Prof. Agus Pakpahan di Kuliah Umum Nasional 25 Tahun Al-Zaytun
Prof. Agus Pakpahan saat memberikan kuliah umum pada perayaan ulang tahun ke-25 Ma'had Al-Zaytun

Dalam kuliah umum pada perayaan ulang tahun ke-25 Al-Zaytun, Prof. Agus Pakpahan membahas tantangan dan strategi ketahanan pangan jangka panjang Indonesia. Dengan tema “Gagasan 1.000 Tahun Indonesia Raya ke Depan,” dia menekankan pentingnya penerapan teknologi seperti rekayasa genetika, memanfaatkan biokonversi dari alam, redistribusi pusat pangan ke luar Jawa, serta pengembangan ekonomi koperasi sebagai solusi win-win bagi petani. Prof. Agus Pakpahan juga mengajak bangsa untuk mulai berpikir jangka panjang dengan menjaga kesuburan tanah (topsoil), mendorong hilirisasi produk pertanian, dan mengatasi deindustrialisasi yang berpotensi mengancam masa depan ekonomi nasional.

Penulis: Mangatur L. Paniroy

Unduh: File PDF Presentasi Prof. Agus Pakpahan

Dalam rangka memperingati ulang tahun ke-25, Pesantren Al-Zayun menyelenggarakan Kuliah Umum Nasional selama tiga hari, dari tanggal 24 hingga 26 Agustus 2024. Acara ini berlangsung di Masjid Rahmatan Lil Alamin, dengan mengusung tema inspiratif: “Gagasan 1.000 Tahun Indonesia Raya ke Depan dengan Semangat Remontada from Within.”

Daftar Artikel Terkait Ulang Tahun Al-Zaytun ke-25

Pada hari kedua, Minggu, 25 Agustus 2024, Prof. Dr. Ir. Agus Pakpahan, Ph.D., mendapat kehormatan untuk menyampaikan kuliah umum. Selain Prof. Agus Pakpahan, acara kuliah umum nasional ini juga menghadirkan beberapa pembicara lainnya, yaitu Dr. Ir. Bagus Priyo Purwanto, M.Agr., Dr. Berly Martawardaya, SE, M.Sc., Prof. Dr. Ir. Djagal Wiseso Marseno, M.Agr., dan Prof. Dr. H. Suherli, M.Pd. Sedangkan Syaykh Al-Zaytun Panji Gumilang, seperti pada hari pertama, memberikan pengantar sebelum para pembicara menyampaikan materi masing-masing.

Prof. Dr. Ir. Agus Pakpahan, Ph.D., membawakan tema “Membangun Pangan dan Pertanian” pada hari kedua kuliah umum nasional. Tema ini sangat sesuai dengan visi dan misinya sebagai pakar agroekonomi dengan fokus pada pembangunan berkelanjutan, pengelolaan sumber daya alam, dan kebijakan pertanian.

Dalam kuliah umumnya, Prof. Agus Pakpahan menyampaikan berbagai tantangan dan solusi yang diperlukan agar Indonesia dapat mempertahankan ketahanan pangan dalam jangka panjang. Tidak hanya berfokus pada situasi saat ini, Prof. Agus Pakpahan juga memberikan proyeksi yang jauh ke depan, membayangkan bagaimana Indonesia bisa bertahan dan bahkan berkembang dalam 1.000 tahun ke depan, dengan cara ‘belajar’ dari alam dan memanfaatkan teknologi secara bijaksana.

Dengan menggunakan data, gambar, dan statistik, Rektor Universitas Koperasi Indonesia (Ikopin University) periode 2023-2027 ini memaparkan kuliah umum dengan antusias selama kurang lebih 46 menit.

Mengawali kuliah umumnya, Prof. Agus Pakpahan menyampaikan penghormatan kepada Syaykh Panji Gumilang, pimpinan Pesantren Al-Zaytun, serta seluruh hadirin yang hadir. “Yang kami hormati Syaykh Pesantren Al-Zaytun Panji Gumilang. Yang kami hormati para narasumber undangan dan hadirin sekalian yang kami muliakan. Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,” ujar Prof. Agus Pakpahan dalam sambutannya. Ia juga mengucapkan rasa syukur kepada Allah SWT karena telah diberikan kesempatan untuk hadir dan berbicara di acara tersebut.

Selain itu, Prof. Agus Pakpahan mengisahkan bagaimana ia akhirnya bisa hadir di acara ini setelah diundang oleh seorang sahabat lama, Dr. Amich Alhumami, Ph.D., yang kini bekerja di Bappenas. “Waktu saya diundang, saya tanya siapa kira-kira yang mereferensikan nama saya. Rupanya sahabat lama, Dr. Amich Alhumami, Ph.D. Kami dulu di Bappenas, sempat jadi Kepala Biro Kelautan di sana,” kenang Prof. Agus Pakpahan.

Advertisement

Prof. Agus Pakpahan kemudian memperkenalkan judul pemaparannya yang bertemakan “Membangun Pangan dan Pertanian dengan Berguru pada Alam”, seraya mengajak hadirin untuk berpikir dalam perspektif jangka panjang. Menurut Prof. Agus Pakpahan, alam adalah guru yang sangat cerdas yang bisa memberikan banyak pelajaran bagi manusia dalam menciptakan sistem yang berkelanjutan. “Alam inilah yang sangat cerdas. Dalam konteks itu, saya mengajukan pertanyaan, mengapa tidak ada satu pun bangsa tropika saat ini bisa jadi negara maju? Tidak ada,” kata Prof. Agus Pakpahan, membuka diskusi lebih mendalam.

Menurut Prof. Agus Pakpahan, ini adalah salah satu paradoks besar yang perlu dijawab oleh negara-negara di kawasan tropis, termasuk Indonesia. “Ini menarik. Dan mulai kapan kita tidak maju? Bisa ditayangkan, selain ada peta di sana, peta dunia, di mana bangsa tropika di tengah-tengah itu. Jadi sepanjang ini kurang lebih 200 negara tidak bisa menjadi negara maju,” ujarnya sambil menunjuk pada slide peta dunia yang menunjukkan letak negara-negara tropis.

Prof. Agus Pakpahan kemudian membandingkan situasi negara-negara tropis dengan Korea Selatan, yang dalam waktu hanya 30 hingga 35 tahun berhasil melompat dari status negara berkembang menjadi negara maju. “Padahal Korea Selatan hanya 30 tahun, 35 tahun, dia loncat jadi negara maju. Kenapa kira-kira?” tanya Prof. Agus Pakpahan kepada para hadirin.

Menurut Prof. Agus Pakpahan, salah satu faktor yang membedakan adalah kemampuan negara maju dalam mengambil budaya sebagai sumber daya. “Bapak Ibu sekalian, saya ada satu tema yang saya coba ajak di sini, yaitu bahwa kenapa kita belum bisa menjadi negara maju? Karena istilah saya adalah kita belum bisa mengambil budaya sebagai sumber daya,” tegasnya. Prof. Agus Pakpahan menjelaskan bahwa budaya bukan hanya soal warisan seni dan tradisi, tetapi juga mencakup bagaimana masyarakat menggunakan pengetahuan, nilai, dan pengalaman mereka untuk beradaptasi dengan lingkungan dan memajukan bangsa.

Sebagai contoh, Prof. Agus Pakpahan menyebut Candi Borobudur, sebuah warisan budaya yang menunjukkan kemampuan nenek moyang bangsa Indonesia dalam hal arsitektur dan teknologi. “Kalau saya ambil Borobudur, kita sudah lebih dari seribu tahun kita punya Borobudur. Artinya, 1200 tahun yang lalu nenek moyang kita bisa membuat sebuah artefak yang diakui dunia sebagai produk unggulan Indonesia,” jelasnya. Namun, Prof. Agus Pakpahan menyayangkan bahwa warisan budaya ini belum dimanfaatkan secara maksimal untuk pembangunan nasional yang berkelanjutan.

Salah satu tantangan terbesar yang dihadapi oleh negara-negara tropis adalah kondisi alam yang unik: panas, lembab, dan basah. Menurut Prof. Agus Pakpahan, kondisi ini sebenarnya dapat menjadi kekuatan jika dikelola dengan baik, tetapi saat ini justru menjadi penghambat kemajuan di banyak negara tropis, termasuk Indonesia. “Sifat Tropika adalah panas, lembab, basah. Ditambah Indonesia sebagai struktur kepulauan,” ujar Prof. Agus Pakpahan.

Prof. Agus Pakpahan Menanam Pohon di Al-Zaytun
Prof. Agus Pakpahan Menanam Pohon Jati Emas di Tep Jalan Remontada, Ma’had Al-Zaytun, Indramayu, Jawa Barat, 25 Agustus 2024

Prof. Agus Pakpahan mengungkapkan bahwa salah satu contoh dampak buruk dari kurangnya pengelolaan yang baik terhadap kondisi tropis adalah tragedi Leuwi Gajah di Jawa Barat, di mana ratusan orang terkubur hidup-hidup akibat longsoran sampah. “Bayangkan dengan panas, lembab, dan basah, di Jawa Barat pernah terjadi tragedi Leuwi Gajah yang menelan korban 143 orang lebih terkubur sampah. Kenapa demikian? Tadi itu budaya kita, kita belum bisa membuat budaya sebagai sumber daya,” ungkap Prof. Agus Pakpahan dengan penuh keprihatinan.

Dengan kata lain, Prof. Agus Pakpahan menyebut bahwa salah satu penyebab utama kejadian tersebut adalah kegagalan masyarakat dalam mengelola sampah organik secara bijaksana. “Bayangkan, satu Kabupaten Indramayu saja bisa menghasilkan pupuk organik yang cukup untuk memenuhi kebutuhan Kabupaten Indramayu, Cirebon, Majalengka, dan Sumedang, jika sampah organiknya dikelola dengan baik,” ujar Prof. Agus Pakpahan. “Kita belum bisa beradaptasi, menciptakan teknologi, dan macam-macam untuk memanfaatkan sifat panas, lembab, basah, keanekaragaman hayati, dan ketersediaan matahari setiap tahun,” tambahnya lagi.

Selain itu, tantangan tropis juga membawa dampak buruk pada kesehatan masyarakat. “Saya pikir, Bapak-Ibu sekalian, yang sifat panas, lembab, basah, itu jarang kita sadari sebagai penyebab terjadinya gudang penyakit. Tropika itu gudang penyakit. Karena sampah tidak kita tangani dengan baik, maka patogen menyebar ke mana-mana,” kata Prof. Agus Pakpahan.

Itulah sebabnya, salah satu masalah utama yang dihadapi masyarakat tropis adalah tingginya tingkat infeksi parasit, seperti cacing. “Inilah data kita. 95 juta orang tahun 2014 ini terkena infeksi cacing cambuk. 90 juta orang terkena infeksi cacing gelang, dan seterusnya. Inilah yang menyebabkan orang Tropika bukan males, tapi lemas,” kata Prof. Agus Pakpahan. Menurutnya, infeksi cacing yang meluas ini mengakibatkan masyarakat tropis mengalami gangguan kesehatan yang serius, termasuk malnutrisi dan penyerapan nutrisi yang buruk, yang pada akhirnya berdampak pada rendahnya produktivitas.

Prof. Agus Pakpahan juga menunjukkan bahwa masalah kesehatan ini berdampak pada pertumbuhan fisik masyarakat. Pada tahun 2014, penduduk Indonesia, baik laki-laki maupun wanita, terpendek di ASEAN,” ungkapnya.

Pentingnya Konservasi Topsoil

Hal lain yang ditekankan oleh Prof. Agus Pakpahan dalam kuliah umumnya adalah pentingnya konservasi topsoil atau lapisan tanah subur yang sangat bernilai. Menurutnya, topsoil adalah emas yang tersembunyi di bawah tanah. “Topsoil itu lebih berharga daripada emas yang ada di dalam tanah,” tegasnya. Tanah subur ini terbentuk selama ribuan tahun, dan sangat penting bagi keberlanjutan pertanian.

Namun, Prof. Agus Pakpahan menyayangkan bahwa masyarakat seringkali mengabaikan topsoil ini. Aktivitas pertanian yang tidak berkelanjutan, serta eksploitasi lahan secara berlebihan, sering kali menyebabkan topsoil hilang atau rusak. Akibatnya, tanah menjadi kurang subur dan produktivitas pertanian menurun. Prof. Agus Pakpahan mengajak semua pihak untuk lebih sadar akan pentingnya menjaga topsoil, karena ini adalah salah satu kunci utama untuk menjaga ketahanan pangan Indonesia dalam jangka panjang.

Prof. Agus Pakpahan juga memberikan contoh dari sejarah, di mana banyak peradaban besar runtuh karena gagal menjaga ekosistem tanahnya. Sebagai contoh, peradaban di Mesopotamia dan beberapa kota kuno lainnya di Syria yang hancur karena pengelolaan tanah yang buruk. Topsoil yang rusak tidak bisa diperbaiki dalam waktu singkat, dan hal ini berdampak langsung pada keberlanjutan pertanian. Oleh karena itu, Prof. Agus Pakpahan menekankan bahwa menjaga topsoil adalah investasi jangka panjang yang harus dilakukan oleh seluruh elemen masyarakat.

Kemajuan Pertanian di Negara Maju

Prof. Agus Pakpahan menjelaskan bagaimana negara-negara maju, terutama di kawasan beriklim sedang, telah berhasil mengembangkan teknologi pertanian yang canggih untuk mengatasi tantangan lingkungan mereka. Salah satu contoh yang Prof. Agus Pakpahan sampaikan adalah Badai Debu Dust Bowl yang terjadi di Amerika Serikat pada tahun 1930-an, di mana jutaan hektar lahan pertanian hancur akibat erosi tanah yang parah. Badai debu ini menyebabkan kerugian besar bagi perekonomian Amerika pada saat itu, namun mereka berhasil bangkit dengan memperkenalkan teknologi konservasi tanah dan berbagai inovasi pertanian lainnya.

“Sekitar 10 tahun, seluruh topsoil, seluas kurang lebih pulau Jawa, hilang,” ungkap Prof. Agus Pakpahan saat menjelaskan dampak dari badai debu tersebut. Menurut Prof. Agus Pakpahan, dari bencana tersebut, Amerika Serikat belajar pentingnya menjaga kesuburan tanah dan mulai mengembangkan teknologi pertanian yang lebih canggih, termasuk rekayasa genetik untuk meningkatkan produktivitas pertanian. “Jadi apa pelajaran kita dari pertanian di Amerika Serikat yang pernah mengalami Dust Bowl tadi, Badai Debu tadi, yang menghancurkan semua macam-macam di sana, kerusakan, tetapi kemudian melahirkan fenomena baru, yaitu konservasi di sana,” tambah Prof. Agus Pakpahan.

Prof. Agus Pakpahan membandingkan perkembangan pertanian di Amerika dengan situasi di Indonesia, di mana para petani masih terjebak dalam skala pertanian kecil yang tidak produktif.

“Di negara maju, petani hanya 2 persen dari populasi, tetapi mereka adalah yang terkaya,” kata Prof. Agus Pakpahan sembari menjelaskan bahwa di negara-negara seperti Amerika Serikat, pemerintah memberikan subsidi yang besar kepada petani, sehingga mereka dapat meningkatkan produktivitas dan kesejahteraan. Selain itu, negara-negara maju juga memiliki sistem yang memungkinkan petani untuk mengakses teknologi modern, seperti rekayasa genetika, yang memungkinkan mereka meningkatkan hasil panen. “Negara-negara maju itu dicirikan oleh petaninya yang lebih kaya dari rata-rata yang lainnya. Ini yang harus kita perjuangkan, saya pikir, kalau seribu tahun ini akan datang, Indonesia masih exist. Tanpa pertanian yang kuat, tanpa pertanian yang sustainable, tidak akan maju itu,” tegasnya.

Sistem Agribisnis Indonesia yang Kurang Menguntungkan Petani

Meski Indonesia merupakan negara agraris, Prof. Agus Pakpahan menyoroti bahwa sistem agribisnis di Indonesia saat ini tidak memberikan keuntungan optimal kepada para petani. Menurutnya, sebagian besar keuntungan dalam rantai nilai agribisnis jatuh ke tangan para perantara dan pelaku ekonomi lainnya, sementara petani tetap berada di posisi yang lemah. Akibatnya, meskipun harga pangan terus meningkat, petani tidak merasakan keuntungan yang sebanding.

“Siapa yang beruntung dalam sistem agribisnis Indonesia? Yang diuntungkan adalah para pelaku ekonomi antara petani dan konsumen,” tegas Prof. Agus Pakpahan sembari menyebutkan bahwa bank, tengkulak, dan pihak perantara lainnya mendapatkan sebagian besar keuntungan dari rantai pasok pertanian, sementara petani hanya menerima sebagian kecil dari nilai total produk yang mereka hasilkan.

Prof. Agus Pakpahan juga menyoroti bahwa meskipun harga produk pertanian di pasar global cenderung turun, harga pangan di Indonesia justru terus meningkat. Hal ini menunjukkan adanya ketidakseimbangan dalam sistem agribisnis di Indonesia, di mana konsumen harus membayar harga yang lebih tinggi, sementara petani tidak mendapatkan keuntungan yang layak. Prof. Agus Pakpahan mengajak semua pihak untuk mencari solusi yang lebih adil bagi petani, sehingga mereka bisa mendapatkan hasil yang lebih baik dari kerja keras mereka.

Tingginya Pangsa Pengeluaran Pangan di Indonesia

Prof. Agus Pakpahan juga menyampaikan data yang menunjukkan bahwa pangsa pengeluaran pangan di Indonesia sangat tinggi. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), sekitar 49,21 persen dari pengeluaran rumah tangga di Indonesia digunakan untuk membeli pangan. “Pangsa pengeluaran pangan di negara maju kurang dari 10 persen, kita masih 50 persen,” ungkap Prof. Agus Pakpahan, menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia masih sangat bergantung pada pengeluaran untuk makanan, yang mencerminkan tingkat kemiskinan yang tinggi.

Prof. Agus Pakpahan menjelaskan bahwa di negara-negara maju, pengeluaran untuk pangan sangat kecil, karena masyarakat memiliki pendapatan yang lebih tinggi dan harga pangan relatif terjangkau. Sebaliknya, di Indonesia, sebagian besar pendapatan masyarakat habis hanya untuk memenuhi kebutuhan pangan, sehingga menyisakan sedikit untuk pengeluaran lainnya, seperti pendidikan, kesehatan, dan rekreasi.

Tingginya pengeluaran untuk pangan ini juga berdampak pada kualitas hidup masyarakat, terutama di pedesaan, di mana pangsa pengeluaran pangan bahkan lebih tinggi, mencapai 55,68 persen. Prof. Agus Pakpahan menekankan bahwa salah satu cara untuk mengurangi pengeluaran pangan adalah dengan meningkatkan produktivitas pertanian dan memperkuat ketahanan pangan nasional.

Ketergantungan pada Jawa sebagai Pusat Pangan

Prof. Agus Pakpahan juga membahas paradoks besar dalam distribusi penduduk dan sumber pangan di Indonesia. Meskipun pulau Jawa hanya menyumbang sekitar 7 persen dari luas total wilayah Indonesia, pulau ini tetap menjadi penyuplai utama pangan nasional, bahkan lebih dari 50 persen kebutuhan pangan Indonesia dipenuhi dari Jawa.

“Sejarah menunjukkan 79 tahun Indonesia, katakanlah peran Jawa tidak berubah sebagai supplier pangan. Ini paradoks. Jawa itu padat penduduknya, tetapi sumber pangan nasional lebih dari 50 persen penduduknya di Jawa,” jelas Prof. Agus Pakpahan. Menurutnya, distribusi penduduk dan sumber daya pangan yang tidak seimbang ini menjadi salah satu tantangan utama yang harus dihadapi Indonesia dalam jangka panjang.

Prof. Agus Pakpahan menekankan bahwa fenomena ini harus segera diatasi melalui redistribusi penduduk yang lebih merata dan pembangunan pertanian yang lebih tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Jawa yang semakin padat penduduknya, menurutnya, tidak akan mampu terus menjadi sumber pangan utama dalam jangka panjang. Prof. Agus Pakpahan menyarankan agar redistribusi penduduk dan pusat-pusat produksi pangan diarahkan ke pulau-pulau lain seperti Sumatera, Kalimantan, dan Papua yang masih memiliki banyak lahan pertanian potensial yang belum tergarap optimal.

Lebih lanjut, Prof. Agus Pakpahan menekankan pentingnya merencanakan ketahanan pangan dalam jangka panjang, terutama dalam menghadapi proyeksi peningkatan populasi di masa depan. “Kalau kita proyeksikan seribu tahun seperti yang Syaykh Panji Gumilang katakan tadi, bagaimana kita memberi makan?” tanya Prof. Agus Pakpahan kepada hadirin.

Deindustrialisasi yang Mengancam Masa Depan Ekonomi Indonesia

Salah satu topik krusial lainnya yang dibahas oleh Prof. Agus Pakpahan adalah fenomena deindustrialisasi yang saat ini tengah terjadi di Indonesia. Prof. Agus Pakpahan menunjukkan data yang memperlihatkan bahwa kontribusi sektor industri terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia terus mengalami penurunan. Pada tahun 2010, sektor industri menyumbang sekitar 22 persen terhadap PDB, namun pada tahun 2023, kontribusinya turun menjadi hanya 19 persen. “Ini pertanda-pertanda bahaya masa depan,” ungkapnya dengan tegas.

Deindustrialisasi ini, menurut Prof. Agus Pakpahan, berdampak langsung pada sektor pertanian dan ketahanan pangan. Ketika industri tidak berkembang, sektor pertanian menjadi terbebani karena tidak ada transformasi ekonomi yang signifikan. Sebaliknya, di negara-negara maju, industri yang berkembang justru memperkuat sektor pertanian karena adanya integrasi antara produksi pertanian dan industri pengolahan. Prof. Agus Pakpahan mengingatkan bahwa pembangunan industri sangat penting untuk memperkuat sektor pertanian, karena pertanian yang maju akan mendorong pertumbuhan industri, dan sebaliknya.

“Semua negara maju memiliki industri yang kuat, dan pertanian yang maju. Di Indonesia, kita masih menghadapi masalah industrialisasi yang tidak berjalan dengan baik,” jelasnya. Kondisi ini menyebabkan sektor pertanian tidak berkembang dengan optimal karena tidak ada sinergi yang kuat antara pertanian dan industri pengolahan hasil pertanian. Oleh karena itu, Prof. Agus Pakpahan mengajak semua pihak untuk bekerja sama dalam memperkuat industri sebagai salah satu langkah strategis untuk meningkatkan ketahanan pangan dan memperbaiki ekonomi secara keseluruhan.

Siklus Alam Sebagai Guru: Belajar dari Decomposer

Salah satu solusi yang diusulkan oleh Prof. Agus untuk mengatasi masalah limbah dan memperkuat ketahanan pangan adalah dengan belajar dari siklus alam. Menurut Prof. Agus Pakpahan, alam memiliki siklus alami yang sangat sempurna, di mana semua unsur saling terhubung dan berfungsi dalam harmoni. Prof. Agus Pakpahan menjelaskan bahwa decomposer, seperti mikroorganisme, jamur, cacing, dan serangga, memainkan peran penting dalam mengurai materi organik menjadi unsur hara yang kemudian dapat digunakan oleh tanaman. “Siklus, mulai dari siklus air, siklus karbon, siklus fosfor, nitrogen, siklus kalium, dan lain-lain. Semua siklus. Dan simpul dari siklus itu adalah decomposer,” jelas Prof. Agus Pakpahan.

Prof. Agus Pakpahan di Kuliah Umum Nasional 25 Tahun Al-Zaytun
Prof. Agus Pakpahan menekankan pentingnya penerapan teknologi seperti rekayasa genetika, memanfaatkan biokonversi dari alam, redistribusi pusat pangan ke luar Jawa, serta pengembangan ekonomi koperasi sebagai solusi win-win bagi petani.

Sebagai contoh, Prof. Agus Pakpahan memperkenalkan Black Soldier Fly (BSF), sejenis lalat yang tidak membawa penyakit dan mampu mengolah sampah organik dengan sangat efisien (biokonversi), sehingga tidak hanya mengurangi volume sampah, tetapi juga menghasilkan produk yang bernilai tinggi seperti protein untuk pakan ternak, pupuk organik, dan bahan baku industri. “Black soldier fly menjawab pertanyaan, apakah ada lalat yang sehat? Jawabannya ada. Black soldier fly tidak mengandung penyakit, bukan faktor penyakit sudah terbukti. Saya memelihara ini sejak 2012 sampai sekarang,” kata Prof. Agus Pakpahan. Dia menambahkan bahwa larva BSF dapat digunakan untuk menghasilkan protein tropis yang sangat bergizi, yang dapat menjadi sumber protein alternatif yang berkelanjutan. Prof. Agus Pakpahan juga menyebutkan bahwa satu ton sampah organik basah bisa diubah menjadi 80 kg telur ayam jika diproses menggunakan teknologi BSF, sehingga potensi besar teknologi ini dapat diimplementasikan untuk menciptakan pertanian sirkular yang berkelanjutan.

Prof. Agus Pakpahan juga mengajak masyarakat untuk mengubah cara pandang terhadap sampah organik. “Sampah itu bukan masalah, tetapi berkah jika dikelola dengan baik,” ujarnya. Melalui penerapan teknologi biokonversi ini, Indonesia dapat menghasilkan protein dalam jumlah besar tanpa harus bergantung pada impor. Prof. Agus Pakpahan menyebutkan bahwa Indonesia, sebagai negara tropis, memiliki kekayaan keanekaragaman hayati yang bisa dimanfaatkan secara optimal untuk menciptakan sistem pertanian yang lebih ramah lingkungan dan produktif.

Membangun Ekonomi Koperatif untuk Kemakmuran Bersama

Sebagai Rektor Ikopin University (Universitas Koperasi Indonesia), Prof. Agus Pakpahan juga menyoroti pentingnya pendekatan ekonomi koperatif dalam meningkatkan kesejahteraan petani dan masyarakat secara keseluruhan. Menurut Prof. Agus Pakpahan, koperasi adalah satu-satunya bentuk organisasi ekonomi yang dapat menciptakan win-win solution bagi semua pihak. “Win-win solution itu hanya ada dalam satu kotak,” ujar Prof. Agus Pakpahan sembari menjelaskan bahwa dalam ekonomi koperatif, semua pihak memiliki kepentingan yang sama dan bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama.

Prof. Agus Pakpahan menjelaskan bahwa tidak ada negara maju tanpa koperasi yang kuat. “Data menunjukkan, koperasi pertanian di Amerika Serikat terbesar, namanya CHS. Pendapatannya melebihi Bank Rakyat Indonesia, melebihi BNI, melebihi semua PLN, kecuali kalah dengan Pertamina. Oleh karena itu, saya selalu berkampanye, mari kita tiru apa yang terjadi di negara maju, bahwa win-win itu hanya bisa dibangun lewat koperatif,” ungkap Prof. Agus Pakpahan menunjukkan bagaimana koperasi bisa menjadi kekuatan ekonomi yang sangat signifikan.

Menurut Prof. Agus Pakpahan, salah satu contoh sukses dari ekonomi koperatif adalah Badan Usaha Milik Petani (BUMP), yang dapat menjadi solusi untuk mengintegrasikan sektor hulu dan hilir dalam pertanian. Dengan membangun pembangkit listrik dari sekam padi dan memproduksi minyak bekatul, koperasi bisa menjadi aktor utama dalam ekonomi pertanian yang lebih efisien dan berkelanjutan. “Setiap 10.000 hektare lahan bisa menghasilkan 8 megawatt listrik dari sekam padi,” katanya. Dengan begitu, koperasi tidak hanya memperkuat sektor pertanian, tetapi juga menciptakan sumber energi yang ramah lingkungan dan terbarukan.

Selain memanfaatkan sekam padi, Prof. Agus Pakpahan mengingatkan bahwa minyak bekatul, yang sering diabaikan, sebenarnya memiliki manfaat kesehatan yang sangat besar. “Saya sendiri mengonsumsi bekatul setiap hari setelah mengalami stroke, dan saya merasakan manfaatnya,” ungkapnya, menyoroti bahwa bekatul kaya akan protein dan bioaktif yang sangat baik untuk kesehatan. Dengan memanfaatkan hasil-hasil pertanian secara penuh, petani bisa mendapatkan nilai tambah yang lebih besar, sekaligus meningkatkan kesejahteraan mereka.

Prof. Agus Pakpahan juga memberikan contoh dari Thailand, di mana pabrik gula tidak diizinkan memiliki kebun tebu, sementara semua kebun tebu dimiliki oleh petani melalui koperasi. “Hasilnya, Thailand menjadi salah satu pengekspor gula terbesar di dunia. Belajar dari kita itu sebetulnya, asalnya. Ya, dipraktekkan di Thailand,” kata Prof. Agus Pakpahan.

Di akhir kuliahnya, Prof. Agus Pakpahan mengajak seluruh elemen masyarakat, pemerintah, dan dunia usaha untuk bekerja sama dalam membangun sistem pangan dan pertanian yang berkelanjutan. Menurut Prof. Agus Pakpahan, masa depan Indonesia bergantung pada kemampuan kita untuk belajar dari alam, memanfaatkan teknologi dengan bijaksana, dan menciptakan sistem ekonomi yang adil dan berkelanjutan.

Prof. Agus Pakpahan juga mengajak Pesantren Al-Zaytun bekerja sama dengan Ikopin University untuk membangun sistem yang lebih baik. “Seribu tahun ke depan, Indonesia akan lebih baik jika kita mulai membangun kesejahteraan bersama sekarang, melalui koperasi dan sistem pertanian yang kuat,” tutup Prof. Agus Pakpahan, dengan harapan besar bahwa gagasan-gagasan yang ia sampaikan bisa menjadi inspirasi bagi masa depan bangsa. (atur/TokohIndonesia.com)

Tim Reportase TokohIndonesia.com: Mangatur L. Paniroy (Koordinator), Yenita Tangdialla, Rigson Herianto, Rukmana, Wiratno

***

Profil Singkat Prof. Dr. Ir. Agus Pakpahan, Ph.D.

Prof. Dr. Ir. Agus Pakpahan, Ph.D. memiliki latar belakang karier yang kuat di sektor pemerintahan sebelum diangkat sebagai Rektor Universitas Koperasi Indonesia (Ikopin University) pada tahun 2023. Prof. Agus Pakpahan pernah menjabat sebagai Direktur Jenderal Perkebunan di Kementerian Pertanian, serta menduduki posisi penting lainnya di pemerintahan, seperti Deputi Menteri Bidang Agroindustri, Kehutanan, Industri Kertas, dan Percetakan di Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Selain itu, Prof. Agus Pakpahan juga pernah menjadi Kepala Biro di Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), di mana dia terlibat dalam penyusunan kebijakan-kebijakan strategis untuk sektor pertanian dan perkebunan Indonesia​.

Selain kiprah di pemerintahan, Prof. Agus Pakpahan memiliki pengalaman sebagai Komisaris di berbagai perusahaan BUMN seperti BRI, PTPN VII, VIII, XIII, dan XIV. Hal ini menunjukkan kapabilitasnya dalam manajemen perusahaan besar yang berperan penting dalam perekonomian nasional.

Setelah berkarier panjang di sektor pemerintahan, Prof. Agus Pakpahan mengalihkan fokusnya pada bidang pendidikan dengan mengemban tanggung jawab sebagai Rektor Ikopin University. Dalam peran ini, Prof. Agus Pakpahan membawa visinya untuk memodernisasi pendidikan koperasi di Indonesia. Salah satu konsep utama yang dikembangkannya adalah integrasi antara teori dan praktik, dengan prinsip “kuliah adalah bekerja, bekerja adalah kuliah”, di mana mahasiswa terlibat langsung dalam praktik koperasi selama masa studi mereka.

Prof. Agus Pakpahan juga berkomitmen untuk memperkuat peran koperasi sebagai unit ekonomi pedesaan, melalui kerja sama antara universitas, dunia usaha, dan pemerintah daerah. Salah satu program unggulan adalah kolaborasi dengan pemerintah Kabupaten Sumedang untuk mendidik mahasiswa dari setiap desa, guna memperkuat perekonomian lokal berbasis koperasi.

Dengan pengalaman luas sebagai birokrat, akademisi, dan manajer perusahaan, Prof. Agus Pakpahan membawa visi inovatif untuk menjadikan Ikopin University sebagai institusi yang unggul di bidang pendidikan koperasi, serta berdaya saing tinggi di tingkat nasional dan internasional.


Video Tiktok (VT) @tokoh.id

Berikut daftar Video Tiktok (VT) di akun @tokoh.id seputar Perayaan Ulang Tahun Al-Zaytun ke-25:

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini