Pendiri Museum Neka

Suteja Neka
 
0
638
Suteja Neka
Suteja Neka | Tokoh.ID

[DIREKTORI] Hanya satu hal yang berubah pada Pande Wayan Suteja Neka, usianya yang bertambah. Umurnya boleh 68 tahun, tetapi caranya berbicara dan vitalitas hidupnya yang membara membuat aktivitas dan ide-idenya tak kunjung surut.

Pada Juli 2007 lalu, saat Museum Neka yang ia dirikan pada 7 Juli 1982 berusia 25 tahun, ia menambah koleksi museumnya dengan lebih dari 200 keris. Asal tahu, semua keris itu sudah ia kumpulkan sejak tahun 1970-an silam.

Sebagai kurator dan pemilik museum yang sangat terkenal di kawasan Ubud, Neka hanya berangkat dari kecintaan dan sedikit darah seni. Tak seorang pun sejak dulu hingga kini di Bali yang pernah terlibat langsung dengan jatuh bangun perkembangan seni rupa di daerah itu, kecuali Neka.

Suami dari Ni Gusti Made Srimin ini secara intens bergaul dengan Rudolf Bonnet (Belanda) dan Walter Spies (Jerman), dua tokoh yang menjadi cikal-bakal perkembangan kesenian, khususnya seni rupa modern di Bali. Asal tahu, bentuk seni rupa gaya ubud, sebagaimana yang kini begitu marak dijual di pasar-pasar seni, hasil pengajaran yang dilakukan kedua orang asing itu. Sekitar tahun 1930-an mereka mendirikan kelompok Pita Maha, sebuah wadah yang menebarkan semangat modernisme di dalam seni rupa Bali.

Suteja Neka juga menjadi tempat berlabuh pelukis berdarah Belanda yang sudah menjadi warga Indonesia, Arie Smit, yang mengajari anak-anak di kisaran Penestanan, Ubud, melukis dengan gaya Young Artist pada tahun 1960-an. Dan Young Artist menjadi salah satu gaya lukisan yang tercatat dalam sejarah seni rupa modern Bali. Saat maestro seperti Affandi berada pada masa-masa krisis keuangan, Neka selalu bersedia menjadi pembeli pertama karya-karyanya. Tidak heran jika Museum Neka kemudian menyimpan karya-karya para perupa ini dalam jumlah dan kualitas yang lebih baik dari tempat lain.

Setelah berusia 25 tahun, Museum Neka yang sebenarnya didedikasikan untuk Pande Wayan Neka (1917-1980), pemahat terkenal, ayah Suteja Neka, memiliki koleksi tak kurang dari 400 benda seni. “Pada pembukaan tahun 1982 kami hanya punya 100 koleksi,” kata Suteja Neka, awal November 2007 di Ubud, Bali. Belakangan sejak Juli 2007 di salah satu bilik museum itu tersimpan ratusan keris dengan tahun pembuatan berkisar dari abad XIII sampai masa kontemporer saat ini.

“Tepatnya kami baru berhasil mengumpulkan 218 keris, terdiri dari 18 bilah keris pusaka, keris kuno 63 bilah, serta selebihnya keris-keris garapan para empu masa kini,” ujarnya berapi-api. Siang itu lelaki kelahiran 21 Juli 1939 ini mengenakan pakaian adat Bali lengkap dengan destar yang bertengger di kepalanya. Ia mengaku baru saja mengikuti sebuah upacara di Ubud. Seperti biasa siang itu Museum Neka dipadati wisatawan asing. Beberapa di antaranya bahkan dengan riang mengajak Neka berfoto.

Kecintaan

Kecintaan Neka kepada keris bukanlah sebuah hobi dadakan. Leluhurnya, Pande Pan Nedeng, adalah empu keris dari masa Kerajaan Peliatan, Ubud, semasa pemerintahan raja ketiga, Ida Dewa Agung Djelantik, yang bertakhta pada 1825-1845. Setelah Pan Nedeng meninggal, keahlian membuat keris diwariskan kepada anaknya, Pande Made Sedeng, yang tak lain adalah kakek buyut dari Suteja Neka.

Sebagai keluarga pande (pada zaman kerajaan mereka adalah para ahli tempa logam), ayah Suteja Neka, Pande Wayan Neka, memang tak menggeluti logam. Wayan Neka tak lain adalah seniman yang memahat patung garuda setinggi tiga meter untuk New York Fair di Amerika Serikat tahun 1964 dan Expo’70 Osaka di Osaka, Jepang.

Advertisement

“Nah, saya bukan seniman, tetapi tetap deket sama para seniman,” ujar Suteja Neka. Jika kini ia “memproklamasikan” diri sebagai kolektor keris, sesungguhnya lebih berorientasi pada penghormatan terhadap kecakapan para leluhurnya yang sudah mencintai penempaan logam sejak masa kerajaan dahulu.

Lebih dari pada itu, tambahnya, ketika lembaga seperti UNESCO mengakui keris sebagai karya agung warisan kemanusiaan milik seluruh bangsa di dunia pada 25 November 2005 sebenarnya itulah momentum penghargaan dan pengakuan dari dunia terhadap kebudayaan Indonesia. “Ini penting, terlebih seperti sekarang di mana ada bangsa lain yang tak jemu-jemunya mengklaim kesenian dan kebudayaan hasil karya bangsa kita,” ujar Neka.

Upaya Neka menggabungkan keris dengan lukisan dalam satu lokasi museum bukanlah tanpa alasan. Menurut dia, keris sejauh ini senantiasa dipandang dari sisi kebertuahan serta keterkaitannya sebagai sarana ritual semata-mata. Padahal keris juga menyimpan kekayaan seni rupa yang luar biasa. “Dalam sebilah keris ada beragam ukiran, bahkan sarungnya pun diberi ornamen seni rupa yang menarik. Jadi keris jangan hanya dilihat sebagai benda yang memiliki energi, tetapi juga diciptakan dengan cita rasa seni rupa yang tinggi,” tutur Neka.

Unsur-unsur perupaan itulah yang membuat Neka memburu keris sampai ke berbagai pelosok kampung. Hal yang paling menggembirakan adalah ia berhasil mengoleksi keris bernama Keris Pijetan, yang berdasarkan Prasasti Pura Dadia Pande Padukuhan, Menanga, Karangasem, diciptakan oleh Empu Geni pada abad XIII. Keris ini dibuat dengan cara memijat permukaan logam yang masih membara. Oleh karena itu, pada permukaannya terdapat bekas pijatan-pijatan tangan penciptanya.

Suteja berhasil mendapatkan keris istimewa ini dari seorang kolektor bernama I Wayan Tika asal Kabupaten Bangli. Bahkan dari kolektor tradisional ini Neka mendapatkan tak kurang dari 30 bilah keris dari berbagai usia. “Semua itu saya peroleh karena Wayan Tika percaya kalau semua koleksi akan saya jaga dengan baik,” ujar Neka.

Jadilah kini keris bersanding dengan ratusan karya seni rupa di sebuah museum seni yang pertama-tama berdiri di kisaran Ubud. Pembukaan bilik keris itu, kata Neka, semakin meluaskan pemaknaan terhadap elemen-elemen yang membentuk seni rupa. Namun, hal paling penting dari semua itu, pengakuan bahwa keris pantas diperkenalkan pada khalayak sebagai karya perupaan yang didekati dengan pendalaman batin. Harusnya seluruh seni kita lahir dari kedalaman batin sehingga semua karya adalah belahan jiwa para penciptanya. Dan seni dilahirkan bukan untuk menghamba pada materi, tetapi ia memancarkan cahaya kecerahan kepada setiap penikmatnya…. (Putu Fajar Arcana, Kompas 11 Desember 2007) ti

Data Singkat
Suteja Neka, Pendiri Museum Neka / Pendiri Museum Neka | Direktori | Seniman, museum, neka

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini