Pejuang Tanpa Pengkotakan Politik
Saparinah Sadli03 | Yang Terpenting Tetap Sehat

Ada dua acara yang diadakan teman-teman Prof Dr Saparinah Sadli, atau Bu Sap teman-temannya biasa menyapa, untuk memperingati ulang tahunnya yang ke-80. Tepat pada hari ulang tahun Bu Sap, 24 Agustus, diserahkan Penghargaan Saparinah Sadli kepada Aleta Ba’un dari Timor Barat dan Mutmainah Korona dari Palu.
“Penghargaan diberikan kepada pemimpin dari generasi baru yang memiliki ciri seperti Bu Sap, antara lain terbuka dan memimpin dengan tidak memaksa tetapi dapat menggerakkan semua pihak untuk bersatu. Bu Sap adalah jembatan antara generasi muda dan generasi tua,” kata Carla Bianpoen, salah satu penggagas penghargaan yang dicetuskan tahun 2000 itu.
Acara kedua diadakan di Arsip Nasional, Jakarta, Selasa (28/8), oleh Program Studi Kajian Wanita, Program Pascasarjana Universitas Indonesia, yang didirikan Bu Sap dan di mana Bu Sap masih mengajar mahasiswa program S-2.
Pada acara itu diluncurkan dua buku, Menjadi Perempuan Sehat dan Produktif di Usia Lanjut, ditulis Bu Sap sendiri, dan Perempuan Pejuang Menitipkan Pesan, Bagaimana Mengisi Kemerdekaan. Buku yang terakhir disusun Tita Marlita dan Shelly Adelina dengan inspirasi dari Bu Sap. Empat perempuan mewakili perempuan pejuang dari bidangnya masing-masing, yaitu ahli hukum Kartini Muljadi, pengusaha Martha Tilaar, mantan anggota Komite Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk memantau pelaksanaan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) Sjamsiah Achmad, dan Menneg Pemberdayaan Wanita tahun 1988-1993 Sulasikin Murpratomo, membagi pengalaman dan visi mereka dalam acara itu. Prof Dr Dorodjatun Kuntjoro-Jakti menjadi moderator.
Bu Sap hanya dapat mengikuti pembukaan acara diskusi sebab harus bergegas kembali ke rumah sakit di Jakarta Pusat di mana suaminya, Prof Dr Ir Mohammad Sadli, MSc, tengah dirawat.
“Saya tidak bisa datang pada acara penghargaan karena tempat acara agak jauh dari rumah sakit. Kalau acara ini kan cukup dekat. Saya harus selalu ada di rumah sakit karena dokter sering ingin bertemu saya mengenai perkembangan kondisi Pak Sadli,” kata Bu Sap, yang tinggal di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
Mengenai buku Menjadi Perempuan Sehat, Bu Sap mengatakan, sebenarnya buku itu sudah lama ingin dia tulis. “Buku ini ditulis berdasarkan pengalaman ibu-ibu yang sudah berusia di atas 76 tahun. Sama sekali bukan hasil riset, tetapi dari pengalaman ibu-ibu tersebut yang saya tangkap,” kata Bu Sap.
Fenomena Baru
Pengalaman memasuki usia 80 tahun dan masih aktif secara fisik dan produktif juga dia lihat pada sejumlah perempuan lain. Selain jumlahnya semakin bertambah, hal ini juga merupakan hal baru untuk Indonesia. Dia mengagumi Ny Herawati Diah yang masih aktif, mandiri, dan produktif pada usia 90 tahun, seperti juga Bu Sap mengagumi Ny Martadinata.
“Jumlah perempuan dalam rentang usia 76 tahun hingga lebih dari 80 tahun yang masih sehat dan produktif adalah fenomena baru di sini. Tetapi, perhatian untuk kelompok ini masih rendah, saya juga tidak menemukan cukup referensi dari media massa,” kata Bu Sap.
“Untuk perempuan yang lebih muda usianya, apa pun bisa dilakukan asalkan menjaga fisik. Hal lain, seorang ibu yang saya wawancara mengatakan, juga harus punya uang. Tanpa punya uang tidak bisa melakukan hal-hal yang diinginkan,” kata Bu Sap. “Bagi saya, melalui usia 80 tahun, yang penting adalah sehat secara fisik.” (Maria Hartiningsih & Ninuk Mardiana Pambudy, Persona Kompas 2 September 2007) ti