
[OPINI] – SALAH satu topik penting yang dibicarakan dalam Sidang Raya ke-9 Dewan Gereja-gereja se-Dunia (DGD) di Porto Alegre-Brazil adalah tentang pluralitas agama-agama dalam kaitannya dengan pemahaman diri kekristenan (Religious Pluralism and Christian Self-Understanding).
Sudah tidak dapat diabaikan, bahkan hampir merupakan “hukum besi” di dalam perkembangan peradaban abad ini bahwa kita hidup di dalam pluralitas masyarakat, baik kebudayaan maupun agama-agama. Tidak ada lagi ruang di dunia ini di mana hanya terdapat satu kebudayaan dan agama yang tidak dipengaruhi oleh kebudaya- an-kebudayaan dan agama-agama lainnya.
Proses pluralisasi yang menguasai hampir seluruh bidang kehidupan juga mempengaruhi kehidupan keberagaman kita. Ini mengisyaratkan bahwa tidak mungkin lagi, bahkan tidak boleh agama-agama mengisolasi dirinya di dalam dinding-dinding tradisi mereka sendiri. Bahkan, munculnya sikap-sikap ekstrem di dalam agama-agama disebabkan terutama oleh sikap mengisolasi diri itu. Ada semacam sikap triomfalisme di situ yang mengesampingkan agama-agama lain. Seakan-akan para penganut agama-agama lain telah diperuntukkan bagi kebinasaan. Padahalnya kita semua, apapun agama kita, adalah peziarah bersama menuju masa depan dalam upaya kita mencapai kebenaran. Tak Seorang pun yang boleh mengklaim bahwa ia telah menggenggam kebenaran itu di dalam tangannya sendiri. Allah begitu mahakaya dan maha sempurna, sehingga tidak mungkin dapat dibahasakan secara penuh hanya oleh cara formulasi tertentu oleh tradisi agama tertentu.
Tantangan
Maka sikap yang memut- lakkan dan mengklaim kebenaran dalam tangan sendiri itu tidak dapat dipertahankan lagi. Kekristenan yang untuk waktu yang cukup lama melihat dirinya sebagai satu-satunya agama yang memiliki kebenaran, justru ditantang oleh kehadiran dari agama-agama lain itu. Kekristenan dengan demikian ditantang untuk melihat kehadiran agama-agama lain itu secara baru.
Kekristenan ditantang untuk mengakui kehadiran “yang lain” (the others) dalam perbedaan-perbedaan mereka, menyambut mereka, kendati kadang-kadang mereka mengancam kita. Dengan kata-kata lain, kita (kekristenan) ditantang untuk memperkembangkan suatu iklim spiritual (spiritual climate) dan pendekatan teologis yang menyumbang kepada terciptanya relasi-relasi yang kreatif dan positif di antara tradisi-tradisi dari agama-agama dunia.
Maka, sebagai yang melakukan ziarah bersama, kita saling memperkaya spiritualitas kita masing-masinng. Perjalanan ziarah spiritual kekristenan sendiri telah memperkaya dan membentuk perkembangannya sendiri. Kekristenan misalnya dipengaruhi oleh kehidupan Yahudi-Helenistis.
Kekristenan pun pernah mengalami apa artinya menjadi “orang asing”(stranger), dan sebagai demikian dianiaya dan ditindas. Tetapi ketika kekristenan menjadi agama dunia, maka ia pun mengalami keterpecahan di mana-mana. Keterpecahan itu tidak dapat dilepaskan dari kebudayaan yang mempengaruhinya.
Maka, dalam kaitan dengan kebudayaan ini, perlu ditegaskan, kekristenan justru dibentuk olehnya. Tapi hal yang sama dapat pula dikatakan untuk agama-agama lain. Bahkan tidak ada satu agama pun yang tidak dipengaruhi oleh agama-agama lain dalam perjalanan bersama ini.
Menghadapi kenyataan-kenyataan yang tidak terelakkan ini, maka pertanyaannya adalah bagaimanakah kekristenan menghadapinya? Satu kata penting yang dikemukakan dalam Sidang Raya itu adalah “hospitality” (keramahan). Keramahan dilihat sebagai kata kunci hermeneutis dan titik masuk ke dalam percakapan-percakapan selanjutnya. Bahkan di dalam pergaulan-pergaulan yang lebih mendalam.
Tentu saja ini mempunyai akarnya di dalam Alkitab. Allah adalah Allah semua bangsa-bangsa, demikian ditegaskan di dalam Perjanjian Lama. Ia adalah Allah yang aktif di dalam semua ciptaan, bahkan sudah sejak awal. Sedangkan di dalam Perjanjian Baru, inkarnasi (menjadi daging-Nya) Firman Allah, yang oleh rasul Paulus diartikulasikan sebagai keramahan, dan sebagai kehidupan yang mengarah kepada “orang lain”. Dalam bahasa puji-pujian (doksologi), Paulus menegaskan, bahwa Ia (Kristus) berada dalam rupa Allah, namun tidak memandang kesetaraan dengan Allah itu sebagai yang dipertahankan. Sebaliknya, Ia mengosongkan dirinya dan taat hingga mati di kayu salib.
Bagi orang Kristen, pengosongan diri ini, di mana Kristus mengambil kemanusiaan kita sebagai wajah-Nya, merupakan inti (pusat) dari pengakuan iman kita. Maka tidak diragukan lagi, kita pun dipanggil untuk “mengosongkan diri” menyambut “yang lain”itu sebagai saudara. Dalam bahasa yang dipakai oleh Sidang Raya PGI yang baru lalu, Kristus adalah manusia Bagi Orang Lain. Maka risikonya adalah, gereja pun mestilah menjadi “gereja Bagi Orang Lain”. Itu tidak berarti bahwa sikap seperti itu bukannya tanpa risiko. Dalam situasi dimana ketegangan-ketegangan politik dan agama terjadi, sikap-sikap keramahan membutuhkan keberanian dan ketabahan. Bisa saja sikap keramahan ini ditafsirkan lain, misalnya sebagai taktik baru untuk kristenisasi. Namun, budaya keramahan (the culture of hospitality) mesti terus diperkembangkan. Inilah yang memberi harapan bagi lestarinya kehidupan manusia (dan kemanusiaan).
Apa maknanya ini bagi kita di Indonesia ? Orang Indonesia dikenal sebagai orang- orang yang sangat ramah tamah, yang menyambut orang-orang lain, bukan sekadar sebagai tamu, tetapi sebagai keluarga sendiri. Keberbagaian para penganut agama-agama di Indonesia mestinya tidak harus merupakan alasan untuk saling curiga satu terhadap yang lainnya.
Kita adalah keluarga besar bernama Indonesia. Kita hidup bersama di dalam sebuah “rumah” bernama Indonesia. Rumah itu telah kita bangun bersa-ma dengan darah dan airma-ta Maka sebagai keluarga, keramah- tamahan mestinya menjadi budaya yang dihirupi dan yang mengarahkan kehidupan. Para penganut agama-agama yang berbeda-beda itu mestinya makin membuka diri kepada “the others”, siapa pun mereka. * Penulis adalah Ketua Umum PGI (Suara Pembaruan, 22 Februari 2006)
*** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)
02 | Hidup yang Penuh Pengharapan
Tentu saja ini bahasa agama. Dan, bahasa agama selalu bersifat optimis. Bahasa itu selalu menunjuk pada sesuatu yang melampaui ranah sejarah ini. Bahasa agama selalu mengatasi apa yang dialami sekarang. Memang mesti begitu. Kalau tidak, agama akan kehilangan maknanya bagi kehidupan manusia. Agama akan kehilangan gregetnya bagi keselamatan manusia. Bukankah agama senantiasa menyediakan ruang bagi yang berputus asa, agar dengan demikian kembali lagi melanjutkan hidup?
Alkisah, adalah seorang bapak. Dulu ia seorang sukses. Kuat secara fisik. Sehat walafiat, tidak kurang suatu apa pun. Saleh dalam kehidupan iman. Setiap hari bergaul dengan Tuhan melalui pembacaan Alkitab dan berdoa. Mempunyai keluarga bahagia. Tetapi, sekarang ia duduk di kursi roda.
Beberapa tahun lalu, ia terjatuh di kamar. Ada sesuatu yang salah dengan tulang punggungnya. Dioperasi. Sayang, bukannya bertambah baik. Malah, seakan-akan ia memikul beban berat. Dilakukan operasi perbaikan. Juga tidak berhasil. Lalu ia juga menderita stroke. Jadilah ia duduk di kursi roda. Berminggu-minggu, berbulan-bulan. Bahkan tahunan.
Sakit itu telah mengubah sama sekali langgam hidupnya. Dari seorang pemrakarsa, menjadi seorang yang hanya menantikan uluran tangan orang. Dari seorang yang aktif, menjadi seorang yang pasif. Dalam tahun-tahun terakhir ini, malah ia tidak bisa lagi berbicara kendati masih bisa mengikuti apa yang dikatakan orang.
Sang istri dengan setia mendampingi sang suami. Sehari-hari ia melayani segala keperluannya. Mulai dari mandi sampai berpakaian, mulai dari makan sampai dengan menyeka air liur yang mengalir tanpa kontrol. Itu telah berjalan berminggu-minggu, berbulan-bulan, bahkan tahunan. Dan masih akan terus terjadi. Namun, dengan telaten ia terus melakukan pelayanannya. Juga dengan kegembiraan. Ia berceritera, bahwa bapak senangnya ke gereja. Memuji Tuhan. Berdoa, dan bertemu dengan orang-orang lain. Ia rindu mendengarkan Firman Tuhan.
*
DARI mana sang suami memperoleh kekuatan begitu besar untuk bertahan? Dari mana juga sang istri mendapatkan energi untuk terus melayani tanpa henti, dan dengan kesetiaan besar?
Tentu saja karena ada keyakinan kuat, dan kepercayaan teguh kepada Tuhan. Ada pengharapan, Tuhan pasti akan memberikan banyak pelajaran melalui kesakitan itu. Banyak hikmah dianugerahkan Tuhan, yang sering kali tidak kita pahami sekarang.
Ketika saya melakukan kunjungan pastoral kepada keluarga itu, dengan sengaja saya membacakan Mazmur 23. Inilah sebuah mazmur yang sangat indah, yang menggambarkan relasi Allah dan manusia. Allah diibaratkan sebagai Gembala. Sebagai demikian, Ia membawa domba-dombanya ke padang yang berumput hijau dan ke air yang tenang. Ini semua menyegarkan jiwa. Ia menuntun di jalan yang benar. Menyejukkan. Menenangkan.
Tetapi satu ayat lebih menarik lagi. Dan sangat menghiburkan. Ayat itu berbunyi: “Sekalipun aku berjalan dalam lembah kekelaman, aku tidak takut bahaya, sebab Engkau besertaku.”
Dalam Alkitab terjemahan lama, “lembah kekelaman” diistilahkan sebagai “lembah bayang-bayang maut”. Itu terjemahan dalam bahasa Indonesia, sheol dalam bahasa Ibrani. Orang Ibrani yakin, sheol adalah tempat mengerikan, yang dilalui orang- orang yang meninggal dunia. Setiap orang takut melewati lembah yang mengerikan itu. Tetapi, justru di dalam lembah itu, Allah berjalan bersama manusia.
Mestinya Ia mampu meniadakan lembah itu. Tetapi kalau Dia menghapuskannya, manusia bukan lagi manusia. Maka dengan tetap membiarkan lembah itu, manusia menjalani kemanusiaannya secara wajar. Tetapi bahwa Allah berjalan bersama manusia, bahkan dalam lembah kekelaman itu, memberikan pengharapan kepada manusia.
Ialah laksana energi yang di-“charge”-kan ke dalam baterai yang telah kehilangan kekuatannya. Saya sangat yakin, sang suami dan sang istri diberi kekuatan mahadahsyat itu sehingga mereka bisa bertahan. Demikian juga dengan anak-anak mereka.
*
PERAYAAN Paskah tahun ini, oleh Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia ditempatkan di bawah tema Pengharapan. “Terpujilah Allah dan Bapa Tuhan kita Yesus Kristus, yang karena rahmat-Nya telah melahirkan kita kembali oleh kebangkitan Yesus Kristus dari antara orang mati, kepada hidup yang penuh pengharapan” (I Petrus 1:3).
Paskah adalah ketika kehidupan baru diberikan. Maka dalam pengharapan akan adanya hidup baru itu, kita dapat lagi melanjutkan kehidupan selanjutnya.
Pilihan tema ini bukan tanpa sebab. Bangsa kita baru saja mengalami rentetan bencana alam yang mengerikan. Banjir, topan, tanah longsor, asap, dan gempa bumi.
Tsunami di Aceh dan Nias seakan-akan merupakan ibu malapetaka abad ini. Mungkin juga dalam abad berikutnya belum tentu ada lagi tsunami sedahsyat itu, dengan skala kerusakan yang luar biasa besarnya.
Maka, mestinya ada alasan untuk berputus asa. Namun, tidak demikian. Kita menyaksikan, bangsa kita bangkit lagi. Dari puing-puing keruntuhan kehidupan baru dirajut. Dari runtuhan-runtuhan tembok, pengharapan ditegakkan. Ada hidup, ada hayat, ada masa depan.
Tepat untuk mengutip di sini penggalan narasi Ws Budi S Tanuwibowo, Ketua Matakin, yang diucapkan dalam perayaan Tahun Baru Imlek beberapa waktu lalu, “Bapa bangsaku pernah berkata, bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak takut menghadapi tantangan. Bangsa yang besar tidak akan mengeluh dan berpaling lari dari penderitaan.
Bangsa yang besar senantiasa siap digembleng dalam kawah candradimuka, Digembleng, hampir lebur, bangun kembali. Digembleng, hampir hancur lebur, bangun kembali!”
Inilah pengharapan. Bahwa senantiasa ada sinar harapan baru di dalam kemelut petaka yang dialami bangsa kita.
*
UMAT Kristiani Indonesia sedang memasuki minggu-minggu sengsara. Inilah minggu ketika kesengsaraan Yesus direnungkan secara mendalam. Inilah minggu ketika umat Kristiani mencoba memahami (dengan hati) makna Allah berpihak pada penderitaan manusia. Bahwa Allah ini bukan Allah yang tahunya menghakimi dari surga, tetapi Yang mengasihi, bahkan masuk jauh ke dalam kehinaan dan kepapaannya manusia.
Tetapi, inilah pula minggu-minggu ketika umat Kristiani menghayati penderitaan manusia secara intens. De- ngan penghayatan itu, umat Kristiani didorong untuk merasakan bagaimana rasanya menderita sengsara. Masih banyak anak manusia di seluruh dunia ini yang terus menghadapi penderitaan dan kesengsaraan. Namun Allah yang berpihak pada penderitaan ini, adalah pula Allah yang mengatasinya. Maka sungguh-sungguh Ialah Allah Pengharapan.* Penulis adalah Ketua Umum PGI => Suara Pembaruan, 3 Maret 2005
*** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)
03 | Janganlah Takut sebab Aku Menyertai Engkau
ADA banyak alasan untuk takut. Ada alasan sepele. Ada alasan serius. Bahkan sangat serius. Apabila orang tidak mau mandi karena takut kedinginan, itu sepele. Tetapi, kalau orang tidak berani berjalan sendiri karena takut dirampok, itu serius. Lebih serius lagi apabila orang takut berbicara karena takut ditangkap penguasa yang represif. Sangat-sangat serius apabila orang takut kepada ketakutan itu sendiri.
Ketakutan adalah sesuatu yang melekat pada diri seseorang. Ialah suatu mekanisme pertahanan diri guna menyelamatkan yang bersangkutan dari berbagai bahaya. Cobalah membayangkan seseorang, yang misalnya sama sekali tidak takut terhadap api, lalu dengan enaknya menceburkan diri ke dalamnya. Tentu saja tamat riwayatnya. Maka, ketakutan seperti itu dibutuhkan.
Tetapi, tentu saja ada ketakutan yang sama sekali tidak diperlukan. Bahkan mesti dihindari. Apabila misalnya seseorang begitu rupa ketakutannya terhadap bahaya kontaminasi lingkungan, sehingga bahkan untuk bergerak pun tidak berani, inilah ketakutan yang tidak perlu.
Konon, ada seorang bapak yang sangat takut anaknya terserang penyakit apabila anak itu menyentuh tanah. Maka ia menjaga sedemikian rupa agar anak itu tidak bersentuhan dengan tanah. Pada suatu hari, tanpa sengaja anak itu bersentuhan dengan tanah. Akibatnya sudah dapat diduga. Anak itu menderita sakit yang luar biasa sebab tubuhnya tidak biasa memproduksi kekebalan tubuh. Ketakutan seperti ini mesti diatasi. Orang mesti mampu menghilangkan rasa takut sehingga ada kemungkinan untuk meneruskan kehidupan.
*
TEMA Pesan Natal Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) dan Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI) tahun ini adalah seruan untuk jangan takut. Mengapa seruan itu diperlukan? Kedua lembaga keagamaan itu mengonstatir bahwa bangsa kita memang sedang berada dalam ketakutan.
Sebagai bangsa kita masih menghadapi berbagai persoalan yang sungguh-sungguh tidak ringan. Kita masih belum juga bebas dari berbagai krisis yang melanda kita, kendati tanda-tanda ke arah perbaikan sudah tampak juga. Kita masih mengalami krisis kepercayaan di berbagai bidang. Pada gilirannya, hal ini melahirkan iklim politik yang tidak sehat.
Dikonstatir pula, kita sedang mengalami suatu keadaban yang diwarnai rasa curiga, iri hati, perselisihan, dan balas dendam. Kita masih jauh dari sikap kedewasaan di dalam menyikapi berbagai hal. Kita menyelesaikan persoalan-persoalan secara reaktif saja, sementara pemikiran-pemikiran konseptual dan substansial hampir-hampir absen dari kehidupan kita.
Seakan-akan itu belum cukup. Kita masih lagi diganggu oleh bencana alam, wabah penyakit dan busung lapar yang melanda beberapa wilayah di Tanah Air. Dalam bulan- bulan terakhir ini kebebasan beragama dan mengekspresikan iman mengalami cobaan yang tidak bisa diremehkan.
Gelombang penutupan rumah-rumah ibadah marak di beberapa wilayah Tanah Air kita. Itu semua ditengarai sebagai kurang adanya tenggang rasa yang sesungguhnya merupakan watak otentik bangsa kita.
Wajarlah apabila suasana seperti itu telah membuat kita sebagai bangsa takut untuk memandang masa depan. Kita bertanya, sanggupkah kita keluar dari situasi sulit yang melilit kehidupan kita? Kapankah semua persoalan itu berakhir?
*
MAKA perayaan Natal tahun ini merupakan momentum penting untuk merenungkan dengan sungguh-sungguh kemungkinan kita memperbarui tekad meneruskan perjalanan hidup kita sebagai bangsa. Seruan, “Janganlah takut…” memberikan penghiburan dan kekuatan. Mengapa? Karena Allah sendiri yang menyerukan itu. “Janganlah takut sebab Aku menyertai engkau…” sebagaimana ditulis nabi Perjanjian Lama, Yesaya, adalah seruan Allah kepada umat-Nya Israel yang sedang berada dalam ketakutan.
Bangsa ini sedang berada dalam tawanan bangsa asing. Kendati mereka diberikan kebebasan terbatas guna menjalankan ibadahnya, tetapi mereka tetap bangsa tawanan. Masa depan mereka serba tidak jelas. Bahkan mereka terancam kehilangan identitasnya sebagai bangsa. Betapa tragisnya apabila itu terjadi.
Maka, pantaslah apabila mereka menanti-nantikan tibanya Sang Pembebas. Kapan tibanya, sama sekali tidak jelas. Seperti menunggu Godot. Tetapi seruan “Jangan Takut” itu menguatkan lagi harapan mereka. Dengan pengharapan itu mereka memperoleh energi untuk meneruskan kehidupan. Karena sesungguhnya Allah adalah Allah Masa Depan.
*
RELEVANKAH seruan itu bagi bangsa Indonesia? Lebih-lebih di masa sekarang? Tentu saja sangat relevan. Allah adalah Allah bangsa-bangsa. Artinya Ia juga Allah bangsa Indonesia. Maka seruan “Jangan takut…” adalah pula seruan yang ditujukan kepada bangsa kita yang sangat taat beragama ini.
Allah ini adalah Allah yang melampaui berbagai formulasi manusia tentang Dia. Allah ini melampaui berbagai wacana tentang agama. Dia tidak bisa disekat dalam sekat-sekat buatan manusia. Allah ini adalah Allah yang peduli kepada nasib manusia, termasuk manusia Indonesia.
Kalau setiap orang Indonesia adalah sungguh-sungguh makhluk beragama (homo religiosus), mereka pasti peka terhadap seruan ini. Alhasil, perasaan optimisme akan kembali lagi mewarnai rona kehidupan kita. Pengharapan dipulihkan lagi.
Kita bisa lagi saling percaya. Kita mampu lagi menghilangkan berbagai kecurigaan di antara kita. Kita tidak lagi disekat oleh berbagai pembatasan atas dasar suku, agama, ras dan golongan. Sebaliknya kita menjadi manusia bebas tanpa beban. Yang memandang relasi-relasi antarmanusia secara polos. Yang melihat sesama sebagai sungguh-sungguh sesama, bukan musuh yang mesti dimusnahkan.
Kalau itu adalah keyakinan seluruh bangsa kita, kita akan mempermalukan siapa saja yang mau bermain-main dengan kehidupan orang lain. Kita akan membuat tersipu-sipu mereka yang berkehendak jahat mau menjadikan perayaan Natal tahun ini sebagai ajang memperlihatkan kuasa kejahatannya.
Sebaliknya, kita akan sungguh-sungguh menghayati makna kehidupan sejati, ketika saling peduli merupakan sikap dan perilaku kita sehari-hari.
Yesus bersabda: “Aku datang supaya mereka mempunyai hidup, dan mempunyainya dalam kelimpahan” (Yohanes10:10b). *Suara Pembaruan, 16 Desember 2005