Dedikasi dan Integritas untuk Bangsa
Frans Seda
[ENSIKLOPEDI] Franciscus Xaverius Seda salah seorang putera terbaik bangsa kelahiran Flores, Nusa Tenggara Timur, 4 Oktober 1926. Mantan Menteri Perkebunan (1963-1964), Menteri Keuangan (1966-1968) dan Menteri Perhubungan dan Pariwisata (1968-1973) ini seorang politisi, tokoh gereja, pengamat politik dan pengusaha Indonesia yang berdedikasi dan intergritas tinggi kepada kemajuan dan kesatuan Indonesia.
Dalam pengalaman aktivitas politik, saya mengenal dua tipe politisi, yakni para politisi yang dalam mengambil sikap terhadap suatu masalah politik mendahulukan popularitas politik, dan mereka yang mengutamakan kepribadian politiknya. Ini tidak berarti bahwa seseorang yang memiliki kepribadian politik tidak juga memperhatikan masalah popularitas, dan sebaliknya bahwa seseorang yang mengejar popularitas tidak memiliki kepribadian politik. Namun masalahnya adalah masalah mendahulukan, masalah prioritas dan preferensi dalam mengambil sikap politik.
Dalam hal kepribadian politik, seperti dalam setiap masalah kepribadian, maka watak, karakter dan pembawaan (bukan terutama kemampuan) seseorang politikuslah yang menentukan sikap politiknya, sementara dalam hal popularitas politik, yang diandalkan adalah persepsi orang terhadap si politikus. Seseorang yang berkepribadian politik mantap dan prinsipil. Sementara seseorang yang mengejar popularitas, senantiasa menyesuaikan diri pada sikon politik, mencla-mencle dan bersikap oportunistis.
Seseorang yang berkepribadian politik akan menonjolkan kepribadiannya, watak, karakter dalam sikapnya, sementara seseorang yang mengandalkan popularitas, karena mendahulukan/mementingkan penilaian dan apa yang dikatakan orang lain, masyarakat, dan opini publik, maka yang diutamakan adalah penampilan, bukan watak ataupun karakter. Dan sering dalam penampilannya itu, si politikus itu justru menyembunyikan watak/karakternya yang sebenarnya! Ia berpenampilan bersahaja, rendah hati dan mau mendengar semua, tetapi nanti, jika ia telah menguasai sikon dan kekuasaan politik, barulah watak dan karakter yang sebenarnya muncul!
Pada awal pengalaman politik, saya pun menghadapi masalah popularitas vs kepribadian politik ini, namun bukanlah masalah popularitas politik vs kepribadian politik dalam sikap dari seseorang politikus, melainkan dalam sikap dari sebuah partai politik yakni Partai Katolik. Para anggota dan pimpinan di pusat dan di daerah dari partai itu menggerutu terhadap kepemimpinan Pa Kasimo, karena Partai Katolik yang senantiasa duduk dalam hampir semua kabinet sejak zaman revolusi, tidak pernah memperhatikan nasib dan kesejahteraan mereka.
Timbul suatu upaya untuk mengganti Pa Kasimo sebagai Ketua Umum. Melihat perkembangan ini, maka Sdr VB (Centis) da Costa SH yang mewakili dan memperoleh mandat penuh dari Flores, sebagai daerah Katolik yang paling utama di negara ini, untuk berusaha agar Pa Kasimo diganti, berbalik arah dan justru membela Pa Kasimo. SdrVB (Centis) da Costa SH dibantu oleh dua pemuda orator dan “tukang pukul” politik yakni Sdr Kanis Pari (tadinya Kanis Parera menjadi Kanis Pari) dan Sdr Drs John Jelahut Tagung.
Berkatalah Pa Kasimo dengan pertanyaan beliau yang menjadi klasik dan yang membuat Sdr da Costa berbalik menjadi pembela beliau. “Partai Katolik ini mau jadi partai yang bagaimana, sebuah beginsel partij/partai yang mempunyai prinsip-prinsip (beginselen) dan mendahulukan kepentingan umum dalam berbakti pada nusa dan bangsa atau sebuah partai oportunis, yang mencari rejeki untuk para pimpinan dan para anggotanya”. Dengan demikian Pa Kasimo adalah contoh dari seorang politikus yang berkepribadian dalam politik. Dan beliau dipertahankan sebagai ketua umum partai, dalam Kongres Partai Katolik di Yogyakarta itu, termasuk/terutama oleh Flores.
Pada masa Orba pun ada pengalaman saya dengan para politisi yang lebih mendahulukan popularitas dan backing daripada prinsip dan moral politik. Orba pada awalnya mengingini demokrasi dan demokratisasi (salah satu dari 3 programnya, yakni pembubaran PKI, pembangunan secara berencana, dan demokrasi). Dan pada awalnya penyelenggaraan pemerintahan berlangsung secara demokratis.
Presiden masuk DPR dan meminta pesetujuan bagi APBN dalam suatu musyawarah untuk mufakat yang dilaksanakan benar-benar secara bebas, dengan mengakui penuh “Hak Budget” DPR, dan semua Keputusan Presiden/Kepres, sebelum dikeluarkan, dibicarakan dulu materinya dengan DPR. Namun ternyata sikap Demokratis itu hanyalah kedok belaka untuk memantapkan kekuasaan. Sekali kekuasaan diperoleh muka topeng Demokrasi dibuang dan Bangsa dan Negara digiring ke arah Otokrasi/Otoriterisme dan Diktatur.
Waspadalah
Jadi waspadalah terhadap penampilan, sosok dari seorang politikus! Dengan kepercayaan Saudara, secara emosional Saudara bisa beli kucing dalam karung! Dan seperti pernah saya utarakan dalam sebuah tulisan, tidak semua yang ada dalam karung yang “meong-meong” itu benar-benar kucing, tetapi semua kucing tanpa karung, walaupun tidak “meong-meong” itu memang benar-benar kucing!
Dalam pemilu, anggota Dewan Perwakilan Rakyat, apakah amanat rakyat yang dapat dibaca dari hasilnya? Dalam hal Pemilu DPR, yang masih dikuasai oleh partai-partai politik, rakyat memberi amanat bahwa kebebasan politik dan demokrasi politik tidak harus berarti semaunya mendirikan partai politik, karena tidak puas, dan demokrasi tidak identik dengan sebanyak mungkin partai politik. Diadakan pembatasan terhadap parpol yang ikut pemilu DPR, hanya 24 parpol yang dapat ikut serta. Dari 24 parpol itu, hanya 17 parpol yang memperoleh kursi, dan dari mereka itu ada 7 parpol yang memperoleh kursi dibawah 5. DPR jadinya sangat terfragmentasi yang memperlemah daya kontrolnya terhadap Pemerintah.
Sedangkan bangsa dan negara justru memerlukan sebuah DPR yang kuat sebagai mitra dari pemerintah/presiden yang pasti kuat karena dipilih langsung oleh rakyat. Dalam 5 tahun mendatang ini, kita akan menghadapi banyak tantangan dari dalam dan luar negeri yang akan menentukan nasib kita sebagai bangsa, sebagai negara, dalam pergolakan politik, ekonomi dan sosial di dalam dan di luar negeri.
Juga dalam menghadapi tantangan-tantangan ini diperlukan pemerintah yang kuat, DPR yang kuat dan mampu menjadi mitra yang kuat, serta bangsa dan negara yang kuat pula. Namun di atas kekuatan-kekuatan ini semua, diperlukan persatuan bangsa yang kuat. Dan melihat kondisi keterpurukan dari Bangsa dewasa ini, maka diperlukan bukan bantuan/ pinjaman dari luar negeri, namun suatu booth strap operation dari kita semua bersama-sama.
Tantangan-Tantangan
Di dalam Negeri. Tantangan dalam hidup berbangsa adalah tantangan terhadap eksistensi atau keberadaan kita sebagai satu bangsa yang utuh bersatu! Sedangkan dalam hidup bernegara, adalah tantangan terhadap eksistensi atau keberadaan dari Negara Kebangsaan dan Negara Kesatuan RI dan terhadap Pancasila sebagai Dasar Negara. Kemudian tantangan dalam hidup bermasyarakat adalah terhadap eksistensi atau keberadaan kita sebagai bangsa yang plural, yang beradab dan berkepribadian, antidiskriminasi dalam bentuk apa pun, dan yang mendahulukan kepentingan bersama, diikat oleh suatu solidaritas sosial dan nasional yang tangguh!
Dalam hal kesejahteraan, tantangan yang dihadapi dari pertumbuhan ekonomi yang stagnan, yang mengakibatkan peningkatan pengangguran dan kemiskinan secara luas di kota dan di daerah-daerah, terlebih di kalangan kaum muda (antara 15 – 30 tahun). Ditambah lagi bahwa, di samping tantangan-tantangan terhadap eksistensi atau keberadaan kita sebagai bangsa, negara dan masyarakat itu, kita pun digerogoti oleh korupsi dan KKN, yang jika tidak diberantas akan merintangi dan menyulitkan kita dalam proses/transisi menjadi negara yang demokratisi, negara hukum dan negara sejahtera yang sejati.
Ada pula masalah politik yang timbul dalam post pemilu ini, yakni berfungsinya suatu pemerintahan yang kuat, pilihan langsung dari dan oleh rakyat, namun suatu DPR yang lemah, karena terfragmentasi dan penyelenggaraan pemerintahan tanpa ada GBHN. Keadaan yang timpang ini perlu diatasi dengan memperkuat persatuan bangsa dan negara. (Bukan dengan koalisi-koalisi politik yang didasarkan pada power sharing)
Kemudian tantangan dari luar negeri berupa arus globalisasi dan liberalisasi yang makin mengganas dan meluas. Dominasi dari kepemimpinan Amerika Serikat dalam kehidupan politik, ekonomi, sosial dan keamanan internasional, dan obsesinya terhadap terorisme internasional. Perkembangan ekonomi dunia yang tidak menentu disebabkan antara lain oleh masalah apresiasi dolar AS yang tidak menentu dan kegoncangan harga minyak dunia. Perkembangan dari Free Trade Areas, menggantikan Multilateral Agreements. Perkembangan dari ekonomi dan pembangunan Cina Daratan dan India, yang dapat merupakan pasar-pasar bagi suplai kekayaan alam (SDA) kita, tetapai di lain pihak merupakan konkurensi kita dalam pengembangan industri manufaktur, yang kita perlukan untuk mengatasi masalah pengangguran.
Dalam menghadapi tantangan-tantangan dari dalam dan luar negeri ini, akan diperlukan tindakan-tindakan yang tidak popular demi kepentingan bangsa dan negara, yang berkelanjutan (bukan yang sesaat). Dan seorang politikus yang mengutamakan popularitas politik, tidak dapat diandalkan dalam hal ini. Karena itulah diperlukan presiden/pimpinan bangsa dan negara yang berkepribadian politik, yang tangguh, mantap dan prinsipil, bukan yang mengejar popularitas politik belaka.
Perkembangan perhitungan hasil Pilpres 5 Juli yang baru lalu menunjukkan suatu tren bahwa yang akan maju ke putaran kedua bulan September yang akan datang adalah pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla dan pasangan Megawati Soekarnoputri-KH Hasyim Muzadi. Tentunya harapan kita adalah para pemimpin inilah yang nantinya membawa bangsa ini dalam menghadapi berbagai tantangan-tantangan yang ada, untuk mewujudkan Indonesia sebagai bangsa yang besar dan memperhatikan nasib rakyat. Track record para calon, terutama dari sosok kepribadian politik tentu juga menjadi pertimbangan. Sumber: Suara Pembaruan, 19 Juli 2004, Penulis adalah pengamat politik, mantan menteri keuangan.
***
FRANCISCUS XAVERIUS SEDA
pdat: Pengusaha ini terlibat dalam banyak kegiatan, rajin pula menulis artikel di pelbagai penerbitan. Terutama masalah ekonomi, juga politik. Belakangan, kongres ke-4 Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), memilih dia sebagai ketua umum. Sebelumnya, ia menggantikan Soedarpo Sastrosatomo menjadi ketua Indonesische Nederlandsche Associatie (INA), 1983.
Seda adalah pendiri sekaligus pengurus Yayasan dan Universitas Katolik Atma Jaya, juga dekan fakultas ekonomi di universitas itu. Sedangkan di Yayasan Bentara Rakyat, penerbit harian Kompas, ia wakil ketua, dan di PT Gramedia anggota dewan komisaris.
Selalu banyak senyum, komisaris PT Narisa — pabrik pakaian jadi — ini biasa bekerja keras sejak kecil. Ayahnya, Paulus Setu Seda, seorang kepala SD. Pamannya, Pisu Sega Seda, seorang kapitan (lurah). Dari kedua orang itulah, di Desa Lekebai, Paga, Kabupaten Sikka, Flores, ”Saya mendapat pendidikan mendalam tentang cara membaktikan diri kepada masyarakat,” tutur anak pertama dari delapan bersaudara ini.
Keluarganya di daerah itu termasuk berkecukupan. Suatu saat, pamannya membuka persawahan, menanam kemiri, kelapa, dan memulai program perbaikan kampung. ”Tindakan Paman itu sangat mengesankan buat saya,” katanya. ”Sekarang daerah saya penghasil kemiri nomor satu.”
Sesudah tamat SD di Flores, 1940, Frans Seda merantau ke Muntilan, Jawa Tengah. Di sana, sambil belajar di SMP, ia menjadi tukang rumput, pengaduk makanan, dan pemerah susu pada sebuah peternakan di lereng Gunung Merapi. Lantas ia dipercaya sebagai loper susu dan penagih rekening.
Lulusan Katholieke Economische Hogeschool di Tilburg, Negeri Belanda, ini di Jakarta lantas berwiraswasta dan menerjuni dunia politik. Sebagai Ketua Umum DPP Partai Katolik, ia menjadi anggota MPRS dan DPR-GR. Kemudian berturut-turut menjabat menteri: perkebunan, pertanian, keuangan, dan perhubungan. Ketika menjadi Dubes RI di Brussel, untuk Belgia dan Luksemburg, ia merangkap kepala perwakilan RI untuk MEE. Kembali ke Indonesia, dua tahun ia menjadi anggota DPA, sejak 1976.
Terbuka dan suka humor, suatu waktu ia berbicara tentang pemuda. ‘Ada suatu perbedaan,” katanya, ”pemuda zaman saya belajar politik dari pidato Bung Karno dan Bung Hatta. Sekarang lain, mereka belajar dari penataran ke penataran.”
Menikah dengan Johanna Maria Pattinaya, ayah dua anak ini menjadi anggota komisi kepausan Isutitia et Pax (Keadilan dan Perdamaian) diangkat oleh Paus Yohannes Paulus II, 1984. Biasa jogging atau jalan kaki selama satu jam, dan sesekali berenang.
****
Ketika Pak Seda Mudik…
Kompas, 9 November 2005
St Sularto
Ulang tahun ke-79 memang tidak seistimewa ulang tahun ke-50, apalagi ke-80. Namun, bagi Drs Franciscus Xaverius Seda, setiap ulang tahun harus diistimewakan.
Maka pada ulang tahun ke-79, tepatnya 4 Oktober 2005, dia ajak sejumlah rekannya di Jakarta, di antaranya Pak Jakob Oetama, merayakannya di Maumere, Kabupaten Sikka, Flores, Nusa Tenggara Timur. Mantan menteri sejumlah departemen, komisaris beberapa perusahaan, kolumnis—Pak Frans Seda—mudik.
Berbeda dengan perayaan ulang tahun selama ini, pesta mudik kali ini tidak menyertakan istri dan anak-anak. Pak Seda dan rombongan napak tilas ke Desa Lekebahi—sekitar 20 kilometer barat Maumere—tempat kelahiran dan kuburan leluhurnya. Bertemu dengan adik-adiknya di antaranya membahas soal pelimpahan tanah warisan untuk gereja setempat. Merayakan ulang tahun dengan misa syukur di Maumere, disusul peresmian Taman Bacaan Frans Cornelissen.
Di samping itu, dia juga meminta Pak Jakob Oetama menyampaikan ceramah di Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero, Maumere. Mengunjungi Larantuka, kota Rosario yang memiliki tradisi prosesi Jumat Suci, arak-arakan patung Maria keliling kota, tradisi yang terus dilestarikan dan menjadi daya tarik turisme sejak abad ke-16. Mengunjungi Biara Trapis di bukit terpencil sebalik Larantuka.
Jadilah, Pak Frans Seda mudik, tanggal 26-30 Oktober 2005. “Ibu (Yohanna Pattinaya) kok tidak ikut, Pak?”
“Sedang sakit,” katanya.
“Anak-anak (Ery dan Nessa) tak ngawal?”
“Mereka tak bisa meninggalkan kesibukan.”
Itulah jawaban-jawaban singkat Pak Seda setiap ditanya soal mudiknya tanpa keluarga.
Cerita tentang kebesaran dan keelokan bumi Flores dan manusia Flores mengalir selama perjalanan. Pagi itu, dalam cuaca cerah dengan perbukitan hijau pada musim hujan, sepanjang perjalanan, panorama indah Pulau Flores tidak dia lewatkan.
Dalam perjalanan darat sesekali dia minta pengemudi menghentikan mobil. Dia borong buah-buahan yang dijajakan di pinggir jalan antara Maumere dan Larantuka. “Beli semua. Mereka tak punya apa-apa di sini. Nanti untuk para pater di biara,” katanya.
Pada lain kesempatan, dia minta mobil dihentikan lagi, hanya untuk menyapa orang-orang yang tengah duduk-duduk di pinggir jalan.
Kepada serombongan anak sekolah berseragam pramuka, dia sapa, “Eh, kamu kelas berapa? Anggota pramuka harus bisa nyanyi. Nyanyikan lagu pramuka!”
Anak-anak kebingungan. Ketika didesak seorang rekan, “nama bapak ini pasti kalian kenal”, baru mereka sadar berhadapan dengan “orang besar”. Kemudian terdengar alunan lagu “Di sini senang, di sana senang, di mana-mana hatiku senang.…”
Pak Seda pun ikut menyanyi dengan penuh semangat. “Bagus-bagus, ini kalian bagi-bagi bertiga,” katanya sambil menyodorkan uang lima ribuan. Anak-anak itu bengong, berusaha mengingat-ingat siapakah “bapak berprofil Flores yang baik hati itu”.
Makna Pluralisme
Hari terakhir mudik, Sabtu (29/10), menampakkan sepenggal sisi sosok Frans Seda. Dia rela dan senang digelari “sesepuh”, sebutan yang berasal dari kosakata bahasa Jawa. Masuk akal sebab Pulau Jawa telah menjadi bagian dari perjalanan hidupnya.
Setelah tamat sekolah rakyat di Ndao (Ende, Flores) tahun 1940, ia pergi ke Yogyakarta, berjuang keras, misalnya, pernah jadi tukang rumput dan penjual daging sambil bersekolah di SMP Bopkri. Sekolah guru di Muntilan akhirnya menjadi tempat kota berlabuh kedua di Jawa.
Di bawah asuhan Pater Van Lith—pastor Jesuit—Frans Seda semakin mengenal Indonesia bukanlah hanya Flores. Di asrama calon-calon guru yang berasal dari seluruh pelosok Indonesia itu Frans Seda berkenalan dan mengakrabi makna pluralisme.
Gelar sarjana ekonomi diperoleh dari Katholike Economische Hogeschool, Tilburg, Belanda, tahun 1956. Berlatar belakang pendidikan ekonomi, Frans Seda dikenal sebagai ekonom, yang produktif menulis artikel-artikel ekonomi, sampai sekarang. Ditambah minat dan keterlibatannya dalam politik praktis, terutama pernah menjadi Ketua Umum Partai Katolik (1961-1968), pemikiran-pemikirannya tentang masalah ekonomi selalu didekati secara politik, tidak ekonomis teknis.
Pengalamannya di bidang pemerintahan, di antaranya pernah menjadi menteri di empat departemen dalam rentang waktu yang berbeda-beda—terakhir sebagai penasihat presiden pada era pemerintahan Megawati Soekarnoputri—membuat Frans Seda jadi sumber bertanya berbagai pihak.
Mudik, menuju udik ke Flores, selama lima hari mengingatkan apa yang berkali-kali disampaikan Pak Frans Seda, “Bung Karno menggelorakan semangat Merdeka atau Mati, kalau saya ingin agar Flores Merdeka dan tidak mati.”
“Saya masih ingin pergi lagi, mengajak teman-teman tahun depan,” katanya menambahkan.
Buku Khusus 80 Tahun Frans Seda
Maumere, Kompas Rabu, 01 November 2006 – Festival Ledalero 2005-2006 di Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero, Maumere, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur, Senin (30/10), ditutup. Acara ditandai dengan persembahan buku dari Penerbit Ledalero khusus untuk mengenang 80 tahun Frans Seda, yang jatuh pada 4 Oktober. Buku yang berjudul Rancang Bersama Awam dan Klerus itu langsung diserahkan kepada Frans Seda.
Frans Seda, mantan menteri empat departemen dalam rentang waktu berbeda-beda, dipandang sebagai tokoh awam sejati. Ia dikelompokkan dalam segelintir pemikir bersama kaum Klerus yang turut berkiprah dalam membangun negara dan gereja.
Dalam sambutannya, Frans Seda tak menyinggung banyak soal buku ini. Ia justru menekankan rasa bangganya terhadap pementasan sejumlah tarian adat khas Flores yang ditampilkan pada Senin malam.
“Malam ini saya melihat kembali mutiara yang terpendam, yang sekian lama kebudayaan dihimpun menjadi satu. Saya bangga dengan Flores sebagai pulau penuh keindahan bunga di laut, yaitu karang-karang yang berbunga,” tutur Frans Seda yang memberikan sambutan dalam posisi duduk.
“Saya orang yang senja, tetapi di saat senja, berarti besok ada matahari terbit. Dan, di kala senja, saya dapat melihat pengalaman berharga di masa lampau,” katanya.
Hadir dalam penutupan festival ini adalah Wakil Gubernur Nusa Tenggara Timur Frans Lebu Raya, Uskup Maumere Mgr Vinsensius Sensi Potokota Pr, sejumlah pejabat Muspida Sikka, dan beberapa pejabat di daratan Flores.
Bagi Frans Lebu Raya, festival ini adalah ajang pembangunan seni budaya serta pengembangan minat dan bakat bagi generasi muda. Ini kesempatan bagi generasi muda untuk mengembangkan aneka kesenian yang selama ini masih terpendam.
“Kaitan dengan sumpah pemuda, kita dapat mengambil hikmah idealisme yang dibangun agar generasi muda hidupnya bisa bermanfaat bagi orang lain serta mengembangkan daya saingnya. Anak-anak muda yang mengikuti festival ini juga memiliki potensi luar biasa. Hal ini perlu dikembangkan dan ini memerlukan dukungan pemerintah,” ujar Frans Lebu Raya yang sekaligus menutup festival.
Frans M Parera, yang mewakili pendiri Kelompok Kompas Gramedia Jakob Oetama mengatakan, Kompas Gramedia tetap konsisten menerbitkan buku-buku sastra meski mulai tahun 2000 kecenderungan pasar menurun.
“Tahun 1998 buku-buku sastra menjadi best seller dan Kompas Gramedia merespons hal itu. Akan tetapi, dua-tiga tahun kemudian minat pasar makin berkurang. Kami sempat bimbang, apakah terus menerbitkan buku-buku sastra atau tidak. Namun, rupanya ada suara dari Timur, termasuk dari almamater saya, bahwa buku-buku sastra tetap dibutuhkan. Bagaimanapun, karya sastra harus tetap eksis,” tutur Parera.
Rangkaian acara penutupan ini digelar 28 Oktober-30 Oktober 2006. Festival dibuka tahun lalu, sementara rangkaian acara penutupan diawali dengan pementasan teater Aletheia Ledalero dan peluncuran serta bedah buku berjudul Tapak-tapak Tak Bermakna. Buku itu berisi kumpulan 10 cerpen dan 17 puisi pelajar SMU dan mahasiswa perguruan tinggi di Flores hasil lomba karya tulis dalam rangkaian Festival Ledalero 2005-2006. Buku itu dibedah oleh sosiolog Dr Ignas Kleden dan novelis Maria Matildis Banda. (SEM)
Franciscus Xaverius Seda (Lahir: Flores, Nusa Tenggara Timur, 4 Oktober 1926 adalah politikus, menteri, tokoh gereja, pengamat politik, dan pengusaha Indonesia.
Dalam pemerintahan, posisi yang pernah diembannya antara lain adalah Menteri Perkebunan dalam Kabinet Kerja IV (1963-1964), Menteri Keuangan (1966 – 1968) sewaktu awal Orde Baru, serta Menteri Perhubungan dan Pariwisata (1968-1973) dalam Kabinet Pembangunan I.