Pejuang Tanpa Pengkotakan Politik

Saparinah Sadli
 
0
694
Saparinah Sadli
Saparinah Sadli | Tokoh.ID

[ENSIKLOPEDI] Prof Dr Saparinah Sadli yang akrab disapa Bu Sap, masih terlihat segar bugar. Dalam keseharian ia memang masih sangat sibuk bekerja, menggerakkan kaum muda, melobi pemerintah dan jajaran legislatif, demi melapangkan jalan bagi perjuangan keadilan dan perdamaian. Ketua Komisi Nasonal Anti Kekerasan terhadap Perempuan , ini dalam perjuangannya tidak mengotakkan diri pada isu-isu perempuan saja. Ia berjuang melalui segala lini agar perempuan duduk dalam posisi pengambil keputusan.

Hal inilah mungkin yang mendorong teman-temannya menyelenggarakan dua acara untuk memperingati ulang tahunnya yang ke-80. Tepat pada hari ulang tahun Bu Sap, 24 Agustus 2007. Acara pertama penyerahan Penghargaan Saparinah Sadli kepada Aleta Ba’un dari Timor Barat dan Mutmainah Korona dari Palu.

Penghargaan diberikan kepada pemimpin dari generasi baru yang memiliki ciri seperti Bu Sap, antara lain terbuka dan memimpin dengan tidak memaksa tetapi dapat menggerakkan semua pihak untuk bersatu.

Acara kedua diadakan di Arsip Nasional, Jakarta, Selasa (28/8/2007), oleh Program Studi Kajian Wanita, Program Pascasarjana Universitas Indonesia, yang didirikan Bu Sap dan di mana Bu Sap masih mengajar mahasiswa program S-2. Pada acara itu diluncurkan dua buku, Menjadi Perempuan Sehat dan Produktif di Usia Lanjut, ditulis Bu Sap sendiri, dan Perempuan Pejuang Menitipkan Pesan, Bagaimana Mengisi Kemerdekaan. Buku yang terakhir disusun Tita Marlita dan Shelly Adelina dengan inspirasi dari Bu Sap.

Empat perempuan mewakili perempuan pejuang dari bidangnya masing-masing, yaitu ahli hukum Kartini Muljadi, pengusaha Martha Tilaar, mantan anggota Komite Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk memantau pelaksanaan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) Sjamsiah Achmad, dan Menneg Pemberdayaan Wanita tahun 1988-1993 Sulasikin Murpratomo, membagi pengalaman dan visi mereka dalam acara itu. Prof Dr Dorodjatun Kuntjoro-Jakti menjadi moderator.

Pada Hari Ulang Tahunnya yang ke-75 pada 24 Agustus 2002, teman-temannya juga menyelenggarakan Seminar Setengah Hari di Eramus Huis, Kedubes Belanda, Jakarta. Seminar ini membahas topik: “Tanpa Pengkotakan Politik: Menempatkan Perempuan di Pusat Pengambilan Keputusan.” Pembicara utamanya, Dr Madhu Kishwar, seorang aktivis dan pemikir dari New Delhi, India.

Seminar ini mencoba memberikan wawasan bahwa aktivis perempuan sebaiknya tidak terkotak dan mengotakkan diri hanya pada isu perempuan, tetapi memasuki isu yang lebih luas yaitu masuk pada jajaran pengambil keputusan. Pengamatan umum memperlihatkan bahwa partai-partai politik sering memberikan janji-janji manis, tetapi ternyata memanfaatkan perempuan sekadar untuk memperoleh suara. Setelah pemungutan suara berlalu, partai memberikan peran kecil saja, atau menempatkan partisipasi perempuan dalam kotak tertentu, kotak yang dianggap pantas buat perempuan.

Bahkan pemikir politik yang aktif pun akan cenderung berpikir bahwa aktivis perempuan sebaiknya berkonsentrasi pada agenda yang terbatas berkait dengan isu-isu ha-hak perempuan. Seperti, masalah kontrasepsi dan aborsi, perceraian, hak milik, hukum-hukum pro perempuan dan strategi untuk melawan kekerasan. Sementara isu-isu lain dianggap menjadi lahannya lelaki.

Disayangkan bahwa banyak organisasi perempuan yang juga menerima pengkotakan ini. Sehingga hanya memusatkan perhatian pada agenda yang sempit. Memang isu-isu perempuan harus menjadi pusat perhatian. Tetapi hanya bersibuk diri dengan itu akan merugikan tujuan jangka panjang. Keterlibatan perempuan pada isu yang lebih luas menyebabkan kegagalan mencapai agenda terbatas yang telah ditetapkan.

Jadi, bila perempuan bersedia maju ke depan untuk berperang melawan tirani dan ketidakadilan, sekaligus bekerjasama dengan laki-laki mengembangkan politik damai dan aturan-aturan yang adil, perempuan akan menjadi pengambil keputusan kunci. Ia akan memobilisasi banyak perempuan lain untuk mengambil peran aktif dalam gerakan demokrasi.

Advertisement

Seperti yang telah diperankan oleh Saparinah Sadli selama ini. Ia telah maju ke depan memperjuangkan isu perempuan dalam kedudukannya sebagai anggota dan Wakil Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Kendati ia akhirnya memutuskan tidak melanjutkan keanggotaan karena masalah prinsip.

Kemudian ia menjadi tokoh kunci yang menggerakkan masyarakat menuntut negara menuntaskan penyelidikan mengenai kekerasan seksual yang terjadi dalam tragedi kerusuhan Mei 1998. Tuntutan ini berhasil mendorong presiden saat itu untuk mengeluarkan Keputusan Presiden mendirikan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan pada Oktober 1998. Saparinah dipercayakan memimpin komisi ini sebagai ketua yang pertama.

Saparinah lahir di Tegalsari, 24 Agustus 1927. Ia seorang keturunan ningrat Jawa. Ayahnya seorang bupati. Salah satu hal yang diingat tentang masa kecilnya adalah bahwa sebagai perempuan ia dilarang untuk mengerjakan banyak hal. Sementara saudara-saudara laki-lakinya mendapat kebebasan melakukan apapun. Ia tidak dapat menerima perlakuan tersebut begitu saja. Dan, pengalaman masa kecil itu tidak menyurutkan tampilan pribadinya. Melainkan justeru menguatkan keterbukaan, keberanian, keinginan untuk selalu menjadi corong suara perempuan pada khususnya dan kelompok yang kurang diuntungkan pada umumnya.

Ia seorang akademisi, motivator buat kaum muda, mediator di antara kelompok berbeda, sekligus pejuang HAM, bagi perempuan khususnya dan bagi seluruh umat manusia pada umumnya. Meski pernah mempelajari farmasi sebagai asisten apoteker, bidang ilmu yang kemudian didalaminya adalah psikologi. Ia meraih doktor dan profesor psikologi dari Universitas Indonesia.

Sebagai guru besar ilmu psikologi, ia mulai mendalami psikologi perempuan sejak tahun 1974 ketika keluar buku-buku psikologi perempuan. Saat itu ia menawarkan mata ajaran pilihan psikologi perempuan dan diizinkan oleh dekan waktu itu, Ibu Suwondo. Saparinah berkiprah sampai jabatan tertinggi di fakultas, yang menjadi almamaternya itu. Setelah itu, pada tahun 1990, ia bersama Prof Dr Tapi Omas Ihromi Simatupang mendirikan Program Studi Kajian Perempuan Universitas Indonesia. Lembaga pertama yang menyediakan pendidikan magister Kajian Perempuan (Women’s Studies) di Indonesia. Ia mengetuai lembaga ini selama 10 tahun. Selain itu, ia juga mengajar psikologi kriminal di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian.

Isteri Prof Dr Mohamad Sadli ini pada usia 75 tahun masih energik. Ia tiap hari ke kantor Komnas Perempuan. Di kantor itu, ia menaiki tangga tiga lantai. Ia juga masih aktif mengajar. Belum lagi mengikuti rapat dan seminar dibanyak tempat. Dandanannya selalu rapi dan serasi, bahkan dia membiarkan kukunya dihiasi cat yang dilukis bunga oleh ibu penjaja aksesori ketika mengikuti sebuah seminar di Bali. Belakangan, untuk menghindari kelelahan duduk berjam-jam di mobil akibat kemacetan lalu-lintas, dia membatasi diri harus sampai di rumah pukul 17.00.

Tentang pengalaman menjadi Ketua Komnas Perempuan, Saparinah menyebut keterlibatannya terjadi secara tidak sengaja. Menurut Saparinah, tragedi Mei 1998 adalah hal yang menyentuh hati. Ketika itu, banyak orang membuat pernyataan, tetapi tidak ada yang bertindak. Lalu, Saparinah sebagai bagian dari Masyarakat Antikekerasan terhadap Perempuan bersama teman-teman menuntut pemerintah meminta maaf terbuka atas tragedi Mei itu.

Kami ketika itu sedang di Program Studi Kajian Wanita Universitas Indonesia, menyusun surat yang awalnya ingin kami tujukan kepada Panglima ABRI Jenderal Wiranto (ketika itu). Tetapi, di televisi kami melihat Wiranto mengeluarkan pernyataan yang membantah telah terjadi pemerkosaan massal. Saya lalu bilang pada Smita (Notosusanto, aktivis perempuan) supaya surat tuntutan permintaan maaf itu ditarik dan ganti dikirimkan kepada Presiden Habibie,” tutur Saparinah.

Awalnya, Presiden Habibie menolak apa yang disampaikan Masyarakat Anti-Kekerasan terhadap Perempuan bahwa telah terjadi pemerkosaan massal. Akhirnya dalam perdebatan yang berlangsung dua setengah jam itu, Habibie setuju membuat pernyataan bahwa telah terjadi kekerasan terhadap perempuan setelah dia teringat salah satu kerabat perempuannya juga bertutur hal yang sama. Dua minggu kemudian Komnas Perempuan dibentuk, dan Saparinah didaulat oleh berbagai pihak untuk memimpin lembaga tersebut.

“Pembentukan Komnas Perempuan adalah momen yang sangat bersejarah karena untuk pertama kalinya negara mengakui bahwa terjadi kekerasan terhadap perempuan dan kekerasan tersebut merupakan pelanggaran terhadap HAM,” kata Ibu Sap, panggilan akrab Saparinah Sadli.

Ke depan, Saparinah melihat bahwa tantangan Komnas Perempuan semakin berat karena masalah yang makin beragam. Apalagi tentara bersikap bahwa tugas tentara adalah berperang. “Itu, kan, artinya tidak ada dialog. Dalam situasi seperti itu, perempuan selalu berada dalam posisi terjepit: Kehilangan suami, anak, rumah, harta benda, jadi korban kekerasan karena dia perempuan,” kata Saparinah.

Tantangan terberat adalah memberi pengertian kepada berbagai pihak dan masyarakat bahwa kekerasan terhadap perempuan adalah kriminal dan pelanggaran terhadap HAM.

Hal lain, Komnas Perempuan harus tampil sebagai komisi nasional, bukan lembaga swadaya masyarakat. Dalam praktiknya, Komnas Perempuan memang banyak bekerja bersama pemerintah meskipun bukan dalam arti membela tindakan pemerintah. Misalnya, mendorong supaya Ruang Pelayanan Khusus (RPK) di kantor-kantor polisi yang menangani kasus perempuan korban kekerasan menjadi bagian dari struktur Kepolisian RI. Di RPK ini korban dilayani polisi wanita yang telah dilatih peka terhadap suasana psikologis perempuan korban kekerasan.

Meskipun Saparinah sangat menikmati pekerjaannya, tetapi ia tengah menyiapkan pengganti di Komnas Perempuan. Saparinah optimistis akan ada pengganti yang mengerti tentang misi dan tujuan Komnas karena banyak perempuan bahkan di tingkat komunitas di daerah yang berani memperjuangkan hak-hak dan martabat perempuan agar sederajat dengan mitranya, kaum laki-laki. Menurutnya, Komnas perlu darah segar menghadapi tantangan yang makin beragam. Sementara, ia akan tetap membantu, tetapi tidak dalam jabatan struktural. ti/tsl, dari berbagai sumber

***TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini