Kontributor Politik Nasional
Harry Tjan Silalahi
[ENSIKLOPEDI] Wakil Ketua Dewan Direktur dan Anggota Dewan Kehormatan sebuah lembaga pengkajian bernama CSIS (Center For Strategic & International Studies) ini dikenal luas sebagai peneliti senior bidang politik, budaya dan pertahanan. Sejak awal tahun 50-an, ia mulai aktif memberikan kontribusi dalam dunia politik nasional dan banyak menulis di berbagai surat kabar dan buku.
Lahir 11 Februari 1934 di Kampung Terban, Yogyakarta, kehidupan masa kecil Harry Tjan Tjoen Hok, anak kedua dari sepuluh bersaudara, serba sulit. Ayahnya buta huruf, ibunya penjual makanan kecil dan gudeg. Kedua orangtua itu mengharapkan Harry menjadi orang berpendidikan. Bahasa ibu yang pertama kali dia kenal bukanlah Mandarin, melainkan Jawa ngoko. Bahasa Indonesia dikenalnya di sekolah menengah lewat judul bacaan Empat Sekawan.
Awalnya Harry Tjan bercita-cita menjadi dokter. Selepas SMP St Yusuf di Dagen, Yogyakarta, dia masuk jurusan A (ilmu pasti) di SMA de Britto. Selain gemar berorganisasi, di sekolah ia menyenangi pelajaran sejarah, kesenian, dan ilmu kemasyarakatan. Karena sibuk berorganisasi, hal yang menjadi kegemarannya selain berpidato, dia tidak naik kelas. Dia harus pindah jurusan, ke jurusan C (ilmu sosial.
Ketika di SMA di kota kelahirannya, Harry anggota organisasi peranakan Cina, Chung Lien Hui. Di masa kepemimpinannya, organisasi ini beralih nama menjadi Persatuan Pelajar Sekolah Menengah Indonesia (PPSMI). Ia juga aktif di Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia (IPPI
Setelah tamat SMA, Harry pindah ke Jakarta dan kuliah di Fakultas Hukum dan Ilmu Kemasyarakatan Universitas Indonesia, hingga lulus tahun 1961. Pilihan ke fakultas hukum pun, katanya, dipengaruhi oleh pernyataan Muhammad Yamin di tahun 1946, yang menolak diadili Pemerintah Indonesia karena Republik Indonesia masih memakai hukum Belanda.
Semasa kuliah di Jakarta, ia menjadi aktivis, sekaligus menjadi guru sekolah dasar dan kepala sekolah menengah pertama (SMP). Ia juga aktif di perkumpulan Sin Ming Hui, dan Perkumpulan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI).
Giat di bidang sandiwara, ia pernah main dalam Taufan arahan Teguh Karya, malah pernah menyutradarai Mawar Hutan. Selepas fakultas hukum, ia bekerja beberapa tahun di sebuah perusahaan minyak asing di Pekanbaru. Ia kemudian terpilih sebagai Ketua PMKRI. Pada tahun 1964-1971, ia duduk sebagai Sekretaris Jenderal Partai Katolik yang diketuai Frans Seda. Dalam posisi sekjen itulah Harry menjadi anggota DPR-GR/MPRS sampai tahun 1971.
Namanya mulai terkenal setelah aktif memimpin pengganyangan G-30-S/PKI, dan menjadi Sekjen Front Pancasila. Giat dalam gerakan pembauran, aktivitasnya di Partai Katolik mengantarkan ia ke kedudukan sebagai ketua, hingga peleburan ke dalam Partai Demokrasi Indonesia (PDI).
Pada saat itulah ia memperoleh marga Silalahi lewat persahabatannya dengan Abe, alias Albertus Bolas Silalahi, yang juga pernah memimpin Partai Katolik. Harry sebagai sekjen pengurus pusat, dan Abe ketua di Tapanuli Utara.
Waktu itu, AB Silalahi mempunyai saudara yang merantau ke Pulau Jawa dan tidak pernah kembali. Harry “ditemukan” AB Silalahi sebagai pengganti saudaranya yang hilang itu, yang dianggap telah kembali dan diberi marga silalahi berikut segala hak karena gelar itu. Ia dianggap keluarga penuh yang mempunyai orangtua, kakak, adik, keponakan, juga sawah dan ladang. Kedua anak Harry juga diberi nama dengan marga silalahi.
Usai pemilu 1971, Harry tidak lagi giat di dunia kepartaian. Ia memilih kegiatan di CSIS dan Yayasan Pendidikan Trisakti. Di yayasan ini ia mengetuai bidang kemasyarakatan.
CSIS menurut Harry, berkeinginan menjadi think tank berbagai persoalan bangsa. Ia menyangkal mentah-mentah bila CSIS dikesankan berhubungan langsung dengan Golkar apalagi menjadi dapurnya Golkar. Menurutnya, sejak awal CSIS tidak pernah jadi think tank untuk satu partai apa pun.
Harry juga menolak pernyataan pamor CSIS menyurut. Yang dia akui, CSIS semakin inklusif. Ini pun sebuah hasil perjuangan yang dirajut bertahun-tahun. Sejak awal berdiri, CSIS tak dikembangkan sebagai lembaga eksklusif. Selain sejumlah nama orang Katolik dan Cina, ada juga Daoed Joesoef, Barlianta Harahap, dan lain-lain, apalagi sekarang.
Hari-hari ini CSIS, sebagai lembaga pengkajian, tetap dikunjungi banyak orang. Diskusi, seminar, ataupun acara bedah buku tetap dihadiri banyak orang. Perpustakaan dengan lebih dari 50.000 eksemplar buku setiap hari dikunjungi 100-150 orang. Dengan sekitar 130 karyawan, 50 di antaranya analis dan sepertiga dari mereka adalah doktor lulusan luar negeri, CSIS tetap diperhitungkan. Harry mengatakan bahwa mereka dilatih untuk bekerja tanpa pamrih dan tidak menjadi penjual gagasan atau orang ke pemerintahan.
Di usianya yang ke-70 bulan Februari 2003 ini, ia ia mengaku bahagia karena bisa menimba banyak ilmu kehidupan dari orang-orang dekatnya. Tidak hanya dari kedua orangtuanya, mantri pembantu dokter mata terkenal Yap Hong Tjoen (Yap senior), dari refleksi keagamaan yang dianut dan pergaulan banyak orang, tetapi terutama juga dari rekan-rekan di Centre Strategic for International Studies (CSIS). Ia mengakui bahwa CSIS telah membuat dirinya terus-menerus muda.
Bukan hanya itu, wayang pun memperkaya dan membentuk sosok Harry Tjan Silalahi. Di kamar kerjanya, tokoh Sukrosono, adik Sumantri dalam lakon Sumantri-Sukrosono, ditempatkan dalam pigura besar. Baginya tokoh Sukrosono memberikan teladan kesetiaan yang patut ditiru. Menonton wayang juga membuatnya terkenang sebagai anak Tionghoa di tahun 40-an bertelanjang kaki bersama teman-teman sekampung nglurug nonton wayang ke mana-mana.
Sehari-hari ia bersama mereka cebar-cebur di Kali Code, yang mengalir deras di samping rumahnya. Tak ada perasaan sebagai “anak Cina”. “Lingkungan saya adalah anak Jawa kampung,” katanya.
Menikah dengan Theresia Marina Gani (almarhumah), dosen sastra Inggris FS UI, Harry dianugerahi dua anak, Herman dan Harin. Pada tahun 1996, ia menikahi Theresa Catharina Jing Liong dari Selandia Baru. Mengomentari pernikahan keduanya, Harry bilang “Love in the afternoon,” cinta senja hari.
Hingga kini, penggemar olah raga renang ini masih melakukan lari pagi, atau bersepeda. Ia juga masih tetap senang membaca, ia pengagum Dr. Cipto Mangunkusumo, Ki Hajar Dewantoro, Bung Karno, Bung Hatta, juga Soeharto. e-ti | atur
***TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)