Kepala Staf TNI-AU (1977-1983)
Ashadi Tjahjadi
[ENSIKLOPEDI] Mantan Kepala Staf TNI Angkatan Udara (1977-1983) Marsekal (Purn) Ashadi Tjahjadi meninggal dunia dalam usia 80 tahun, di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, Selasa 18 Maret 2008. Mantan Duta Besar Indonesia untuk Jerman Barat kelahiran Gombong, Jawa Tengah, 5 Mei 1928, itu meninggal setelah terkena serangan stroke.
Selasa 18/3 sekitar pukul 11.00 terkena serangan stroke. Kemudian sempat dirawat di RSCM setelah menjalani pemeriksaan intensif. Namun, sekitar pukul 16.50, Ashadi terkena serangan stroke yang kedua dan tidak tertolong.
Jenazahnya disemayamkan di kediamannya, Jalan Taman Kimia Nomor 7, Menteng, Jakarta Pusat. Dimakamkan Rabu 19 Maret 2008 pukul 10.00 di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Upacara pemakaman akan dipimpin langsung oleh Kepala Staf TNI AU Marsekal Subandrio. Dia meninggalkan seorang istri, Dumilah Tjahjadi, tiga anak, dan enam cucu.
Setelah menjabat KSAU (1977-1983), Ashadi dipercaya menjadi Duta Besar Indonesia untuk Jerman Barat (1983-1986). Hingga akhir hidupnya, Ashadi, masih aktif dalam berbagai kegiatan dengan sesama purnawirawan TNI AU. Dia juga aktif di gerakan Barisan Nasional (Barnas).
Ashadi selama karirnya juga pernah menduduki sejumlah posisi strategis. Menjabat Komandan Lanud Hussein Sastranegara (1964), Dirjen Perhubungan Udara (1966), dan Pangkowilu V Jakarta (1970). Sampai menjabat Kepala Staf TNI Angkatan Udara (1977-1983). Saat menjadi KSAU, Ashadi berjasa mengadakan sejumlah pesawat, baik angkut maupun tempur, untuk memperkuat persenjataan TNI AU.
Kemudian menjabat Dubes Indonesia untuk Jerman Barat (1983-1986), dan menjadi penasihat Menneg Ristek/Ketua BPPT (1986). Selain itu, Ashadi juga pernah menjadi penasihat pabrik mesin pesawat buatan Inggris, Rolls Royce, dan juga tercantum sebagai anggota South East Asia Rolls Royce Advisory Group.
Saat menjabat KASAU, mantan test pilot lulusan India Test Pilot Course (1959) ini berhasil mempersembahkan banyak pesawat bagi korps TNI-AU. Padahal, saat itu Indonesia tengah mengalami masa-masa sulit.
Menurut catatan Angkasa No.5 Februari 2002 Tahun XII, Ashadi berhasil mendatangkan puluhan Hercules dari versi C-130H/HS/130MP, 15 F-5E Tiger II, 20 jet latih Hawk Mk-53, sejumlah jet L-29, satu skadron pengintai Boeing B737-2×9, lebih dari 32 A-4 Skyhawk, 40 pesawat latih AS-202 Bravo, 14 unit heli AS-330 Puma, dan beberapa radar EWS/GCI Thomson.
Namun menurut Ashadi, kurang tepat jika disebut dia mendatangkan pesawat-pesawat itu di tengah masa sulit. Keberhasilan itu sebenarnya datang pada paruh kedua dari masa jabatannya. Pada paruh pertama, atau tiga tahun pertama, ia benar-benar menjalani masa sulit. Material dan peralatan amat minim, duit pun nggak punya. AURI tak bisa mengikuti perkembangan teknologi.
Pada paruh kedua itu, tutur Ashadi, setidaknya ada dua “kebetulan” yang saya manfaatkan. Pertama, pada 1978-79 harga minyak tiba-tiba melambung dari 6 dollar/barrel ke 30 dollar/barrel. “Di mata saya Indonesia tiba-tiba kaya,” ujarnya.
Kedua, beberapa saat menjadi KSAU, dia tiba-tiba bisa dekat kembali dengan seorang jenderal yang pernah dekat dengannya. Yakni Jenderal M. Jusuf, pejabat baru Menteri Perindustrian. Semasa Ashadi masih penerbang Skadron 3 untuk P-51 Mustang, mereka pernah saling mendukung dalam Operasi Penumpasan Gerombolan Kahar Muzakar di Ujung Pandang. Kala itu, M Jusuf menjabat pangdam di wilayah itu.
Dia patut disebut sebagai perwira yang menjunjung tinggi angkatannya. Pensiun pada 1983 bukan berarti ikatan batinnya juga pupus. Selama karir, Ashadi dianugerahi hampir 40 tanda kehormatan. ti/bantu hotsan