Komponis dan Pianis
Trisutji Djuliati Kamal
[DIREKTORI] Komponis dan pianis kenamaan kelahiran Jakarta, 28 November 1936, ini telah lebih 50 tahun berkarya dalam dunia seni musik. Trisutji Djuliati Kamal, lulusan Conservatorio de Musica St Caecilia, Roma, Italia, itu telah menulis sekitar 200 karya musikal. Di antaranya 130 komposisi untuk piano telah direkam dalam sepuluh compact disc (CD) berjudul “Complete Piano Works Series” (1951-2006), yang seluruh dimainkan pianis Ananda Sukarlan.
Dua dari CD itu diluncurkan 5 April 2006 di The Bimasena Club, Hotel Dharmawangsa, Jakarta. Album lainnya akan dirilis secara bertahap. Terakhir tahun 2007, ditandai dengan pementasan sendratari Gunung Agung yang akan melibatkan musisi Erwin Gutawa dan penata artistik Jay Subyakto.
Trisutji seperti tak kenal lelah dalam berkarya. Sepertinya makin tua semakin banyak ide, walaupun tenaganya makin berkurang. Namun,ia bertekad akan terus mencipta sampai tak bisa lagi. Ia ingin orang bisa menikmati musiknya.
Di antara 200 komposisi karya musikalnya adalah: Sungai, Kepergian, Opera Roro Jonggrang, 10 musik ilustrasi film, lebih 130 piano solo, 2 solo flute, 1 flute dengan piano, 3 solo biola alto, 1 biola alto dengan piano, 1 solo cello, 25 vokal dengan piano perkusi dan vokal Bali, 6 ensemble, 4 trio dan kuartet, 4 paduan suara a cappella, 3 paduan suara dengan simfoni orkestra, 5 karya simfoni, 1 piano konserto dengan orkestra, 1 piano konserto dengan bumbung Bali, harpa, viola dan cello, 5 musik sendratari.
Dia terpikir membuat dokumentasi auditif setelah Ananda Sukarlan dan teman-teman lain bertanya kenapa tidak membuat CD karya-karyanya agar lestari dan publik lebih mengenal dan menikmatinya. Seperti yang sudah dilakukan komponis Amir Pasaribu, Mochtar Embut, dan lain-lain.
Selama ini nasib 200 karyanya itu berantakan. Bahkan dia sendiri banyak yang lupa ditaruh di mana. Lalu, dia pun terpaksa kumpulin pelan-pelan untuk bisa direkam. Untunglah dia punya catatan yang disimpan sendiri. Namun catatan itu hanya dia yang bisa tahu. Ada yang berupa sketsa, hanya berupa ide satu atau dua bar. Bahkan dia sendiri mengaku kadang tidak ingat kalau pernah menulis karya itu.
Untunglah Ananda ‘memaksanya’ untuk menyelesaikan. Kalau tak dipaksa tidak akan selesai. Karyanya banyak yang tercecer. Contohnya, Nocturno yang saya buat tahun 2002. Premier-nya baru 5 April 2006 oleh Ananda.
Kadang ada juga komposisi yang dia tidak suka, lalu tersendat. Ada juga yang memang belum matang. Dia malas meneruskan, lalu bikin karya lain lain. Namun suatu hari ketemu lagi dan diterusin lagi.
Titi, panggilan akrabnya, mulai menekuni piano ketika baru berusia tujuh tahun. Ayahnya, RM Djulham Surjowidjojo, seorang dokter yang mahir main biola, yang memberi dorongan padanya. Kala itu ayahnya bekerja di Binjai, Sumatera Utara. Di sana Titi sempat dibimbing oleh guru-guru piano asal Jerman, Dora Krimke dan L Remmert.
Saat kembali ke Jakarta, 1955, Titi belajar pada Joan Giesen, seorang musisi dari Belanda. Ia juga sempat berguru pada musisi kenamaan Henk Badings. Kemudian, selama 12 tahun Titi hijrah ke Eropa, belajar pada Conservatorium Amsterdam, Ecole Normale de Musique, Paris. Kemudian, belajar di Conservatorio de Musica St Caecilia, Roma, Italia (1963).
Komposisi pertamanya, Sungai, lahir ketika umur 15 tahun. Kala itu, Trisutji suka memandangi Sungai Bingai di Binjai. Lalu, ia menggambarkan filosofi sungai. Mulai titik air, lalu terkumpul menjadi aliran yang mengalir melalui gunung, lembah, terus membesar dan sampai ke laut. Hal itu ia ibaratkan sebagai kehidupan manusia.
Kemudian, ia juga menulis Kepergian, yang sering dimainkan sebagai lagu wajib di YPM. Lagunya sederhana sekali. Idenya juga sederhana, yaitu kepergian kapal yang meninggalkan pelabuhan pelan-palan dan menjauh.
Tahun 1956, ia menulis Opera Roro Jonggrang. Kala itu, gurunya orang Rusia, mendorong untuk mencipta itu. Sang Guru memberi ide: Di Indonesia banyak legenda menarik, kenapa kamu tak bikin.
Pada waktu menulis opera itu, ia sedang belajar dodecaphone, serial musik dari Arnold Schoenberg. Dia temukan sistem not 12 nada. Tapi ia tidak menulis opera itu dengan sistem seri. Hanya ada pengaruhnya saja. Jadi pengaruh Opera Roro Jonggrang itu campuran. Dodecaphone, pentatonik dan opera lirik. Dalam proses menulis itu, ia temukan gaya sendiri. Opera itu dipentaskan di Castel St Angelo, tenornya Adi Santosa, orang Indonesia, seorang diplomat yang hobi nyanyi. Penyanyi soprannya orang Filipina, yang tak bisa bahasa Indonesia.
Dalam komposisi Ramadhan, Trisutji memainkan dengan cara memetik dawai piano. Ia memukul dawai, untuk mengejar efek mistik, religius. “Saya pingin kasih sentuhan atau efek damai. Ada ekspresi yang tak terwakili jika itu saya mainkan dengan tuts,” katanya seperti ditulis Kompas, 16 April 2006.
Selain itu, Trisutji juga pernah membuat lagu gereja Jubilate Deo. Kala itu tugas sekolah. Gurunya organis di gereja Episcopal Church di Turino. Gurunya bilang, “Coba bikin lagu untuk gereja.” Itu termasuk tugas, tapi akhirnya sering dimainkan di gereja. Awalnya, ia merasa susah juga karena lagu rohani yang ia kenal adalah model Jerman. Namun karena ia pernah sekolah di Methodist English School di Medan, di mana mereka tiap hari kami bernyanyi. Jadinya, ia bisa me-rewind sedikit ingatan lama dan bisalah akhirnya bikin lagu. Namanya Jubilate Deo. Setelah itu berhasil, ia pun kemudian mendapat tugas membuat opera.
Darah seniman turun dari ayahnya, Dokter Djulham Surjowidjojo, yang adalah pemain biola dan pelukis. Trisutji anak pertama dari dua bersaudara. Adiknya, Tripudjo Djuliarso, mendalami instrumen biola tapi kemudian menjadi pengusaha.
Trisutji tumbuh di lingkungan keluarga Jawa di lingkungan kultural Melayu di Binjai, Sumatera Utara. Eyangnya dari pihak ibu, berteman akrab dengan Sultan Langkat. Sang ayah dari keluarga besar Arumbinang dari Purworejo (Jawa Tengah). Ibu dari ayah Trisutji masih keturunan Mangkunegaran, Solo. Sedangkan sang ibu, BRA Nedima Kusmarkiah, adalah cucu dari Sinuwun Paku Buwono X, Solo. Sang ibu adalah anak dari Pangeran Hadiwidjojo.
Kendati keluarganya tinggal i tengah lingkungan Melayu, namun kultur Jawa tetap hidup dalam keluarga itu atas didikan Sang Ibu. Sang Ibu menghidupkan tradisi Jawa, bahkan seperti kerajaan mini di dalam kerajaan. Trisutji diharuskan pakai kain. Kalau hari minggu atau hari libur, ia harus pakai kain kebaya. Ke Eropa saja ia masih pakai kain. Waktu anak-anak, ibunya mengajari mereka berbahasa Jawa dan menulis dengan huruf Jawa. Setiap hari Sabtu, mereka diharuskan menulis surat dalam bahasa Jawa kepada Eyang di Solo.
Ia dan adiknya juga diajari tembang dolanan. Mereka pun main Cublak-cublak Suweng dengan anak-anak pembantu yang dibawa dari Jawa.
Sementara interaksi dengan budaya Melayu juga berlangsung pada saat bersamaan. Hampir setiap hari mereka ke Istana Langkat. Ibunya dianggap seperti anak sendiri oleh Sultan Langkat. Hampir Setiap hari mereka breakfast dengan keluarga Sultan. Maka ia pun sering dengar Serampang Duabelas dan musik Melayu. Kalau ada tamu, mereka pakai musik Melayu yang dimainkan dengan biola dan akordeon.
Titi menikah dengan arsitek Ir A Badawi Kamal, anggota keluarga Kamal, pemilik Kamal Furniture, Jakarta, yang memberinya tiga anak: Mahendra (47), Mahendrani atau Rani (45), dan Paramagita atau Gita (44). Dua di antaranya ada yang mengikuti jejak ibunya di bidang musik, yaitu Rani dan Gita. e-ti