Kisah ‘Penyelamat’ Tiga Jenderal Besar
Tien Setianingsih
[DIREKTORI] Hampir seluruh tanda pangkat TNI dan Polri dipasok oleh Tien Setianingsih. Ia pula yang mendesain atribut bagi tiga jenderal besar dan Presiden Megawati. Seandainya waktu itu tidak ada Tien Setianingsih, bisa jadi Soeharto dan A.H. Nasution (almarhum) tak jadi mengenakan atribut kebesaran mereka sebagai jenderal besar. Ketika atribut kebesaran yang dipesan buat tiga jenderal besar–satunya lagi Jenderal Soedirman–gagal dibuat, untung ada Tien. Dalam sehari, segala atribut kebesaran berbahan emas itu berhasil tercipta.
“Saya bangga bisa dipercaya oleh Mabes ABRI. Sebab, tidak ada satu pun orang yang bisa membuat atribut untuk tiga jenderal besar,” ujarnya mengenang.
Ceritanya, waktu itu, tahun 1995, akan dilangsungkan upacara Hari Ulang Tahun ABRI (kini TNI). Nah, dalam rangka menyambut HUT ABRI yang ke-50, Mabes ABRI menyiapkan atribut untuk tiga jenderal besar itu. Karena untuk jenderal berbintang lima, tentu yang disiapkan bukan atribut biasa. Khusus untuk tiga jenderal itu, Mabes ABRI memesan khusus dengan bahan emas.
Saat tender digelar, ada sebuah perusahaan yang mengaku sanggup membuat atribut kepangkatan militer dari emas. Singkat cerita, perusahaan itu memenangi tender. Celakanya, saat mendekati hari pelaksanaan peringatan HUT ABRI, tepatnya tanggal 2 Oktober, atribut hasil kerja perusahaan itu tidak memuaskan. Pihak pemesan menilai atribut yang dibuat itu kurang simetris. Ternyata hal itu karena pembuatan cetakan emasnya ditangani oleh tukang emas biasa yang tidak memiliki sertifikat. Tentu saja pihak ABRI kelabakan.
Merasa tak puas dengan hasil yang didapat, mereka pun beralih ke PT Kuantan Utama, sang rekanan lama, pada tanggal 2 Oktober malam. Meski waktu yang diberikan sangat sempit, Tien (pemilik Kuantan) menyanggupi. Tak pelak, keesokan harinya, ia dan para anak buahnya bekerja ekstrakeras dan supercepat sejak pagi hingga malam hari.
Tien tak mau mengambil risiko. Ia menggunakan bahan-bahan pilihan untuk membuat atribut pesanan tiga jenderal besar itu. Dipilihlah logam mulia 22 karat yang bersertifikat perusahaan logam negara. Demikian pula dengan pencetakan atribut-atribut itu, Tien berusaha memberikan yang terbaik. Ia pun menggunakan sistem komputerisasi untuk mencetaknya.
Akhirnya, atribut ketiga jenderal besar itu diselesaikan dengan hasil yang sangat memuaskan dan tepat pada waktunya. Tepat satu hari menjelang atribut-atribut itu harus dikenakan oleh tiga jenderal besar, ia menyerahkan barang itu kepada Mabes ABRI. Dan pada 5 Oktober 1995, melalui pesawat televisi, segenap rakyat Indonesia menyaksikan Jenderal Soeharto dan Jenderal A.H. Nasution dengan gagahnya memimpin HUT setengah abad ABRI.
Ternyata, bukan hanya tiga jenderal besar itu saja yang atribut kebesarannya “lahir” dari tangan Tien. Atribut kebesaran yang dikenakan Megawati saat peringatan hari jadi TNI ke-57, Oktober lalu, juga digarap oleh wanita peraih penghargaan Asean Development Golden Award 2002 itu.
Memang, Tien pantas memperoleh kepercayaan itu. Wanita berusia 68 tahun itu cukup kenyang makan asam garam bisnis yang satu ini. Sejak tahun 1960, ibu dua orang anak ini merintis usaha pembuatan tanda pangkat yang lazim dikenakan oleh aparat negara.
Sebenarnya, mulanya, tahun 1958, Tien menggeluti usaha sablon dan batik. Nama perusahaannya CV Wefza. Rupanya, waktu itu, Angkatan Laut Surabaya tertarik dengan hasil kerja Tien. Maka, satuan militer yang identik dengan warna putih itu pun memesan dibuatkan tanda pangkat Angkatan Laut Surabaya beserta pasukan komandonya.
Seiring dengan berkibarnya tanda-tanda pangkat yang dikenakan para pelaut itu, angin keberuntungan juga seolah terus bertiup ke peraih Top Eksekutif dan Pengusaha Indonesia tahun 2001-2002 itu. Setelah Angkatan Laut Surabaya merasa puas dengan atribut-atribut kepangkatan yang dibuatnya, mulailah untuk pertama kalinya order datang dari ABRI, yakni pemesanan pembuatan atribut dan pangkat.
Tentu saja omzet yang diperoleh Tien menjadi berlipat-lipat. Sejak saat itu, ia telah menjadi rekanan yang lebih sering diminta untuk membuat atribut dan pangkat oleh TNI dan Polri. Sebanyak 22 pangkat dalam TNI–dari terendah hingga tertinggi–diproduksi oleh Tien. Demikian juga dengan semua tanda pangkat di lingkungan Polri.
Rupanya, kiat yang digunakan Tien untuk membesarkan usahanya cukup sederhana. “Hanya dengan kesabaran, meningkatkan mutu, dan terus melakukan riset, saya dapat bertahan dalam usaha ini,” ujar wanita baya yang darah berbisnisnya mengalir dari orang tuanya yang menjadi pedagang batik di Solo.
Desainnya banyak dibajak
Kini, wanita yang telah ditinggal suaminya sejak 23 tahun lampau itu telah mempekerjakan 80 karyawan. Dengan kiatnya itu, dari tahun ke tahun, Tien selalu berusaha meningkatkan mutu produknya. “Awalnya, pembuatan atribut atau pangkat masih menggunakan sablon. Kini telah menggunakan bordir,” ujarnya saat ditemui di kantornya yang berlantai lima di Jalan Salemba Raya, Jakarta.
Sekitar tahun 1980, Tien mulai melakukan revolusi dengan memperbarui usahanya. Produksi atribut kepangkatan yang sebelumnya hanya menggunakan sablon mulai diubahnya dengan memakai bordir. Untuk itu, ia membeli peralatan produksi dari Jerman seharga DM 200. Hingga kini, pembuatan atribut dan pangkat banyak dikerjakan oleh mesin dan komputer. “Bisa dikatakan kamilah yang pertama kali merilis desain bordir dengan komputer,” tuturnya kepada TRUST.
Rupanya, terobosan yang dilakukan Tien itu adalah hasil kejeliannya mengintip usaha serupa yang dilakukan negara lain. Ia banyak melakukan kunjungan ke beberapa negara, seperti Amerika Serikat, negara-negara Benua Eropa, Asia, dan Australia. Di sana, Tien mengintip bagaimana lambang-lambang kesatuan dan atribut militer dibuat. Tak lupa, ia juga membeli lambang-lambang kesatuan, atribut, dan pangkat di masing-masing negara tersebut.
Oleh-oleh yang dibelinya dari mancanegara itu rupanya bermanfaat. Ia menggunakannya sebagai bahan riset desain. Dari beragam desain yang ditemukan, wanita kelahiran Solo itu kemudian membuat desain baru yang nantinya ditawarkan dan dipresentasikan kepada suatu kesatuan yang ada di Indonesia. Jika kesatuan itu setuju, biasanya mereka akan memesan atribut seperti topi, bet, name tag, dan–yang terbaru–kalung jati diri yang mempunyai ciri khas kalangan TNI dan Polri.
Memang, tidak selalu desain yang dihasilkannya langsung disetujui oleh TNI dan Polri. Seringkali korps baju hijau itu memintanya agar mengubah desainnya di sana sini. Tapi, bagi Tien, itu adalah suatu hal yang biasa. “Bahkan, kadang-kadang desain kami ditolak sama sekali,” ungkapnya.
Selain itu, guna meningkatkan kualitas hasil kerjanya, wanita yang mempunyai moto “ora et labora” ini juga banyak mengikuti pameran, baik di dalam maupun di luar negeri. Antara lain, pada 1981, Tien mengikuti pameran di Jerman tentang produk-produk ekspor. Pada tahun yang sama, ia juga mengikuti pameran di Singapura. Terakhir, bulan Agustus lalu, ia mengikuti pameran Hankam di Universitas Indonesia dan pameran kebudayaan bersama dengan stan polri. Memang, kadangkala, Tien diminta untuk mengisi salah satu stan TNI atau Polri agar terlihat lebih menarik dalam suatu pameran.
Satu-satunya persoalan yang disesalinya dalam bisnis ini adalah pesaingnya banyak yang menyontek mentah-mentah desainnya. Dan celakanya, perusahaan yang menyontek itu kemudian juga menawarkan barangnya kepada TNI atau Polri. Tapi, meski desainnya dibajak, Tien menanggapinya dengan sabar dan tidak mau mempersoalkan hal itu. “Masalah keuntungan, saya yakin bahwa Tuhan pasti akan bersikap adil kepada hambanya,” kata pengusaha yang tercatat paling lama menjadi pemasok atribut militer kepada TNI dan Polri itu. e-ti, sumber Majalah Trust, Ariyanto, Anasta Prasidhi
1