Pamong Entrepreneur Cinta Rakyat
Rustam Effendi
[DIREKTORI] Dia pamongpraja yang inovatif dan selalu giat bekerja keras layaknya seorang entrepreneur atau wirausahawan sejati. Maka, dia digelari pamong entrepreneur yang berorientasi pelayanan dan kepentingan rakyat. Di setiap pos pengabdian yang dipercayakan kepadanya, selalu saja meninggalkan jejak yang patut diteladani dan dikenang.
Jika dianalogikan dalam jenjang militer, dia seorang kolonel yang mampu berpikir dan berkarya selayaknya seorang jenderal. Namun tetap dalam kerangka tanggung jawab dan kesetiaan kepada atasannya. Dia pun mengakhiri tugas sebagai Kepala Dinas Perhubungan Pemprov DKI Jakarta setelah meletakkan landasan Pola Transportasi Makro Jakarta, yang bermakna revolusi transportasi.
Rustam Effendi Sidabutar, sejak awal masa pengabdiannya tak memilah-milih pekerjaan atau jabatan. Jabatan apa pun yang diberikan atasan di instansi tempatnya bekerja, lulusan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, ini selalu menekuni dengan sepenuh hati bekerja keras dan inovatif. Pangkat atau jabatan rendah pun tak membuatnya untuk kehilangan gairah dan kreativitas melakukan sesuatu yang baru dan berguna bagi masyarakat dan pemerintah (instansi tempatnya bekerja).
Bahkan, pria kelahiran Medan 8 Juli 1949, ini selalu mampu melakukan sesuatu melebihi panggilan kewajiban tugas rutin yang sepadan dengan pang-kat dan jabatan yang dipercayakan padanya tanpa pretensi melangkahi batas wewenang atau atasannya. Semuanya dilakukan dalam kerangka tugas dan tanggung jawab yang diberikan atasannya.
Jika dianalogikan dalam jenjang militer, dia ibarat seorang prajurit yang mampu berpikir, bertindak dan berkarya selayaknya perwira. Atau, ibarat seorang kolonel yang mampu berpikir, bertindak dan berkarya selayaknya seorang jenderal. Namun tetap dalam kerangka tanggung jawab dan kesetiaan kepada atasannya.
Jejak dan orientasi bekerja melebihi panggilan tugas itu dilakukannya sejak bekerja sebagai staf Kelurahan Jelambar Jakarta Barat, Wakil Camat Kebayoran Baru Jakarta Selatan, Camat Setiabudi, Asisten Tatapraja Kotamadya Jakarta Selatan, Sekretaris Kota (Seko) Jakarta Selatan dan Kepala Dinas Perhubungan Pemda DKI.
Gebrakannya ketika menjabat Camat Setiabudi (1988-1993), melahirkan istilah kawasan Segitiga Emas Jakarta. Dia yang memelopori harga pembebasan tanah rakyat di Jakarta menjadi lebih layak. Dia juga pelopor one door service di Jakarta Pusat. Kisah paling anyar dan spektakuler dan pasti tak akan terlupakan warga Jakarta adalah keberaniannya memulai revolusi transportasi di Ibukota, yang ditandai dengan pengoperasian TransJakarta Busway.
Revolusi atau reformasi total transportasi itu lahir atas gagasan, arahan dan pimpinan Gubernur Sutiyoso, agar dia yang ketika baru diangkat sebagai Kepala Dinas Perhubungan Pemda DKI, segera menciptakan suatu pola transportasi yang bersifat makro di Jakarta.
Arahan bernada bimbingan dan tantangan dari gubernur, itu membuat kreativitas dan jiwa entrepreneur-nya terpantik bangkit. Dalam kapasitasnya sebagai Kepala Dinas Perhubungan Pemda DKI Jakarta, buah kreativitasnya muncul selayaknya seorang Menteri Perhubungan yang mengimplementasikan arahan Gubernur DKI Sutiyoso selayaknya seorang presiden. Maka lahirlah Pola Transportasi Makro DKI Jakarta (Jakarta Macro Transportation Scheme).
Tidak mudah melakukan suatu perubahan walaupun tujuannya baik dan berpihak kepada kepentingan masyarakat umum. Terbukti, Gubernur Sutiyoso sebagai inisiator dan pengendali serta Rustam Effendi sebagai programmer dan proyektor TransJakarta Busway, menjadi bulan-bulanan kritik dan kecaman pedas dari berbagai pihak. Mereka dicerca, dikecam dan dibenci serta dituduh macam-macam.
Walau kemudian, setelah TransJakarta Busway beroperasi enam bulan, mata hati publik dan berbagai pihak yang tadinya mengecam, menjadi celik melihat betapa spektakulernya TransJakarta Busway sebagai awal dari revolusi transportasi untuk menjadikan angkutan umum di ibukota negeri ini lebih nyaman, layak, dan manusiawi. Lebih lengkap, selanjutnya baca: Jejak: Pola Transportasi Makro.
Mulai dari Jelambar
Ia adalah seorang programmer dan pamong entrepreneur yang hasil kreasinya selalu merupakan lompatan-lompatan baru yang visioner jauh menatap masa depan melebihi imajinasi dan jangkauan pemikiran orang lain. Ia berkali-kali sudah berhasil membuktikan hal itu.
Rustam Effendi, menata karir sebagai pamong sejak tahun 1975 dari bawah. Bak kata pepatah Melayu lama: Berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian. Bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian. Pria bungsu ini, awalnya bertugas sebagai staf di Kelurahan Jelambar, Kecamatan Grogol Petamburan, Jakarta Barat.
Sebelumnya, dia yang sejak usia SMP sudah mengantongi surat ijin mengemudi (SIM), malah hanya ‘bercita-cita’ asal bisa bekerja sebagai sopir taksi gelap dulu, agar bisa kuliah. Ketika ia memulai pengabdian sebagai staf kelurahan, dia sudah menginjak bangku kuliah tingkat tiga Fakultas Hukum Jurusan Hukum Tata Negara, Universitas Indonesia (UI).
Setelah bekerja di kelurahan, dia kuliah di program extension FH-UI, agar bisa kerja pada pagi hari, dan selesai tahun 1979.
Sebagai anak Medan berwatak keras ditambah disiplin warisan ayahnya yang berdinas sebagai abdi masyarakat, Rustam sejak bekerja di Kelurahan Jelambar sudah ditugaskan operasional untuk menegakkan disiplin di tengah-tengah masyarakat. Ia di Jelambar sudah menunjukkan kemampuan alami sebagai pekerja keras yang tak bisa diam berpangku tangan melihat permasalahan warga.
Ia mengkreasi banyak hal. Kehadiran anak muda itu begitu terasa mendinamisir suasana kelurahan. Kantor menjadi ramai tidak seperti biasanya. Dari Jelambar, Rustam dipromosikan menjadi Kepala Seksi Kesejahteraan Rakyat (Kesra) Kecamatan Grogol Petamburan, tahun 1979. Masih di kecamatan sama, pada tahun 1981, Rustam dimutasi menjadi Kepala Seksi Pembangunan Desa.
Kemudian di tahun sama 1981, ia dipindahkan lagi menjadi Staf Biro Bina Pemerintahan DKI Jakarta. Kali ini, ia menempati kantor di lantai 10 Gedung Pemda DKI Jakarta, Jalan Kebon Sirih, Jakarta Pusat. Setahun kemudian, Rustam naik lagi menjadi Kepala Sub Bagian Pendapatan Provinsi DKI Jakarta.
Gebrakan Wakil Camat
Rustam akhirnya harus kembali turun ke bawah sebagai pamong yang langsung berada di tengah-tengah warga saat ditunjuk menjadi Wakil Camat Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
Sejak ditunjuk tahun 1983, sinar cahaya inovasi dan kreativitas Rustam semakin tampak benderang sebagai pamong dengan segenap keberanian dan ketegasan. Sampai-sampai Walikota Jakarta Barat, Sarimun, di suatu kesempatan pernah menyebutnya seorang pamong entrepreneur. Sebab Rustam menjalankan pengabdian kepamongan layaknya seorang pengusaha yang giat bekerja keras.
Sebagai seorang wakil camat yang pekerja keras, dia selalu siap melaksanakan penugasan camat pimpinannya. Salah satu penugasan yang diterima ketika itu adalah mengatur Kebayoran Baru khususnya Blok M dan terminal bis yang semrawut supaya menjadi rapih.
Ia lalu bergerak menggebrak dan membersihkan Blok M, yang dalam sekejap menjadi suatu kawasan yang tampak lebih bersih dan teratur. Lalu, ketika tiba giliran hendak menertibkan terminal bis Blok M, Rustam lebih dahulu mengimbau kepada LLAJ bahwa tidak sepantasnya di terminal bis Blok M banyak berdiri tempat pedagang kakilima.
Himbauan itu berbalas lain. Kepala Terminal menunjukkan sepucuk SK Gubernur, yang isinya antara lain, Dinas Perhubungan – ketika itu dijabat Budiardjo yang kemudian diangkat menjadi Wakil Gubernur– diberi wewenang mendirikan kios, loket dan sebagainya di setiap terminal yang dikelola Badan Pengelola (BP) Terminal.
Kios diterjemahkan oleh Kepala BP Terminal sebagai kakilima, berbeda jauh dengan idealisasi Rustam yang mengharapkan hadirnya counter-counter penjual koran, majalah, makanan, minuman dan sebagainya yang bersifat public service sebagaimana terdapat di Bandara Soekarno-Hatta.
Rustam tak bergeming dengan hadangan Kepala Terminal. Ia berpikir Walikota Muchtar Zakaria telah ikut memerintahkan bongkar. Maka sejak tengah malam hingga pagi-pagi buta, tepat pada pukul 00.00-05.00 WIB, ia sungguh-sungguh membongkar habis semua kakilima di terminal bis Blok M.
Oleh pimpinan LLAJ, nama Wakil Camat Rustam Effendi dilaporkan ke Gubernur. Ia lalu dipanggil menghadap untuk menjelaskan semuanya. Rustam sempat gentar. Namun, dia menguatkan diri karena merasa yakin tindakannya adalah benar.
Setelah dia memberi penjelasan di hadapan Gubernur dan Kepala Dinas LLAJ, ‘si pembangkang’ Rustam Effendi ternyata tidak dikenakan hukuman. Malah, wakil gubernur waktu itu, Chourmin, membenarkan dan mendukung wakil camat itu. “Apa kata Wakil Camat itu benar, tidak boleh sembarangan membuat kakilima,” kata Gubernur.
Maka, pendek cerita, di Blok M mulailah tercipta suatu keindahan. Ia mendapat applaus dari tokoh-tokoh masyarakat Kebayoran Baru.
Inovasi dan kerja keras yang dibarengi keberanian, ketegasan, dan konsistensi mengambil keputusan sangat dominan menyumbang keberhasilan demi keberhasilan pada setiap pelaksanaan tugas yang diembannya. Keberanian yang didasarkan oleh kebenaran yang hakiki, disertai kejujuran hati yang tulus untuk mengabdi kepada warga.
Camat Cinta Rakyat
Keberanian dan keberhasilan Rustam Effendi membuat kawasan Kebayoran Baru, Blok M, dan terminal bis Blok M menjadi tertata lebih rapih, teratur dan indah dari sebelumnya, selain mendapat sambutan dari tokoh-tokoh masyarakat Kebayoran Baru dan munculnya pembelaan dari Gubernur soal larangan mendirikan kakilima di terminal bis, rupanya juga mendapat penilaian tersendiri dari Muchtar Zakaria, Walikota Jakarta Selatan, ketika itu.
Lalu, Walikota mencalonkan Rustam menjadi camat di Kecamatan Setiabudi, Jakarta Selatan. Walau merupakan lompatan besar promosi jabatan, Rustam awalnya enggan menerima pos baru itu. Dia sempat terpengaruh anggapan beberapa rekannya lebih baik tak menjadi camat jika harus berhadapan dengan runyamnya kondisi Setiabudi sebagai slum area.
Kondisi sosial yang amat berat seperti pemukiman kumuh, rawan banjir, pedagang kaki lima bertaburan di mana-mana, termasuk Pasar Rumput tempat berdagang berbagai barang loakan. Di jalan Setiabudi Raya saja, depan kantor camat, mobil sudah tak lagi bisa berpapasan karena penuh kakilima. Bahkan di pinggiran terusan kali Ciliwung banyak terdapat “hotel perosotan” sebagai arena bisnis ‘esek-esek’.
Mungkin, karena kondisi berat itu pula, maka Walikota memilih menugaskan Rustam menjadi Camat Setiabudi tahun 1988. Rustam pun menyadari, ini sebuah kepercayaan dan tantangan yang harus dijawab dengan kreja keras. Tugas pertama yang dilakukannya, menyelesaikan persoalan sebuah bangunan di kawasan Kuningan Timur, yang sejak tahun 1972 tak pernah bisa tuntas terselesaikan kendati harga sudah dibayar lunas.
Rustam lebih dulu memahami permasalahan yang sesungguhnya. Ternyata banyak korban di setiap kasus pembebasan lahan di Kecamatan Setiabudi itu. Lalu, dia pun turun langsung ke bawah, bertemu dengan berbagai pihak terkait. Dengan bantuan Tuhan, kata Rustam, begitu dia pegang, persoalan bangunan Kuningan Timur itu bisa diselesaikan.
Tugas yang kedua, membebaskan lahan di kawasan kuping Kuningan, terletak antara Kali Malang-Rasuna Said untuk keperluan waduk Setiabudi. Ketika didatangi, rakyat merasa was-was, sebab lahan dihargai hanya Rp 60 ribu/meter. Benar saja, waktu dibebaskan dengan paksa rakyat menangis semua. Mereka menjerit, tak bisa berbuat apa-apa. Maklum, ketika itu, siapa pun tak bisa berkata tidak terhadap apa saja yang diprogramkan penguasa.
Setelah kedua tugas terselesaikan, Rustam kemudian menyempatkan diri merenung. Andai kejadian serupa menimpa diri atau keluarga dekatnya. Kemudian, dia segera mengamati peta Kecamatan Setiabudi. Tampak olehnya masih banyak lagi kawasan yang akan dibebaskan. Artinya, masih banyak rakyat yang akan menangis menjerit sebab terusir paksa dan dalam tempo singkat pasti menjadi jatuh miskin.
Ia lalu mengumpulkan tokoh-tokoh mayarakat, ustad dan kiai serta semua ketua RT/RW. Ia menemukakan perenungan dan tekadnya, akan membebaskan lahan demi kepentingan pembangunan yang lebih baik. Namun dia menegaskan tak lagi mau menyaksikan kepedihan warga yang tanahnya dibebaskan. Pembebasan haruslah berujung kepada kemakmuran warga.
Sesungguhnya, pada saat rakyat tak bisa berkata lain kepada pemerintah saat itu, dia tengah memproklamirkan reformasi penataan pemanfaatan tanah, land use. Sebagai camat, Rustam berujar, “Saya tidak mau lagi warga saya dibayar Rp 60 ribu permeter. Tapi, saya mau warga saya, rakyat saya, itu dibayar lima kali lipat dari harga Rp 60 ribu itu.”
Tekad Rustam disambut warga dengan senang hati. Lalu mengkristallah kesepakatan bersama untuk berdiri dalam satu kata dan satu bahasa. Warga siap lokasi lahannya ditata ulang, land use. Mereka percaya kepada Camat yang telah menyatakan tekadnya untuk memperhatikan nasib mereka.
Sebulan kemudian, pembebasan lahan di pinggiran waduk sudah dihargai Rp 250 ribu/meter. Rustam berkata lagi, “Saya kepingin warga saya itu punya rumah yang representatif, yang wajar, yang bagus. Jalannya bagus dan di lokasi itu ada mesjid, ada gereja, ada pasar, ada sekolah. Ya, itulah, saya pengen punya kayak gitu,” kata Rustam camat profetik yang ucapannya merupakan tanda-tanda kejadian masa depan. ti/ht-crs
***Tokoh Indonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)
02 | Segitiga Emas Jakarta
Keberhasilan Rustam membebaskan lahan di Kuningan Timur sampai juga ke telinga sejumlah developer. Cerita tentang lahan itu begitu dramatis sebab sejak tahun 1972 tak pernah bisa tersentuh. Malah, sebelumnya sewaktu di situ dilakukan penyuluhan, camatnya pernah disandera oleh masyarakat. ‘Penyanderaan’ baru bisa diakhiri setelah datang bantuan kepolisian.
Namun di tangan Rustam, setelah langsung turun, semuanya menjadi beres saja segera. Informasi ini cepat menyebar ke kalangan developer yang lama mengincar lahan Kuningan.
Berbagai kasus lubang-lubang lahan (lahan yang sudah dibeli dan dibayar oleh developer namun tak pernah bisa tuntas terselesaikan sebab ada saja warga yang bertahan bahkan muncul penggarap baru) di sekitar kawasan jalan Sudirman, Gatot Subroto dan Rasuna Said, segera saja muncul terangkat kembali ke permukaan. Para developer memohon kepadanya untuk menyelesaikan permasalahan lahan itu.
Setelah bukti-bukti dan segala kelengkapan diperiksa, Rustam mengundang pemilik dan penggarap untuk dipertemukan dengan pengusahanya. Keduanya akhirnya melakukan perdamaian, penggarap bisa pergi dengan damai pengusaha pun menguasai lahannya kembali.
Berita tentang keberhasilan penyelesaian dengan baik berbagai kasus tanah semakin cepat menyebar kemana-mana. Banyak bankir serta-merta menyatakan minat beraktivitas di sekitar kawasan Kuningan. Rustam mempersilakan setiap developer memilih sendiri lahan yang disukai untuk dibebaskan. Namun harus lebih dahulu dirundingkan dengan warga. Jangan main paksa.
Di sisi lain masyarakat sudah tersadarkan untuk tak mau lagi lahannya dibebaskan sembarang sebelum berkonsultasi dengan sesama warga. Pengusaha dipersilakan datang menemui warga berbicara langsung. Bila perlu sebagai camat, Rustam siap memfasilitasi atau menjembatani, sekaligus menjadi saksi.
Sejak itu, sebutan ‘Segitiga Emas Jakarta’ kemudian mencuat ke permukaan. Rustam sendiri tak pernah bisa melepaskan diri dari lekatnya citra sebagai penggagas istilah Kawasan Segitiga Emas Jakarta. Sebab konsep itu sudah melekat erat di ubun-ubunnya.
Istilah Segitiga Emas Jakarta itu efektif melambungkan harga lahan di sekitar Jalan Sudirman-Gatot Subroto-Rasuna Said untuk memakmurkan warga yang dalam tempo sekejap usai menjual tanahnya berubah menjadi kaya raya.
Sebagai misal, dari 10 RW yang ada di Kelurahan Guntur tinggal tersisa satu RW. Maklum, harga lahan pada masa puncaknya bisa mencapai rata-rata Rp 4 juta/meter dari sebelumnya hanya dihargai Rp 60 ribu/meter.
Rustam sebagai camat yang sekaligus bisa bertindak sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), memperoleh keuntungan berganda lain.
Jalan-jalan yang mestinya dibangun oleh pemerintah dengan harus membebaskan tanah warga, tak lagi menyisakan penderitaan korban. Tugas itu telah diambil alih oleh pengusaha dengan membangun jalan di lahannya sendiri, lalu diserahkan menjadi milik pemerintah.
Ketika Rustam Effendi hendak mengakhiri tugas sebagai camat tahun 1993, banyak warga dan alim ulama kawasan Setiabudi keberatan. Mereka tak setuju camatnya dipindahkan.
Sebagai camat yang berkali-kali menerima penghargaan dari pemerintah yang didasarkan atas penilaian tugas camat, termasuk penghargaan sebagai camat terbaik pengelola dan pengumpul dana zakat infaq dan shadaqah (ZIS) se-Propinsi DKI Jakarta, Rustam memang sangat mencintai dan dicintai warganya.
Harun Al-Rasyid, Walikota Jakarta Selatan, ketika itu, menengahi dengan menyebutkan, “Jika warga Setiabudi sayang sama Rustam Effendi maka janganlah kepindahannya dihalang-halangi.
Sebab dengan kepindahan itu jabatannya justru hendak dinaikkan menjadi Asisten Tatapraja Kotamadya Jakarta Selatan.” Warga akhirnya rela dan lega menghantarkan sang camat mengabdi ke tempat baru.
Raih Adipura
Cukup lama Rustam Effendi menjabat Asisten Tatapraja Jakarta Selatan, sejak tahun 1993 hingga 1999. Namun tugas dan hasil kerja kerasnya tak kurang mulia di sini. Ia diperintahkan oleh Walikota Parjoko untuk bekerja keras dan kreatif membantunya membenahi Jakarta Selatan sampai bisa meraih penghargaan Adipura.
Salah satu langkah terpenting yang ia lakukan, membenahi kesemrawutan Pasar Minggu. Kawasan selatan Jakarta ini selama lima walikota sebelumnya seolah tak pernah bisa terjamah.
Di tangan Rustam, kesemrawutan sirna seketika. Pasar Minggu menjadi tampak lebih cantik dan teratur. Terminal hingga pasar semua serba hijau. Hal yang sama dilakukannya di kawasan Kebayoran Lama. Jakarta Selatan pun meraih penghargaan tertinggi Adipura untuk pertama kalinya.
Sayangnya kedua prestasi emas itu hanya bisa bertahan selama Rustam masih berkesempatan mengawasinya. Padahal dia tak bisa berlama-lama di situ. Sebab sejak tahun 1999, ia pindah ke Kotamadya Jakarta Pusat menjabat sebagai Sekretaris Kota (Seko.
Pelayanan Satu Pintu
Rustam sendiri tetap melaju dengan sikap patriotik dan kerja kerasnya. Ide-ide baru seolah tak pernah kering dari otak pria penikmat hobi olahraga tenis dan golf ini. Di Jakarta Pusat, ia membuat untuk pertamakali sebuah sistem pelayanan baru bernama one door service, atau pelayanan satu pintu. Ia memanfaatkan ruangan lama Korpri kantor Kotamadya Jakarta Pusat, yang kosong begitu pengurusnya pindah ke Jalan Jati Baru, Tanah Abang, Jakarta Pusat.
Di ruangan yang lebih dahulu direnovasi, dia menyebar banyak komputer dan menempatkan petugas pelayanan.
Warga cukup datang ke satu counter itu untuk mengurus berbagai keperluan. Apakah urusan pemakaman, pertanahan, kependudukan, PBB, Dispenda, pertamanan dan sebagainya. Semua ada di situ.
Dengan one door service, masyarakat yang datang pertama-tama memencet komputer memanggil menu tentang apa keperluannya.
Terus, apa yang perlu diurus, apa syarat-syarat, berapa biaya dan sebagainya tertera di situ. Selanjutnya, masih dari komputer, masyarakat diperintahkan untuk menemui petugas pelayanan di counter yang ditunjuk. Banyak counter didirikan laksana plaza membuat masyarakat cepat dan mudah terlayani.
Di counter itu masyarakat tak perlu bolak-balik atau ke belakang menyelesaikan pengurusan. Cukup dari satu pintu. Jika pengurusan membutuhkan waktu, ditentukan dan ditulis di situ kepastian berapa hari urusan selesai. Sehingga pada hari yang ditentukan kedatangan masyarakat sudah dijadwal. Namanya tinggal dipanggil.
Gubernur Sutiyoso berkali-kali memerintahkan seluruh walikota untuk menerapkan one door service, tapi sampai saat ini konsep ini belum bisa dinikmati masyarakat selain di Jakarta Pusat.
Bagaimana ide itu muncul? Menurut pengakuan Rustam, ide one door service muncul sederhana saja, sebetulnya. Saat masih bertugas sebagai Asisten Tatapraja Jakarta Selatan, Walikota Parjoko pernah memerintahkan Rustam agar di jalan persis di depan kantornya dibuat pelayanan masyarakat. Mengerti bahwa perintah Parjoko sangat bagus, ide itu dimatangkan dan dilaksanakan. Lalu saat menjabat Sesko Jakarta Pusat, ide itu disempurnakan direalisasikan sebagai one door service.
Digagas Gubernur
Apakah hal ini yang menjadi perhatian Gubernur Sutiyoso, lalu Rustam pun diangkat menjadi Kepala Dinas LLAJ (2001) yang kemudian menjadi Dinas Perhubungan Pemda DKI.
Beberapa hari setelah dilantik, pada bulan Juni 2001, Rustam dipanggil dan ditantang kesanggupannya untuk membuat program sistem jaringan makro transportasi kota Jakarta. Sebagai pekerja keras dan kreatif yang menyukai tantangan, ia menyatakan siap dan memastikan programnya selesai Mei 2002.
Rustam segera belajar tentang transportasi. Ia beranjak dari sisi kebutuhan, sebagaimana telah dialami sejak menjadi pamong tahun 1975 di Kelurahan Jelambar, Jakarta Barat. Termasuk lebih khusus lagi data sejak tahun 1985 hingga 2001, sudah dipelajarinya. Dan juga sudah secara aktif memelajari konsep MRT (mass rapid transport) yang sangat menonjolkan subway sebagai solusi alternatif utama.
Rustam melakukan studi banding ke beberapa tempat. Ia pergi ke Jepang, Singapura, Malaysia, Ekuador dan Kolombia. Tapi yang paling intens adalah studi banding ke Bogota, ibukota Kolombia. Alasannya, karena memang Bogota itu persis kayak orang Indonesia, orang Jakarta.
Kemudian, dia dibantu para staf Dinas Perhubungan DKI dan konsultan dari Center for Transportation Studies (CTS) Universitas Indonesia (UI), kemudian berhasil membuat konsep baru yang dinamainya Pola Transportasi Makro (PTM) DKI Jakarta (Jakarta Macro Transportation Scheme).
Gubernur Sutiyoso sebagai penggagas (inisiator) dan pemimpin pembangunan DKI Jakarta, memproklamirkan Pola Transportasi Makro (PTM) DKI Jakarta itu untuk segera dilaksanakan. Gubernur menyebutnya sebagai revolusi (reformasi total) transportasi Jakarta. Program ini diawali dengan mengoperasikan TransJakarta Busway, Koridor 1 Blok M – Kota pada 15 Januari 2004.
Namun, pada awalnya, bukan pujian yang mereka terima. Gubernur Sutiyoso dan dirinya selaku Kepala Dinas Perhubungan yang memimpin langsung proyek busway itu, dicerca dan dikecam habis oleh berbagai kalangan.
Bahkan, mereka dituduh korupsi. Walau hampir tak tahan lagi sebab selalu saja dihujat, Gubernur Sutiyoso terus mendorong untuk semakin memantapkan langkah maju.
Rustam pun seperti mendapat darah segar, setiap kali bertemu dan menerima arahan dari Gubernur. Dia melangkah makin tegar, apalagi dia merasa yakin benar dan tidak macam-macam. Orientasinya adalah orientasi kerja dan pelayanan kepada publik.
Uang bukanlah orientasi Rustam dalam bekerja. Perihal yang satu ini, Rustam telah berkesempatan untuk mengabdi puluhan tahun dan pemerintah telah mengatur itu.
Ketika sebagai Camat, ia secara hukum bertindak pula sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Karenanya, Rustam berhak memperoleh komisi legal masing-masing 1,5% dari dua pihak yang bertransaksi tanah.
Uang yang diterima secara legal semasa menjabat camat (PPAT) itu, dirasa sudah cukup untuk menghidupi keluarganya. Ia dan keluarganya bukan orang tamak. Maka, Rustam sama sekali tidak mau memikirkan isu-isu yang berhembus.
Obsesinya kala itu, ingin menyelesaikan tugas-tugas Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta, sampai ia pensiun. Kepada penggantinya, Rustam berharap agar melaksanakan program transportasi makro Jakarta itu, secara konsisten, tegas, punya tanggungjawab dan jangan berpikir cari duit macam-macam.
“Karena, kalau dia berpikir mau cari duit di sini saya bisa digebukin orang, dikatakan sama dengan pendahulu,” kata Rustam serius. Ia merasakan sudah waktunya untuk tiba pada suatu status semacam mencapai prestasi (accomplish-ment), sekaligus menunjukkan bukti pengorbanan dirinya sebagai pamong di saat-saat terakhir pengabdian. Ia ingin memberikan sebuah pengabdian untuk warga Jakarta.
Saat acara perpisahan dengan segenap karyawan/karyawati Dishub Provinsi DKI Jakarta di Sahid Jaya, 30 September 2005, kepada Rustam Effendy dipersembahkan sajak bertajuk: Selamat Jalan. Diiringi musik dan lagu, seorang karyawati membacakan dengan suara haru:
Ketika engkau datang, aku terhenyak dengar gelegar suaramu. Ketika engkau pergi, aku tertegun dengan hasil kerjamu.
Kekasih! Ketika pertemuan itu ada, aku yakin dan pasti, di sana ada perpisahan.
Selamat Jalan Bapak Rustam Effendy dan Ibu. Doa kami mengiring keper-gianmu. e-ti/ht-crs
***TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)
03 | Keteduhan Hidup di Rumah
Rustam Effendi memiliki vitalitas fisik berdeterminasi tinggi. Dia tampak lebih muda dari usianya. Ia mengaku mempunyai paling tidak empat kiat atau rahasia tentang itu, yakni berdoa, bekerja dengan plong, menikmati keteduhan hidup di rumah dan berolahraga ria bersama keluarga.
Rustam adalah ayah dari empat orang anak (tiga lelaki satu perempuan) buah pernikahannya dengan Ita R Na70 dari desa Napitupulu Bagasan, Balige, Sumatera Utara. Anak tertua sudah menyelesaikan pendidikan tinggi perhotelan di Swiss, dua anak lagi masih kuliah di Universitas Kristen Indonesia (UKI) Jakarta, dan si bungsu di bangku kelas enam SD Tarakanita, Jakarta.
Sebagai seorang penganut agama Kristen Protestan yang taat, ia membiasakan hidup keluarganya setiap pagi hari diisinya dengan membaca Firman Tuhan, yang dituntun dalam almanak, semacam kalender doa. Sebelum berangkat ke kantor, ia selalu berupaya mengumpulkan semua anak-anak untuk membaca firman Tuhan. Sebab ia yakin hanya dalam firmanlah ada jalan hidup. Ia merasakan hidup dituntun di situ. Ia menjadikan firman Tuhan sebagai kompas dalam kehidupannya.
Dengan demikian kendati banyak cobaan muncul, hantaman luar biasa, ia hanya berdoa bahwa dirinya sama sekali ingin berkarya. Kalau diperiksa silakan saja diperiksa untuk mencari kebenaran. Ia berusaha hidup polos-polos saja, tidak usah macam-macam. Itulah kunci pertama kebugaran dan vitalitas fisiknya yang berdeterminasi tinggi.
Rahasia kedua adalah bekerja dengan plong, tidak neko-neko, tidak ada maksud-maksud lain, tidak ada hal-hal yang membuat kepikiran terus. Yang penting enjoy dengan pekerjaan, menjadikan pekerjaan sebagai suatu bagian dari kehidupan.
Rahasia ketiga adalah rumahtangga tak pernah bermasalah, baik dengan anak-anak maupun istri. Keempat anak terdiri tiga lelaki satu perempuan semuanya baik-baik saja. “Tidak narkoba, tidak ini tidak itu,” katanya menjelaskan. Dalam lingkungan rumahtangga ia selalu enjoy. Setiap kali berada di rumah, dia merasakan ada keteduhan.
Rahasia keempat, setiap hari Sabtu dan Minggu dibuat menjadi suatu bagian dari keluarga. Pada Sabtu sore istri dan anak semua dibawa main tennis lalu ketawa-ketawa. Pada Minggu siang semua pergi mengikuti kebaktian di gereja.
Jadilah hari Sabtu siang dan Minggu siang, itu sebagai hari kumpul bersama keluarga, untuk makan bersama, berdoa bersama dan bercanda bersama. Sehingga rasanya tidak ada beban dalam hidup. Keluarga memang sangat mendukung keberhasilannya sebagai pamong.
Anak Nakal dan Manja
Dia memang berasal dari keluarga yang terbiasa hidup dalam kebersahajaan dan kepasrahan kepada kehendak Tuhan. Kakeknya berasal dari Tomok, Pulau Samosir. Ayahnya bermarga Sidabutar, sedangkan ibunya boru Siahaan asal Juara Monang, Balige. Rustam tidak lahir di Pulau Samosir. Dia lahir 8 Juli 1949 di Medan, mengikuti penulisan dalam ijazah SD-nya.
Maklum, saat kecil hingga remaja, dia sering pindah domisili, mengikuti jejak ayah yang sering berpindah-pindah. Seperti dari Tiga Balata pindah sekolah ke Medan, dari Medan kembali lagi ke Siantar. Dari Siantar ia langsung ke Malang lalu ke Magelang. Ia sempat balik lagi ke Medan sebentar hingga sempat masuk ke Universitas Sumatera Utara (USU) Medan. Ia terakhir kali pindah dan menetap di Jakarta, tepatnya Kebayoran Baru. Ayahnya kemudian alih profesi ke bidang baru, keteknikan.
Dari tiga lelaki saudara kandung, Rustam adalah bungsu yang bandel sebab suka berkelahi. Dan, dari lima saudara perempuan ada yang menjadi kakak ada yang jadi adik. Itu, membuat Rustam terdidik menjadi seorang anak lelaki bungsu atau siampudan yang manja sekaligus nakal.
Dengan berkelakar, Rustam menyebutkan hampir saja tak sampai menjadi banci sebab semua saudara perempuan sangat rajin dan peduli memenuhi segala keperluannya. Seperti membedaki muka, menyisir hingga menggelontorkan minyak rambut dan parfum segala macam. Kelima saudara perempuan, ingin Rustam selalu terlihat rapi.
Demikian pula sang mama. Walau tak pernah membelikan baju yang mahal-mahal, kecuali kain belacu yang bisa dikanji segede apa jahitannya tampak seperti bisa ‘memotong’ kue. Sepatu pun tak pernah dibelikan sekelas spartakus. Namun dengan sepatu karet saja, Rustam muda sudah bisa tampil necis.
Pengalaman dimanja semasa kecil itu semuanya terasa hingga kini. Di usia dewasa hingga melewati paruh baya, ia terus selalu ingin tampil necis. Kerapihan membuatnya percaya diri dan berani tampil di muka umum. Karena itu, cermin harus selalu tersedia untuknya dimana pun berada.
Lama tinggal menetap di Ibukota Jakarta jadilah Rustam Effendi potret seorang pria Batak berkarakter keras dan tegas dipadu supel dalam bergaul layaknya anak Betawi tulen. Kombinasi kedua unsur etnis itu sangat terasa dalam diri Rustam, baik itu logat bicara, intonasi, pilihan kata dan cara berpikir.
Seperti kisah nabi Yusuf, Rustam kecil sangat ‘dibenci’ ketiga saudara laki-lakinya. Demikian pula saudara perempuan. Semua karena kenakalan si bungsu yang suka berkelahi.
“Betul, karena saya bandalnya bukan main, sehingga aku nggak diakui saudaraku. Hanya mama dan bapak yang selalu setia, yang lainnya itu ‘benci’ bangat lihat aku. Karena tukang berantam. Pokoknya, nggak ada urusanlah,” kata Rustam, mengenang masa kanak-kanak dan remajanya.
Figur ayah dan mama begitu kuat membentuk kepribadian Rustam. Seolah tiada lagi satu orang pun yang paling disayang Rustam di dunia ini, selain ayah dan mamanya. “Setelah Tuhan Yang Maha Kuasa tentu,” katanya.
Sebagai orang berdarah Batak yang teguh memegang adat istiadat peninggalan leluhur, serta seorang Kristiani beriman yang taat kepada Tuhan, tiada tara bangga dan bahagianya hati Rustam tatkala ibunya meninggal dunia dan disemayamkan di rumahnya, Jalan Kayu Mas I Blok F No. 9-10, Pulo Mas, Jakarta Timur, hingga diberangkatkan ke pemakaman di Balata, Simalungun, Sumatera Utara.
Kematian kedua orangtuanya diurus sendiri oleh Rustam. “Dua-duanya sudah meninggal. Aku sudah yatim-piatu,” kata Rustam. Selain ayah-mama, kedua abang lelaki Rustam dan satu saudara perempuan telah meniggal dunia. Para saudaranya sesungguhnya sangat mengasihi Rustam.
Demikian pula ia sangat mengasihi semua saudaranya itu. Sebagai bukti kasih bersaudara itu, bisa disimak dari sekelumit kisahnya ketika bermukim di Asrama UI Jalan Pegangsaan Timur, Jakarta Pusat. Saat tiba masa lebaran, pembantu pulang kampung. Rustam pun menangis, sebab tak ada lagi yang mencuci pakaiannya. Akhirnya pakaian itu ditaruh saja di ember. Sebab kata orang dengan deterjen pakaian itu akan mencuci sendiri.
Tapi begitu ditengok, pakaian nggak nyuci-nyuci. Begitu disibak dan ditarik ke atas tetap saja masih kotor. Akhirnya, disaksikan para rekan dan tetangga, ia buang ego anak bungsunya. Rustam segera mencuci pakaian sendiri tapi dengan cara menaiki ember lalu menginjak-injak.
Pada saat bersamaan, datanglah seorang kakaknya dari rumah Kebayoran Baru. Kakak yang baik itu baru sadar rupanya ada adiknya di Pegangsaan sendirian, tanpa tukang cuci.
“Dek, adikku Rustam di mana?” tanya Sang Kakak kepada rekan Rustam.
“Di kamar mandi, bu.”
“Wah, kamar mandi,” kata kakak bergumam.
“Sudah mau nangis dia,” rekan itu menimpali lagi.
“Kenapa?”
“Nggak bisa dia nyuci.”
“Memang, itulah makanya saya datang, mana dia.”
Datanglah sang kakak menemui Rustam di kamar mandi.
“Sudah gimana?” tanyanya.
“Kagak bersih-bersih,” jawab Rustam.
“Sini.”
Akhirnya dibawalah cucian itu ke Kebayoran Baru. Itulah Rustam Effendi si anak bungsu nakal dan manja. Untuk melap sepatu sendiri saja ogah ia lakukan. Ia lebih baik tetap memakai sepatu kotor daripada melapnya. Karena terbiasa semasa kecil semua serba difasilitasi, Rustam selalu tak pernah mau mengurusi hal-hal kecil yang bersifat tetek bengek. Itu sama persis dengan urusan uang yang ogah ia sentuh saat dipercaya untuk bekerja.
Dengan istri pun jika dalam perjalanan tiba-tiba harus mengisi bensin dengan kesal Rustam akan lebih baik meninggalkan kendaraan, lalu pergi naik taksi sendiri daripada harus mengisi bensin.
Energi besar hasil olah tubuh dan otaknya lebih baik ia dayagunakan untuk memprogram sesuatu yang bermanfaat bagi orang lain. Itu pula sebabnya untuk urusan makanan ia tak mau membuat repot orang lain. Apa yang ada itu saja yang dimakan. Tidak ada batasan selera baginya.
Setiap kali tampil di hadapan publik ia selalu tampak oke, necis, rapi dan dendy. Ia memang pesolek ulung untuk membangkitkan kepercayaan diri. Ini sesuatu yang berubah menjadi ‘penyakit’. Ia baru percaya diri apabila berpakaian rapi. Sebab bila tak rapi sepertinya sepanjang hari akan selalu bermasalah terus. Hingga duduk pun rasanya menjadi tidak rapi. Tapi karena yakin rapi maka action, performance-nya, itu selalu rapi jadinya.
Begitu pensiun sebagai pamong, ia sudah merencanakan berkiprah di bidang sosial. Ia bercita-cita menjadi anggota kelompok masyarakat. Entah kelompok apa, tidak disebutkannya persis. Namun, paling tidak, sebagai mantan Kepala Dinas Perhubungan yang mampu berpikir dan berkarya di tengah masyarakat. e-ti/ht-crs
***TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)
04 | Pamong Berorientasi Kerja
Sebagaimana pilihan sikap hidup untuk tidak mengejar jabatan, selama pamong ia hanya mengejar kerja, kerja, kerja dan kerja. Ia pekerja keras yang tak bisa diam berpangku tangan. Juga bukan pamong yang berorientasi kepada kepentingan pribadi.
Sebagai Camat Setiabudi, ia dibenarkan secara hukum untuk bertindak se- bagai Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Ketika di Segitiga Emas Kuningan transaksi tanah berlangsung ramai ia berhak memperoleh komisi resmi 1,5%, masing-masing dari pihak penjual dan pembeli tanah.
Memang ia sendirilah yang mempopulerkan istilah “Segitiga Emas Jakarta, ke para developer pengusaha pemilik uang. Akibatnya harga tanah mencapai puncaknya sekitar Rp 4 juta/meter dari sebelumnya Rp 60 ribu/meter. Istilah “Segitiga Emas Jakarta begitu cepat menyebar dari mulut ke mulut seluruh warga Jakarta. Di seluruh Jabodetabek harga tanah sempat goyang jadinya.
Minat warga melepas hak atas tanahnya menjadi tinggi. Di Kelurahan Guntur, misalnya, dari 10 RW yang ada tersisa tinggal satu.
Demikian pula di Kelurahan Setiabudi, Karet Belakang, Kuningan Timur, Karet Kuningan, Semanggi, Menteng Atas sebagian, dan Pasar Manggis sebagian.
Sebagai pamong yang cinta rakyat, ia tidak mau menerima uang PPAT dari rakyat. Baginya sudah cukup besar menerima PPAT dari developer.
Namun rakyat yang merasakan kebaikan Pak Camatnya tak kurang ‘akal’. Mereka sepakat mengumpulkan sendiri 1,5% uang resmi PPAT. Jumlah semuanya sampai sekarung, lalu diserahkan langsung kepada Pak Camat.
Namun Pak Camat itu tegas-tegas menolak. “Aku nggak kayak gini,” katanya. Dia sudah sangat senang kalau warga tidak menderita lagi. Uang PPAT dari rakyat itu ia kembalikan lagi, sebagai sumbangan kepada warganya.
Maka, ketika Pak Camat ini menerima panggilan tugas baru untuk menjadi pamong di pos lain, rakyat yang dikasihi sekaligus mengasihinya seolah tak rela melepas pergi.
Kondisi itu tak dibuat-buat. Sebab demikianlah adanya kejadian selama bertahun-tahun. Rakyat dapat langsung berhadapan dengan camatnya. Dan Pak Camat jarang menolak bertemu rakyatnya. Di lain kesempatan, selama beberapa waktu tertentu ia merasakan perlu untuk berkumpul dengan para tokoh masyarakat, seperti para alim ulama sambil makan sate bersama.
Hingga sekarang kejadian seperti itu masih kerapkali berulang. Cuma kali ini, tokoh masyarakat dan alim ulama yang berkumpul, misalnya di Sate Pancoran, itulah yang mengundang makan mantan Pak Camat yang kini menjadi Kepala Dinas Perhubungan untuk hadir sekadar menjalin tali silaturahmi. Mereka itu, warga Setiabudi yang dahulu kumuh sekarang telah menjadi kaya.
Dia memang bukan tipe orang yang suka kejar jabatan. Selama ini, dia hanya berorientasi kerja namun tanpa pernah mau mengejar jabatan. Bahkan, dia menampik disebut berorientasi prestasi. Sebab, menurutnya, bekerja keras belum tentu berprestasi. Dengan rendah hati ia mengaku belum tahu apakah sudah berprestasi atau belum. Orang boleh menyebut berprestasi tapi ia sendiri belum tahu. Maka ia selalu saja tidak pernah berhenti bekerja.
Taksi
Tentang taksi ia hanya mau berbicara sedikit saja. Taksi, moda transportasi yang pada jam-jam sibuk saat orang pergi dan pulang kerja bukan main susah dapatnya. Namun di luar jam itu banyak sekali taksi Bodetabek wara-wiri masuk Kota Jakarta. Taksi pasti terpengaruh oleh revolusi transformasi transportasi.
Ia menyebutkan pengaturan pertaksian tergantung kepada pengusahanya. Karena taksi adalah jasa angkutan non trayek. Artinya trayek taksi tak diatur. Dia bebas. Karena di luar trayek maka taksi tidak bisa diatur, sebagaimana mengatur busway yang jenis trayek.
Ia memastikan, ketika PTM berjalan penuh dengan sendirinya pasti akan berimbas kepada jasa pertaksian. Taksi bisa berhenti dengan sendirinya, atau konyol jalan terus dan rugi terus. Bisnis taksi adalah sesuai mekanisme pasar. Selama pasar masih menginginkan akan jalan terus. Ilmunya memang demikian. e-ti/ht-crs
***TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)
05 | Jejak, Pola Transportasi Makro
Rustam Effendi mengakhiri tugas pengabdian selaku Kepala Dinas Perhubungan Pemprov DKI Jakarta (September 2005) dengan meninggalkan jejak sekaligus mewariskan Pola Transportasi Makro Jakarta. Dia berkeyakinan pola transportasi makro tersebut akan mampu mengatasi masalah kemacetan lalulintas di Jakarta.
Kendati Rustam telah menyerahkan estafet kepemimpinan sebagai Kepala Dinas Perhubungan Pemprov DKI Jakarta, kepada Nurahman (bekas wakilnya) dia berjanji akan terus memberi dukungan dan masukan, diminta atau tidak, demi keberhasilan pola transportasi makro tersebut.
Sebagai orang yang berperan melahirkan pola transportasi makro tersebut, Rustam bertekad akan selalu aktif mengikuti setiap perkembangan pelaksanaan pembangunannya tahap demi tahap. Baginya, pengabdian tidak berakhir pada jabatan. Melainkan, sepanjang hayat dikandung badan, sebagai seorang pamong yang berjiwa entrepreneurship, dia akan terus mengabdikan diri demi kepentingan umum, masyarakat, bangsa dan negara.
Banyak pihak menyebut, dengan pensiunnya Rustam Effendi, Pemprov DKI Jakarta sungguh kehilangan sumber daya manusia yang pantas diandalkan. Diyakini, Rustam yang masih sangat enerjik, akan mampu berperan dalam profesi dan bidang lain, baik di lembaga swasta maupun lembaga sosial politik dan sosial budaya.
Cegah Jakarta Kolaps
Diprediksi, pada tahun 2014, kota Jakarta akan kolaps macet total akibat pertumbuhan kendaraan tidak sebanding dengan pertumbuhan jalan. Pada saat itu, siapa saja boleh beli mobil namun tak bisa keluar rumah, cukup diselimuti saja di garasi.
Untuk mengatasi masalah itu, Gubernur Sutiyoso mengangkat dan memotivasi Rustam Effendi selaku Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta untuk membuat suatu pola transportasi makro. Itulah ikhwal awal berprosesnya reformasi total (revolusi) transportasi di Jakarta.
Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta di bawah kendali Gubernur Sutiyoso dalam jabatan periode keduanya, tampaknya sangat fokus untuk menata transportasi Jakarta secara makro dan terintegrasi, selain (sekaligus) ingin membebaskan Jakarta dari bencana banjir. Gubernur Sutiyoso, tampaknya bertekad kuat untuk mengukir karya pengabdian mengatasi dua hal masalah sangat krusial di Jakarta itu pada akhir masa jabatannya.
Gubernur Sutiyoso tentu sangat menyadari tidak mudah mewujudkan obsesi pengabdiannya jika tidak didukung oleh para staf yang handal, terutama di level Kepala Dinas dan Kepala Biro. Salah seorang staf penting yang dipilih untuk mewujudkan obsesinya adalah Rustam Effendi memegang jabatan Kepala Dinas Perhubungan. Seorang pamong yang memiliki track record mengesankan di setiap pos jabatan yang dipercayakan padanya.
Rupanya, Sutiyoso, tidak salah pilih kepada pamong yang mampu bertindak layaknya entrepreneur itu untuk membantunya menata transportasi Jakarta yang sedemikian rumit. Jika Ali Sadikin punya staf Rio Tambunan dalam melakukan karya beskelas masterpiece dari Sang Inisiator Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso dan Sang Programmer Kepala Dinas Perhubungan Provinsi DKI Jakarta Rustam Effendi.
Ketika mewujudkan ide ini, ibarat kata-kata puitis, Rustam Effendi bersama “Sang Inisiator” Sutiyoso adalah dua figur yang semula dicerca akhirnya dicinta. Sutiyoso sebagai penggagas dan pendorong lahirnya Pola Transportasi Makro (PTM) Jakarta, secara khusus berada di belakang untuk mem-back up penuh perjuangan Rustam Effendi “Sang Programmer” sekaligus proyektor busway.
Busway sesungguhnya masihlah sebuah milestones kecil dari grand design baru konsep transportasi yang disebut Pola Transportasi Makro (PTM) DKI Jakarta atau, Jakarta Macro Transportation Scheme (JMaTS) berhorison waktu tahun 2007, 2010, hingga 2020. Dengan embrio dan titik awal busway, tampaklah betapa kuatnya visi Sutiyoso dan Rustam Effendi memecahkan persoalan kemacetan Kota Jakarta.
Visi itu jika saja tak segera direalisasikan maka dipastikan Jakarta pada tahun 2014 akan terancam kolaps, macet total karena ketidakseimbangan pertumbuhan kendaraan dengan pertumbuhan jalan. Busway, kata Rustam Effendi, adalah demonstrasi paling awal dari aplikasi Pola Transportasi Makro atau PTM, yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam peraturan daerah (Perda) dan surat keputusan SK gubernur.
Yakni, Perda No. 12 Tahun 2003 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Kereta Api, Sungai, Danau, serta Penyeberangan di Provinsi DKI Jakarta, serta SK Gubernur DKI Jakarta No. 84 Tahun 2004 Tentang Penetapan Pola Transportasi Makro di Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
Dia sesunguhnya adalah programmer sejati yang sangat tak berniat jika harus sekalgus merangkap pula menjadi projector, atau pelaksana proyek busway. Namun sebagai sesuatu yang baru yang belum pernah ada sebelumnya, ia pada awalnya telah dipaksa keadaan untuk terjun sebagai proyektor.
Pengoperasian TransJakarta Busway, tidak serta-merta disambut suka-cita oleh warga. Malah pada awalnya dicerca. Namun, atas dorongan dan pimpinan Gubernur Sutiyoso, dia terus melangkah. Dia berani dan tegas mengoperasikan TransJakarta Busway, sebab didasari oleh besarnya kerinduan terpecahkannya masalah angkutan umum dan kemacetan Jakarta. Hujatan tak bisa membendung reformasi total transportasi itu.
Tak berapa lama hujatan itu pun berubah menjadi pujian. Delapan bulan berikutnya, hasil penelitian Japan International for Cooperation Agency (JICA) bekerjasama dengan Bappenas, menunjukkan sebanyak 14% pengguna busway terbukti berasal dari kalangan berduit yang sebelumnya pengendara mobil pribadi. Mereka inilah yang awalnya menolak keras ide baru busway sebab menduga lajur jalannya akan menyempit diambil busway.
Dengan rendah hati, Rustam Effendi mengakui, busway sama sekali belumlah menyelesaikan kemacetan Jakarta. Baginya busway di luar fungsi teknis membawa misi lain sebagai sarana edukatif masyarakat agar berdisiplin dalam berlalu lintas, mengajak pengguna kendaraan pribadi untuk lebih baik menggunakan angkutan umum (busway), dan sekaligus sebagai bukti keberpihakan Pemerintah Daerah DKI Jakarta terhadap masyarakat pengguna angkutan umum.
Pengelolaan busway selanjutnya diserahkan ke Badan Pengelola (BP) TransJakarta, pimpinan Irzal Djamal yang sebelumnya menjabat Asisten Pembangunan Pemprov DKI Jakarta. Dan Rustam Effendi, seorang yang tadinya dicerca malah menjadi dicinta itu, sebagai Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta, lalu sibuk mematangkan aplikasi konsep Pola Transportasi Makro (PTM) Jakarta itu.
Kondisi Aktual
Rustam menyebutkan, kendaraan bermotor di Jakarta yang saat ini berjumlah 5,4 juta unit terus saja meningkat rata-rata 7 persen per tahun. Di tahun 2003, setiap hari rata-rata telah dikeluarkan 138 STNK baru. Itu berarti, ada tambahan138 kendaraan perhari melintasi jalanan Jakarta. Dengan jarak antara satu kendaraan dengan kendaraan lainnya masing-masing setengah meter saja ke muka dan ke belakang, maka dibutuhkan ruang (jalan) enam meter per unit. Sehingga, total perhari harusnya dibutuhkan tambahan jalan baru sepanjang 828 meter.
Di tahun 2004, pertambahan kendaraan itu meningkat menjadi rata-rata 296 unit perhari, yang berarti harus dibutuhkan tambahan jalan baru 1.614 meter setiap hari.
Kondisi itu masih diperparah lagi dengan kehadiran lalu lalang 600.000 unit kendaraan (mengangkut sekitar 1,2 juta orang) dari wilayah Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi memasuki Jakarta, di tahun 2003. Kendaraan Bodetabek itu tentu saja ikut mengalami pertumbuhan, bisa jadi pada tahun 2004 sudah mencapai 700.000 unit perhari.
Persoalan transportasi Jakarta menjadi semakin rumit tatkala dimunculkan data terbaru, bahwa rasio jumlah kendaraan pribadi dibandingkan kendaraan umum adalah 98 persen berbanding 2 persen. Sayangnya, walau rasio jumlah kendaraan pribadi secara nisbi hampir mencapai 100 persen, atau tepatnya 98 persen namun jumlah manusia yang diangkut relatif tak berbeda jauh dengan jumlah manusia yang diangkut 2 persen kendaraan umum itu.
Kendaraan pribadi yang rasio jumlahnya 98 persen itu hanya mampu mengangkut 49,7 persen perpindahan manusia perhari, sedangkan kendaraan umum yang hanya 2 persen mampu mengangkut hingga 50,3 persen perpindahan manusia perhari.
Ketimpangan itulah yang mengangkat kembali ke permukaan kesimpulan klasik, betapa kondisi angkutan umum sudah sangat begitu memprihatinkan. Sebab dari tahun ke tahun proporsi jumlah angkutan umum semakin berkurang. Kemampuan menambah ruas jalan pun semakin sulit. Sementara penambahan kendaraan pribadi semakin pesat. Panjang jalan hanya dapat bertambah kurang dari satu persen pertahun, itupun hanya bisa berupa underpass dan flyover. Sedangkan kendaraan rata-rata bertambah 7 persen per tahun.
Jika persentase pertumbuhan kendaraan bertambah tetap secara linier, demikian pula persentase pertumbuhan jalan linier tetap lambat, maka dipastikan persis pada tahun 2014 kedua vektor itu akan bertabrakan membuat Jakarta kolaps macet total.
Lalu lintas mengalami kelumpuhan sebab kendaraan tak bisa bergerak, keluar dari garasi pun sudah tak bisa.
“Anda boleh beli mobil tapi tidak usah dikendarai simpan saja baik-baik selimuti di garasi,” kata Rustam galau.
“Bayangkanlah, hiruk-pikuknya kota Jakarta sedemikian rupa. Apa yang bisa kita buat kalau tidak berani memecahkan ini,” gugat Rustam optimis. Kata Rustam, untung saja hasil awal pemecahan masalah lewat kehadiran busway sudah mulai menjanjikan betapa efektifnya sistem jaringan berbentuk Pola Transportasi Makro itu. Rustam memastikan keberanian mengambil keputusan adalah salah satu kata kunci penyelesaian masalah lalu lintas Kota Jakarta.
Tiga Basis
Sebelum mendesain Pola Transportasi Makro (PTM), Rustam Effendi terlebih dahulu mempelajari persoalan lalu lintas Jakarta sepanjang kurun waktu tahun 1985-2001.
Di era itu pernah sangat menonjol gagasan mendirikan mass rapid transit (MRT), sebuah sistem perjalanan massal memanfaatkan rel kereta api bawah tanah atau subway.
Hingga bulan Juni 2001, saat Gubernur Sutiyoso memanggil Rustam untuk memikirkan secara makro sistem trasnportasi umum di Jakarta, terbukti subway belum terwujud.
Rustam masih ingat betul pertemuan pertamanya dengan Gubernur Sutiyoso. Rustam, ketika itu diperintah, “Kau bisa nggak menciptakan suatu jaringan makro di Jakarta ini?” seru Gubernur.
Sebuah perintah, yang lebih tepat disebut sebagai ide baru, itu segera diresponi Rustam. Ia menjanjikan konsepnya akan selesai Mei 2002.
Berdasar kronologi itulah, Rustam selalu dengan rendah hati menyebutkan Sutiyoso adalah inisiator penggagas ide busway. Sedangkan dirinya tak lebih hanya pelaksana saja, tukang gebrak atau tukang ‘sikat’.
Dibantu oleh konsultan CTS-UI (Center for Transportation Studies Universitas Indonesia), Jakarta, pimpinan Soetanto Soehodo, Rustam segera bekerja keras mewujudkan visi Gubernur. Ia membuat skenario pengembangan sistem transportasi angkutan umum massal tahun 2007, 2010, dan 2020 berbasiskan tiga pengembangan.
Yakni, pengembangan sistem angkutan berbasis fisik jalan, rel, dan air. Ketiga basis itu di-back up dengan pengembangan ketentuan pembatasan lalu lintas (traffic restraints).
Busway adalah demonstrasi paling awal aplikasi Pola Transportasi Makro berbasis jalan. Rustam menyebutkan hingga tahun 2010, Dinas Perhubungan DKI Jakarta telah menyiapkan sebanyak 15 corridor bus priority.
Sembilan koridor di antaranya bisa langsung siap diaplikasikan menjadi busway. Enam sisanya masih harus melalui modifikasi, seperti memperlebar jalan yang sempit dengan membebaskan tanah warga, atau mengambil sisi-sisi sungai kalau memang ada sungai yang bisa dimanfaatkan. Atau, bila perlu dinaikkan ke atas menjadi elevated road. Namun, elevated road sangat berbiaya mahal.
Busway Koridor-1 sudah operasional sejak 1 Januari 2004, mengambil jurusan Blok M-Kota. Di tahun 2005 tambah lagi beroperasi dua koridor yakni Koridor-2 Pulogadung-Harmoni dan Koridor-3 Kalideres-Harmoni.
Pada kurun waktu tahun 2007 ditambah lagi empat koridor baru operasinal. Keempat koridor tambahan itu, Koridor-4 Pasar Baru-Kebun Jeruk, Koridor—5 Kampung Rambutan-Tanjung Priok, Koridor-6 Pulogebang-Bundaran HI dan Koridor-7 jurusan Cililitan-Grogol. Sehingga tahun itu total terdapat tujuh koridor operasional.
Pada tahun bersamaan mulai pula beroperasi dua lingkar jalur monorel. Dua jalur monorel dimaksud adalah green line yang bergerak memutar di sepanjang lingkaran dalam kota dan blue line jurusan Kampung Melayu-Taman Anggrek.
Pada kurun waktu tahun 2010 akan ada lagi tambahan delapan koridor busway, serta mulai beroperasi jalur subway MRT jurusan Lebak Bukus-Dukuh Atas. Kedelapan tambahan busway adalah Koridor-8 jurusan Cililitan-Tanjung Priok, Koridor-9 Pasar Minggu-Manggarai, Koridor-10 Pulogebang-Kampung Melayu, Koridor-11 Ciledug-Blok M, Koridor-12 Warung Jati-Imam Bonjol, Koridor 13 Kalimalang-Blok M, Koridor-14 Lebak Bulus-Kebayoran Lama, dan Koridor-15 Senayan-Tanah Abang.
Rustam Effendi menyebutkan, lebih senang memilih busway sebagai prioritas transportasi massal Jakarta 2020 sebab lebih ekonomis.
Mengutip sumber Bank Dunia (World Bank), Rustam menyebutkan biaya pembangunan busway rata-rata 2-5 juta dolar AS perkilometer.
Itu, jauh lebih murah dibandingkan monorel yang membutuhkan biaya pembangunan 10-25 juta dolar AS perkilometer.
Dan subway atau MRT yang lebih mahal lagi mencapai 50-100 juta dolar AS perkilometer. “MRT itu berbiaya mulai 50-100 juta dolar AS perkilometer, jadi tidak mungkin kalau ditangani oleh Pemda,” kata Rustam.
Rustam memberi catatan khusus soal biaya ini. Kendati Bank Dunia mematok biaya pembangunan busway rata-rata 2-5 juta dolar AS perkilometer, namun pada Koridor-1 Blok M-Kota, kreasinya hanya membutuhkan biaya 1,50-1,75 juta dolar AS per kilometer. “Nah, maka diputuskan busway itulah untuk basis angkutan jalan,” ujar Rustam menyakinkan pilihannya tak salah.
Pengembangan angkutan umum massal berbasis rel terdiri light rail transit (LRT) yang ringan, dan heavy rail yang berat berupa subway. LRT yang disebut pula monorel, akan operasional pertamakali tahun 2007.
Terdiri dua jalur yaitu green line yang bergerak memutar di sepanjang lingkaran dalam kota dan blue line jurusan Kampung Melayu-Taman Anggrek.
Sedangkan MRT yang baru bisa terealisasi tahun 2010, itu bermula dari Lebak Bulus-Fatmawati-Blok M terus langsung ke Kota. Dari Lebak Bulus hingga Ratu Plaza MRT masih bersifat elevated, barulah sejak dari Ratu Plaza berubah menjadi subway, bergerak masuk bawah tanah menembus Jalan Sudirman hingga di Harmoni muncul kembali ke permukaan. Dari Harmoni MRT kembali memanfaatkan jalur elevated.
Sekaligus Atasi Banjir
Pengembangan angkutan umum massal berbasis air atau WaterWays Transport, akan memanfaatkan sungai-sungai yang sudah ada. D Jakarta terdapat minimal 13 aliran air memiliki lebar antara 100-300 meter yang dapat dimanfaatkan menjadi waterways transport, sekaligus menjadi angkutan wisata dan waterfront city.
Sungai-sungai itu seperti Banjir Kanal Timur (KBT) mengaliri Cipinang-Laut sejauh 23,6 kilometer, Banjir Kanal Barat (BKB) mengaliri Petamburan-Kapuk Muara 9,2 kilometer, Banjir Kanal Selatan (BKS) mengaliri Karet Tengsin-Cipinang Cempedak 9,6 kilometer, Sodetan Ciiwung-BKT mengaliri Bidara Cina-Cipinang Besar Selatan 2,4 kilometer, Buaran mengaliri Cakung Barat-Duren Sawit 4,3 kilometer, atau Cakung Drain mengaliri Cakung Varat-Laut 11,9 kilometer.
Ada manfaat lain yang ingin dikejar ketika dia memasukkan fisik sungai sebagai basis ketiga angkutan umum massal. Yaitu, keseluruhan sungai menjadi terpelihara lebar dan tingginya. Rakyat tak lagi berkesempatan membangun rumah macam-macam, seperti wc terbang, atau ‘hotel perosotan’ di sepanjang bantaran kali. Warga juga tak sembarangan lagi membuang sampah, termasuk buang hajat ke sungai. Demikian pula pengurukan sungai diharapkan tidak terjadi lagi.
Sungai yang akan memberikan fungsi utama menanggulangi banjir, juga berfungsi sebagai alat transportasi. Fungsi transportasi justru dimanfaatkan untuk mengontrol pemeliharaan sungai.
Fungsi ekonomis lain adalah pariwisata, yakni dengan memanfaatkan jalur sungai untuk berkeliling menyaksikan Kota Jakarta, atau citytour dari atas kapal sebagaimana masyarakat biasa telah memanfaatkan busway pada hari Sabtu-Minggu untuk mutar-mutar melihat Jakarta dengan bermodalkan ongkos Rp 2.500 saja.
Terintegrasi di Dukuh Atas
Kawasan Dukuh Atas, Jalan Sudirman, Jakarta Selatan, akan menjadi simbol integrasi perlintasan tiga basis angkutan umum massal yang aplikasinya menghasilkan lima moda. Yakni moda kereta api, subway, monorel, waterway, dan busway.
Kekuatiran yang timbul, Dukuh Atas akan menjadi sangat ramai hingga semrawut. Namun, Rustam memastikan hal itu tak akan terjadi sebab semua moda berada lalu lalang dalam suatu kurungan, dalam satu shelter sehingga kegiatan manusia apapun tak akan keluar dari kurungan itu.
“Jadi, mereka beli karcis di dalam. Tidak ada kaki lima. Mereka tidak sempat lagi berdiri berlama-lama, karena setiap perjalanan kelima moda itu selalu berjalan dengan baik,” kata Rustam yakin.
Untuk melengkapinya, dibangun berbagai sarana dan prasarana. Seperti, di pinggir-pinggir Kota Jakarta akan didirikan park and ride. Dengan berbiaya terjangkau, pemilik kendaraan Bodetabek tak perlu membawa kendaraannya memasuki Kota Jakarta. Cukup diparkirkan di park and ride, lalu sore atau malamnya diambil lagi. Dari park and ride warga Bodetabek diskenariokan akan meneruskan perjalanan menaiki kereta api, busway, monorel, subway atau waterway.
Di dalam kota sendiri sebagian besar on street parking akan dihapus, digantikan off street parking atau building park bertarif mahal. Hal ini untuk mengurangi jumlah kendaraan pribadi berada di dalam Kota.
Traffic Restraints
Setelah ketiga basis angkutan umum disediakan berikut sarana dan prasarana fisik, sesuai skenario tibalah saatnya giliran Pemda DKI Jakarta membenahi Pola Transportasi Makro dari sisi piranti lunak. Yakni mendayagunakan sejumlah peraturan daerah pembatasan lalu lintas atau traffic restraints. Traffic restraints dimaksudkan untuk mendukung penuh keberhasilan sistem bus priority, LRT, MRT dan waterway.
Payung hukum pembatasan lalu lintas dituangkan dalam Perda No. 12 Tahun 2003 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Kereta Api, Sungai Danau, serta Penyebrangan di Provinsi DKI Jakarta, serta SK Gubernur DKI Jakarta No. 84 Tahun 2004 tentang Penetapan Pola Transportasi Makro di Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
Traffic restraints dibutuhkan sebab ada titik-titik tertentu di pusat Kota Jakarta tempat dimana orang tumpah ruah dalam ruang dan waktu yang bersamaan. Misalnya di sepanjang jalan Sudirman—Thamrin-Kota, atau di sejumlah pusat perdagangan, keramaian dan sebagainya
Rustam memastikan beberapa pembatasan yang segera bisa diterapkan adalah sistem 3 in 1, sistem stiker, sistem ganjil-genap, area licensing system, road pricing dan lain-lain.
Rustam menyebutkan, sistem 3 in 1 akan diterapkan satu hari penuh. Di samping itu, ada penerapan sistem ganjil-genap. Sebagai misal, jika pada hari Senin kendaraan yang boleh lewat di jalur pembatasan lalu lintas adalah yang berpelat nomor polisi akhir ganjil, maka pada hari itu yang berakhiran genap tak boleh lewat. Demikian seterusnya, pada hari Selasa kendaraan yang boleh lewat adalah yang berakhiran genap sedangkan yang ganjil dilarang.
“Kalau peraturan itu kita terapkan, keberhasilannya 40% mengurangi banyaknya kendaraan pribadi lalu lalang di sepanjang itu,” kata Rustam merujuk contoh pada jalur padat Sudirman-Thamrin.
Road pricing bisa juga diterapkan di sepanjang jalan Sudirman-Thamrin, sebagaimana Orchad Road di Singapura. Di pagi hari setiap kendaraan yang lewat jalur road pricing harus bayar dahulu baru boleh lewat.
Pembatasan lain adalah pengenaan pajak progresif terhadap kendaraan kedua, ketiga, keempat dan seterusnya milik sebuah keluarga. Pajaknya dibuat makin mahal makin mahal dan makin mahal.
Tiket parkir di dalam kota akan dinaikkan setinggi mungkin. Tentang ini, “Memang, maksudnya supaya orang ogah bawa kendaraannya,” kata Rustam singkat.
Batasan umur kendaraan termasuk sisi yang ikut dibidik. Pada tahun 2003, ketika Dishub DKI Jakarta mengajukan usulan ini masih ditolak oleh DPRD DKI Jakarta. Namun, kata Rustam, sekarang justru DPRD-nya yang telah mengendus bahwa setiap kendaraan usia 15 tahun ke atas tidak lagi boleh berlalu-lalang di Jakarta. “Ternyata, sekarang DPRD yang mulai bicara. Prinsipnya kita setuju,” kata Rustam.
Berdasarkan skenario angkutan umum massal Pola Transportasi Makro Jakarta, Rustam Effendi memastikan paling cepat tahun 2007 Jakarta boleh dikatakan tidak macet lagi.
Plaza Terminal
Terminal tak luput dari rencana pembenahan revolusioner Rustam Effendi. Terminal, khususnya yang berfungsi ganda untuk dalam kota dan luar kota, seperti Pulo Gadung, akan dikondisikan menjadi lebih menyerupai plaza tempat untuk berbelanja atau shoping.
Rustam menyebukan, pihaknya sudah memulai langkah pembenahan bergandengan tangan dengan investor yang mau mendanai. “Nanti, kita akan bentuk di sana plaza, bukan terminal. Jadi, di tengah-tengahnya ada plaza di kiri-kanan baru ada terminal,” kata Rustam optimis.
Dikatakannya, siapapun yang datang ke sana akan serasa bukan mau masuk ke terminal tetapi masuk ke plaza untuk belanja atau shoping pakaian dan segala macam. Tetapi siapa pun yang mau pergi ke luar kota maka akan ada kendaraan ke luar kota, demikian pula untuk yang dalam kota.
“Jadi, nanti kendaraan dari luar kota itu masuk ke tol, lalu dia langsung turun ke basement untuk waiting room. Di waiting room pengemudi dan kernet kendaraan itu boleh makan dulu di kaki lima yang ada di dalam, bukan kaki lima yang semrawut. Baru, kendaraan itu melanjutkan perjalanannya,” kata Rustam.
Sedangkan untuk angkutan dalam kota, diskenariokan bis kota itu turun, masuk ke waiting room, langsung dia ke tempat penjualan karcis. Nah, dari situ ke waiting room lagi, tunggu sampai ada panggilan bahwa kendaraan yang menuju tujuannya sudah akan berjalan.
Sebelum penumpang melanjutkan perjalanan, misalnya penumpang luar kota, di terminal plaza atau plaza terminal, itu timbul pikiran baru, ‘ah, saya mau malas-malasan dulu deh, sebentar lagi saya baru berangkat’. Jam berapa berangkat ke Purwokerto, katakan jam lima, padahal saat ia tiba baru jam dua, ‘ah, saya mau shopping dulu ke plaza.’ Nah, di situ ada counter untuk penitipan barang. Setelah itu dia naik ke atas, belanja-belanja dulu di situ. Beli pakaian pacarnya dulu, misalnya, atau lipstik pacarnya yang ada di Jawa, baru dia pergi.
Terminal demikian, menurut Rustam, akan didirikan di tiga tempat, yakni di Pulo Gebang pengganti Pulo Gadung, di Kampung Rambutan dan di Rawa Buaya. Ketiganya dibangun dengan mengundang swasta sehingga tidak membebani APBD Pemda DKI Jakarta, sama seperti busway Koridor—2 dan Koridor- 3 yang pasokan bis semua sudah dari swasta.
Cukuplah busway Koridor-1 Blok M-Kota yang dibiayai pemerintah, sebagai demonstrasi pertama kehandalan aplikasi PTM. Demonstrasi pertama yang berhasil membuat pengusaha swasta melek mata dan tahu bahwa konsep itu bisa untung sehingga untuk koridor-koridor selanjutnya mau mendanai investasi langsung.
Keikutsertaan swasta itu sangat perlu. Selain karena faktor kemampuan pembiayaan yang terbatas dari Pemda, juga sekaligus menepis tudingan yang sangat menyakitkan, korupsi dan mark up yang ditujukan kepadanya. Tudingan itu mengemuka, karena orang belum pernah melihat bahwa ada suatu pekerjaan yang begitu hebat dan kaget, kaget, aduh, ratusan milyar, ratusan milyar, ratusan milyar. Orang hanya menghitung ratusan milyar tanpa melihat apa maksud dan tujuannya.
Belum Berbuat Apa-apa
Transportasi Jakarta sudah mulai menunjukkan pergerakan ke arah perbaikan. Namun ia tetap merasa belum puas. Dia bahkan merasa belum melakukan apa-apa, walau opini publik sudah mengatakan, ia telah berbuat sebuah langkah revolusioner transportasi Ibukota Jakarta. Rasa belum berbuat apa-apa membuatnya masih akan terus berkarya hingga akhirnya nanti berhenti setelah kehabisan tenaga.
Selama ini, ia meyakini apapun yang dilakukan dengan busway sesungguhnya bukan tergantung kepada dirinya. Melainkan tergantung kepada Gubernur. Sebab apapun yang ia perbuat, adalah dalam kerangka tugas sebagai bawahan Gubernur.
Menurutnya, semua itu terlaksana karena Gubernur memerintah-kannya. “Saya lihat Gubernur itu benar. Coba kalau Gubernurnya nggak benar, saya nggak bisa.” Ia memang mendapatkan back up yang sangat kuat dari Pak Gubernur. Sampai-sampai ia berang-gapan kalau Gubernurnya bukan Sutiyoso, mungkin tak bisa melaksakan proyek itu.
“Ini maunya gubernur, kok, kita ikuti maunya Gubernur. Bukan maunya saya, saya ini apa, nggak ada apa-apanya, kan?” katanya kepada Wartawan Tokoh Indonesia. e-ti/ht-crs
***TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)
06 | Satu Tahun TransJakarta
Investor Lirik Tambang Emas Busway. TransJakarta Busway yang pada awalnya dicerca, kini telah menarik minat investor. Ternyata, baru dalam satu tahun pengoperasian Koridor 1, Tije, sebutan keren untuk TransJakarta Busway, telah menjadi tambang emas, bisnis yang menggiurkan dan menguntungkan.
Maka, Kepala Dinas Perhubungan Pemprov DKI Jakarta Rustam Effendi mengatakan, operator Koridor 2 pun akan diserahkan kepada swasta melalui seleksi terbuka. Sementara Badan Pengelola TransJakarta Busway akan berubah menjadi lembaga bisnis.
TransJakarta Busway merupakan sarana angkutan umum massal dengan moda Bus di mana kendaraan berjalan pada lintasan khusus yang berada di sisi kanan jalan. Menggunakan sistem tertutup di mana penumpang dapat naik turun hanya pada halte dengan sistem tiket sekali jalan ataupun berlangganan dengan mekanisme prabayar.
Demi kenyamanan penumpang menuju dan meninggalkan halte, disediakan fasilitas penyeberangan orang yang landai, petugas keamanan pada setiap halte, jadwal waktu perjalanan dan juga tidak adanya pedagang kaki lima baik di halte maupun jembatan penyeberangan kecuali pada tempat-tempat yang telah ditentukan. Selain itu, agar mudah menuju dan meninggalkan lajur Busway disediakan trayek angkutan umum (bus feeder).
Satu tahun silam, tepatnya Kamis 15 Januari 2004 pukul 11.00 WIB, dalam suasana digempur berbagai kritikan pedas, Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso meresmikan peluncuran TransJakarta Busway Koridor 1 jurusan terminal Blok M-Stasiun Kota di depan Pintu I Gelanggang Olahraga Bung Karno.
Gubernur Sutiyoso pada acara itu mengatakan bahwa bus TransJakarta merupakan salah satu dari 15 koridor yang telah direncanakan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Gubernur juga mengungkapkan, sebetulnya selama lebih dari empat dasawarsa, Jakarta tidak memiliki pola jaringan transportasi yang terintegrasi dan transportasi umum tidak pernah dibenahi.
Gubernur mengatakan TransJakarta Busway merupakan jawaban atas kondisi lalu lintas saat ini dan sekaligus menjadi titik awal dari perombakan total sistem angkutan umum dalam bingkai transportasi makro.
Meski peluncuran bus itu diliputi kecaman beberapa kalangan, tapi warga Jakarta tampak menyambut dengan antusias. Apalagi, ketika itu, selama dua minggu, warga Ibu Kota diberi kesempatan menikmati 56 unit bus khusus berpenyejuk udara 24 derajat itu secara gratis. Ribuan warga tua dan muda memadati terminal Blok M, Stasiun Kota dan beberapa halte di jalur busway.
Dua minggu berikutnya, tepatnya 1 Februari 2004, Tije mulai beroperasi secara komersial. Hasilnya pun menggembirakan. Ternyata, Tije yang awalnya dicerca itu, telah menjadi tambang emas dan bisnis jasa angkutan yang menguntungkan.
Kendati sangat disadari bahwa di seluruh dunia tak ada angkutan massal yang bebas subsidi, tapi TransJakarta dipastikan akan berjuang untuk memecahkannya. Tije diyakini akan mampu mandiri secara keuangan dan tetap memberikan pelayanan angkutan terbaik sesuai komitmennya menyediakan angkutan umum yang nyaman, aman, manusiawi dan modern.
Bayangkan terhitung 1 Februari 2004 hingga 21 Januari 2005, pendapatan tiket bus TransJakarta mencapai Rp 41,3 miliar. Pendataan tiket dari 1 Februari hingga 31 Desember 2004 sebesar Rp 38,9 miliar dan 1 Januari hingga 21 Januari, sebesar Rp2,4 miliar. Jumlah penumpang dari 1 Februari 2004 sampai 21 Januari 2005 mencapai 16.867.070 orang. Rekor penumpang tertinggi bulanan pada Desember 2004 sebanyak 1.612.692 orang. Jumlah penumpang dan pendapatan tiket ini telah melampaui target yang dibebankan oleh Pemprov DKI Jakarta.
Bahkan ketika baru enam bulan Tije aktif beroperasi, Andi Rahmah, Peneliti Transportasi Pelangi, menyatakan ternyata telah membuktikan potensinya sebagai tambang emas baru penyumbang Pendapatan Asli Daerah (PAD) Jakarta. Dia menjelaskan, dalam enam bulan keuntungan bersih sebesar 3,488 milyar rupiah yang telah diperoleh TransJakarta.
Berdasarkan hasil perhitungan konsultan keuangan Ernst & Young, konsultan keuangan Pemda Jakarta untuk perencanaan proyek busway Blok M-Kota, total biaya operasi TransJakarta busway adalah Rp. 6.500/ km, di mana titik impas (break even point) akan tercapai pada jumlah penumpang 37.565 orang/ hari.
Berdasarkan analisa Ernst & Young, maka pendapatan TransJakarta selama 160 hari (1 Februari – 11 Juli 2004) adalah 37.565 orang/ hari x 160 hari x harga tiket = 37.565 orang x 160 hari x Rp 2500 = Rp 15.026.000.000.
Sementara berdasarkan data BP TransJakarta pendapatan faktual TransJakarta selama 160 hari dengan jumlah penumpang sebesar 7,405 juta penumpang: 7. 405.827 orang x Rp 2500 = Rp 18.514.567.500. Maka berdasarkan perhitungan itu, keuntungan yang diraih BP TransJakarta selama kurun waktu 160 hari adalah sebesar : Rp 18.514.567.500 – Rp 15.026.000.000 = Rp 3.488.567.500.
Total biaya operasi dimaksud antara lain, biaya kantor BP TransJakarta, PT. JET & PT. Lestari Abadi (operator tiket), biaya pengoperasian bus TransJakarta, pengoperasian halte serta biaya depresiasi. Sementara pembangunan dan pemeliharaan halte, jembatan penyeberangan dan pembangunan jalur busway, tidak termasuk di dalam biaya total operasi.
Perhitungan ini telah menepis anggapan bahwa angkutan umum tidak punya daya jual dan terus menuntut subsidi Pemerintah. Sekaligus mulai mengundang minat para investor memasuki bisnis jasa angkutan umum menguntungkan ini.
Syukuran Sederhana
Pada acara syukuran sederhana di Balai Kota Jumat 14/1/05, Wakil Gubernur Fauzi Bowo dalam sambutannya memaparkan selain dukungan masyarakat, keberhasilan program ini sedikit banyak sangat tergantung pada kekokohan sikap Gubernur Sutiyoso. Fauzi juga memastikan, TransJakarta akan lengkap dalam 15 koridor. Ditegaskan, Pemprov Jakarta tetap berkomitmen menyediakan angkutan umum yang nyaman, aman, manusiawi, dan modern di Jakarta.
Tahun ini, Jakarta akan segera memiliki koridor II dan III, dari Pulogadung ke Kalideres. Lalu, pembangunan monorel dan subway juga akan dimulai. “Ini jadi tugas berat Badan Pengelola sebagai regulator pelayanan untuk mensinergikan semua ini,” harap Fauzi.
Acara syukuran sederhana itu juga dihadiri Wakil Ketua MPR AM Fatwa, Ketua DPRD DKI Jakarta Ade Surapriatna, Kepala Dinas Perhubungan Pemprov DKI Jakarta Rustam Effendi dan jajaran kepala dinas lainnya, Kepala Badan Pengelola TransJakarta Irzal Z Djamal, jajaran Direksi operator bus PT JET, Direksi operator tiketing PT Lestari Abadi, para operator bus dan wakil dari masyarakat. Dalam kesempatan itu, dipaparkan pula kilas balik satu tahun beroperasinya TransJakarta.
Akuntabilitas dan Transparansi
Kemudian pada 1 Februari 2004, Badan Pengelola (BP) TransJakarta Busway melakukan paparan publik menyambut satu tahun operasinya, sekaligus sebagai bagian perwujudan akuntabilitas dan transparansi pengelolaannya kepada publik. Paparan publik itu digelar di kantor BP TransJakarta, di Jalan Trunojoyo Jakarta Selatan (eks Kantor Walikota).
Dalam paparan tersebut tampil pembicara Kepala BP TransJakarta, Irzal Z Djamal, Ketua Center for Transport Studies (CTS) Universitas Indonesia Prof. Dr. Sutanto Soehodo dan anggota Dewan Transportasi Kota Jakarta (DTK) sebagai panelis. Acara itu dihadiri kalangan akademisi, LSM, komunitas penguna bus Tije (sebutan untuk TransJakarta) serta masyarakat umum.
Memang tak terasa, TransJakarta telah satu tahun, sejak 15 Januari 2005, memberikan pelayanan kepada masyarakat. Kepala Badan Pengelola TransJakarta, Irzal Z Djamal mengakui, selama setahun ini pelayanan yang diberikan belum sempurna. Dia mengaku masih belajar banyak. Namun, dia memastikan, dengan kehadiran Tije, langkah Gubernur Sutiyoso dan Pemprov DKI Jakarta menyediakan angkutan umum sudah berada di jalur yang benar.
Dalam setahun masa perjalanan ini, Irzal menyakinkan, program TransJakarta telah menciptakan tradisi baru dalam bertransporatasi di Jakarta. Telah melakukan perubahan signifikan atas etos warga Jakarta. Mobilitas masyarakat yang makin tinggi, budaya antre yang makin baik dan etos kerja yang makin mantap. Menurutnya, perubahan-perubahan kultur ini sedikit banyak telah membuat Jakarta menjadi kota yang siap bersaing dengan kota-kota besar dunia lainnya.
Di samping menciptakan kenyamanan, kelancaran serta ketenangan bagi penumpang dalam bepergian serta pendapatan yang menggembirakan, jumlah pemakai mobil pribadi yang beralih ke TransJakarta pun ada sekitar 14 persen.
Meski demikian, menurut Djamal, ada beberapa hal yang harus dibenahi dan diperbaiki untuk memberikan pelayanan yang lebih baik, di antaranya, tarif TransJakarta perlu disesuaikan sesuai dengan jarak tujuannya.
Dengan penetapan tarif sesuai jarak maka masyarakat yang hanya ingin turun di halte tertentu bisa menggunakan TransJakarta tanpa harus membayar Rp 2.500, melainkan bisa kurang dari Rp 2.500. Karena kalau tetap membayar Rp 2.500 orang bisa memilih kendaraan umum lain dengan tarif Rp 1.000.
Penetapan tarif sesuai dengan jarak akan menjadi pertimbangan ke depan dalam upaya memberikan pelayanan yang baik dan adil. Karena dengan demikian memungkinkan semakin banyak warga Jakarta menggunakan TransJakarta. Menurut Djamal, rasanya tidak adil, kalau seseorang hanya turun di dua halte atau tiga halte berikutnya membayar Rp 2.500 dan seseorang yang naik dari Blok M dan turun di Kota tetap membayar Rp 2.500. Kalau jauh dan dekat jaraknya tetap membayar Rp 2.500 rasanya tidak adil,” tegas Irzal.
Masalah lain yang harus menjadi perhatian adalah ketepatan waktu, seperti, setiap dua menit TransJakarta masuk halte. Selama ini masih sering terlihat dalam waktu yang sama, ada dua unit TransJakarta berhenti di halte yang sama. Di samping itu, bus feeder pun masih harus menjadi perhatian.
Lembaga Bisnis dan Swasta
Badan Pengelola TransJakarta sendiri dalam waktu dekat akan berubah bentuk menjadi institusi bisnis. Mengenai kemungkinan bentuk badan hukumnya masih dibahas, apakah berbentuk perseroan terbatas atau perusahaan daerah. Namun, menurut Kepala Dinas Perhubungan Pemprov DKI Rustam Effendi, meskipun berorientasi bisnis, BP TransJakarta akan tetap berpedoman pada standar pelayanan masyarakat dan pada awalnya masih akan disubsidi dari dana APBD.
Dinas Perhubungan telah menunjuk konsultan mengenai perubahan bentuk kelembagaan BP TransJakarta itu. Diharapkan paling lambat akhir Februari ini pemaparan konsultan mengenai hal ini sudah ada. Setelah itu akan ditetapkan oleh Gubernur dalam suatu surat keputusan, apakah berbentuk PT atau PD.
Sementara pengoperasian busway koridor II (Pulo Gadung-Harmoni) dan III (Harmoni-Kalideres, sementara ada perubahan rute melalui Tomang dan Suryopranoto menunggu selesainya jembatan layang di Jalan Hasyim Asyari) juga akan melibatkan investasi swasta, baik untuk pembelian bus maupun pertiketan.
Sehubungan dengan itu, Dinas Perhubungan dan BP TransJakarta sudah merumuskan setidaknya lima patokan yang harus dimiliki operator yang berminat. Kelima kriteria utama yang akan jadi penilaian itu adalah organisasi, aset fisik, keuangan, aset karyawan dan pemasok serta aset pelanggan.
Persyaratan bidang organisasi, ada beberapa turunan bidang, antara lain administrasi yang meliputi lama perusahaan berdiri, pengalaman dalam menjalankan operasi bus dan jasa outsourcing operator, support, stabilitas keuangan, juga sertifikasi. Juga, leadership, sejauh mana strategi, pengetahuan, values dan kultur perusahaan, brand perusahaan, inovasi, sistem dan proses kerja lapangan, dan juga termasuk kepemilikan hak paten atau proteksi aset.
Persyaratan bidang fisik, operator harus menyediakan bus dengan spesifikasi dari Pemprov DKI Jakarta, tingkat pemeliharaan, depo dan kantor, pasokan suku cadang, juga nilai-nilai asetnya. Sedangkan persyaratan bidang keuangan, dilihat pada tingkat laporan keuangan, kas, piutang, hutang, nilai investasi dan ekuitasnya.
Persyaratan aset karyawan dan pemasok, juga akan dinilai bagaimana proses rekruitmennya, hingga lalu lintas manajemen dari petugas lapangan hingga ke tingkat pemegang keputusan. e-ti | ht-crs