itu hampir menyamai aslinya.

Ki Nartosabdo wafat pada 7 Oktober 1985 dalam usia 60 tahun. Jasadnya disemayamkan di Gedung Ngesti Pandowo, yang berlokasi di Jalan Pemuda 116, Semarang, untuk selanjutnya dikebumikan di TPU Bergota. Beberapa saat sebelum kepergiannya, ia menciptakan sebuah gending yang ia beri judul Lelayu (kematian). Lagu sedih itu pula yang mengantar kepergiannya menghadap Ilahi. Sontak suasana ketika itu kian mengharu biru, mengucurkan tangis para budayawan, dalang, pengrawit, pesinden dan semua yang pernah dekat dengan sosok almarhum.

Semasa hidup, banyak kenangan yang ditorehkan ayah dari Jarot Sabdono ini di hati para koleganya. Pengusaha jamu sekaligus musisi, Jaya Suprana, yang mengaku pernah belajar pada almarhum, bahkan menyempatkan diri menggubah sebuah komposisi berjudul Epitaph II yang dipersembahkannya bagi mendiang sang guru tak lama setelah kepergiannya. Mantan Presiden Soekarno, bahkan menobatkan Ki Nartosabdo sebagai dalang kesayangannya.

Rasa kehilangan mendalam juga datang dari rekan seprofesinya, seperti Ki Anom Soeroto, Ki Timbul, Nyi Suharti. Mereka mengaku bukan cuma kagum terhadap karya-karya almarhum, namun juga merasa pernah menjadi murid baik secara langsung maupun tak langsung dari seniman besar itu. Bahkan salah satu dalang ternama yang pernah menimba ilmu padanya, yakni Ki Manteb Soedharsono mengakui bahwa Ki Nartosabdo adalah dalang wayang kulit terbaik yang pernah dimiliki Indonesia dan belum tergantikan sampai saat ini. muli, red

Data Singkat
Ki Nartosabdo, Dalang Wayang / Dalang Wayang Kulit Terbaik | Ensiklopedi | Seniman, Budayawan, Budaya, jawa, musik, dalang, wayang, inovatif

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini