Eagles Flies Alone
Riswandha Imawan
[DIREKTORI] Pengamat politik berlogo Eagles Flies Alone di kaki gunung Merapi dan Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Prof Dr Riswandha Imawan meninggal dunia dalam usia 51 tahun Jumat 4 Agustus 2006 pukul 13.45 di Rumah Sakit Panti Rini, Kalasan, Yogyakarta, akibat penyakit jantung. Pria kelahiran Bangkalan, Madura, 17 Januari 1955, itu juga menderita penyakit diabetes.
Pengamat politik yang cerdas, kritis dan vokal itu meninggalkan seorang istri, Herry Isminedy, dan tiga putra, yaitu Rafif Pamenang Imawan, Satria Aji Imawan, dan Arga Pribadi Imawan. Setelah jenazahnya disemayamkan di rumah duka, Jalan Tongkol Raya Nomor 5, Minomartani, Sleman, kemudian Sabtu 5/8 pukul 11.00, dibawa ke Balairung UGM untuk mendapatkan penghormatan terakhir dari sivitas akademika sebelum dikebumikan di Makam Keluarga Besar UGM.
Riswandha terkena serangan jantung saat hendak berangkat ke Kupang. Di terminal keberangkatan Bandara Adisutjipto, dia ditemukan lemas tak sadarkan diri sekitar pukul 11.30. Dia tengah menunggu pesawat yang akan membawanya ke Surabaya pada penerbangan pukul 12.30.
Menurut Rafif, putra pertama almarhum, sepekan sebelum meninggal ayahnya kurang sehat dan sering mengeluh sakit di bagian dada karena penyakit diabetesnya sempat kambuh. Tetapi beberapa hari terakhir sudah membaik.
Dia dikenal dekat dengan Sultan HB X dan Mbah Maridjan, juru kunci Gunung Merapi. Dia punya hobi naik gunung. Dia memang seorang intelektual berjiwa independen dan memiliki spirit besar. Selama ini Riswandha memakai logo eagles flies alone dan kaki Gunung Merapi, sebagai penutup hampir semua artikel-artikelnya yang dikirim ke media massa. Dia mengartikan logo Eagles flies alone sebagai sosok yang berani terbang sendiri dan tidak ikut arus bersama gerombolan burung lain.
Dia juga begitu akrab dengan Gunung Merapi. Kalau ada masalah, dia akan ke lereng Merapi karena selain tempatnya tenang, juga terasa lebih dekat dengan Tuhan.
Riswandha Imawan dikukuhkan sebagai guru besar ilmu politik Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Sabtu 4 September 2004. Dia menyampaikan pidato pengukuhan guru besar dengan judul Pergulatan Politik di Indonesia: Pergulatan Setengah Hati Mencari Identitas Diri.
Menurut doktor dalam bidang comparative politics dari Northern Illinois University, USA ini, hambatan terbesar bagi partai politik di Indonesia untuk segera menemukan jati dirinya disebabkan oleh dua hal. Pertama, partai-partai politik itu bingung dengan kodratnya. Kedua, kesalahan dalam mempersepsikan gerakan reformasi 1998.
Riswandha mengatakan, untuk memahami suatu partai politik, terlebih dahulu harus memahami momen sejarah yang melahirkan parpol tersebut. Dan di Indonesia, partai politik mempunyai sejarah dan harus menanggung beban yang unik.
Riswanda menguraikan jaman penjajahan, partai politik adalah sarana untuk melakukan perlawanan. Tapi setelah penjajah pergi, parpol di Indonesia tidak pernah mau mandiri. Meski sudah ada momentum, parpol tidak mau memanfaatkan momen itu untuk independen. Sehingga yang terjadi, parpol selalu berada di bawah dan diintervensi eksekutif. e-ti/tsl