Pengembangan Usaha Kecil, Masih Retorika
Azwir Daini Tara
[DIREKTORI] Sejarah usaha kecil – menengah dan koperasi, sejak awal kemerdekaan Indonesia, hingga kini tetap belum pernah mencapai masa keemasannya. Ia tetap diperlakukan sebagai anak tiri dalam perekonomian nasional, walaupun bangsa ini telah banyak memetik hasil jerih payahnya. Untuk memperbincangkan masalah ini, Reporter Tokoh Indonesia telah mewawancarai DR. H. M. Azwir Daini Tara, Wakil Ketua Komisi V DPR-RI yang merupakan salah satu di antara sekian banyak tokoh yang concern memperjuangkan kebangkitan Usaha Kecil Menengah dan Koperasi, demikian petikannya:
Sebagai salah satu tokoh yang ikut berjuang dalam upaya pengembangan sektor usaha kecil-menengah dan koperasi (UKM), bagaimana sesungguhnya Anda melihat keberadaan sektor ini?
Bagaimana pun bentuknya, usaha kecil-menengah dan koperasi (UKM) adalah entitas ekonomi yang telah memberi keuntungan ekonomi dan pekerjaan bagi para pelakunya. Dari sisi potensinya, sektor usaha kecil memiliki prospek yang sangat baik. Hal ini merupakan sesuatu yang nyata, karena tidak sedikit perusahaan yang menjadi besar justru berawal dari usaha kecil. Misalnya, dari home industry menjadi industri besar. Selain itu, ketahanan sektor ini juga sangat kuat. Hal ini juga sudah terbukti ketika krisis ekonomi melanda Indonesia pada pertengahan 1997, sektor usaha kecil-menengah dan koperasi tidak saja dapat bertahan diantara banyaknya usaha-usaha besar yang berguguran, tetapi justru menjadi penyelamat perekonomian nasional hingga tidak jatuh pada keadaan yang lebih parah.
Bagaimana peranannya pada saat perekonomian nasional sudah mulai menggeliat kembali seperti yang terjadi saat ini
Sebagai contoh paling aktual adalah kampung saya. Pertumbuhan ekonomi Propinsi Sumatera Barat yang lebih dari 4 persen per tahun, seluruhnya merupakan sumbangan sektor usaha kecil, karena di sana memang tidak ada usaha-usaha besar. Masyarakat Sumatera Barat membudidayakan padi sawah, perkebunan berkala kecil (buah-buahan, sayur-sayuran), perikanan darat, ternak dan industri kerajinan namun ternyata mampu mendorong pertumbuhan ekonomi hingga 4 persen. Ini merupakan bukti nyata kalau UKM sangat kuat. UKM ini jugalah yang meneopang masyarakat Sumatera Barat pada saat krisis, sehingga mereka hanya sedikit mengeluh.
Untuk menumbuhkembagkan UKM di Sumatera Barat, bantuan apa yang seharusnya disediakan pemerintah.
Perkembangan pesat terlihat di sub sektor agribisnis, khususnya sayur-mayur yang berhasil dikirim ke daerah lain seperti Batam, Dumai, Pekanbaru, Bengkulu dan Jambi. Demikian juga dengan buah-buahan yang cukup terkenal dari Sumatera Barat, seperti duren, mangga, manggis atau jeruk yang sudah di pasok ke berbagai daerah, bahkan kwalitasnya sudah dapat memenuhi standar restoran pada berbagai hotel. Demikian juga dengan dengan sub sektor perikanan yang berkembang pesat seperti peternakan ikan mas, mujahir, dan lele yang dipasok ke Pekanbaru, Jambi hingga Bengkulu. Usaha-usaha ini perlu dibantu pemerintah, khususnya dalam bidang permodalan untuk peningkatan produksi dan kualitas, serta pengembangan usaha.
Bila dalam kenyataanya masyarakat Sumatera Barat berdagang ke seluruh pelosok tanah air, permodalan mereka bersumber dari mana?
Ini yang disebut dengan modal kepercayaan. Para pedagang besar mempercayai mereka untuk mengambil barang, misalnya dari pengusaha-pengusaha Tionghoa yang sudah puluhan tahun menjadi langganan mereka. Pada awalnya memang sulit, namun karena bisa menjaga kepercayaan, menjadi terbiasa. Bahkan, keponakan dan saudara-saudaranya juga bisa ikut mengambil barang dari seorang pedagang besar dengan modal kepercayaan tadi.
Bagaimana dengan komoditi-komoditi yang berpotensi untuk diekspor dari Sumatera Barat?
Banyak komoditi yang berpotensi untuk diekspor. Akan tetapi sampai saat ini, hanya beberapa komoditi saja yang sudah berhasil diekspor ke Malaysia, Singapura dan sedikit ke wilayah Arab, khususnya busana muslim dan kain bordiran. Permintaan ekspor khusus untuk kain bordiran tampaknya cukup tinggi. Hal ini terlihat dari pengerjaan disainnya di Bukit Tinggi, Padang Panjang, dan beberapa daerah lain yang sudah berbasis komputer (computerize).
Apakah sektor peternakan juga mengalami hal yang sama, mengingat sub sektor peternakannya sudah cukup maju?
Ini merupakan masalah tersendiri bagi daerah pemilihan saya, Kabupaten Solok yang saya wakili, tepatnya di daerah Muara Pane yang menjadi pusat peternakan sapi dan kerbau terbesar di Pulau Sumatera. Daerah ini merupakan pemasok daging sapi dan kerbau terbesar ke Pekanbaru dan Dumai. Di daerah ini sudah menjadi pemandangan biasa kalau setiap rumah tangga selalu memiliki kerbau 2 ekor, sapi 3 ekor, kambing dan ayam. Dengan demikian, untuk meningkatkan produktivitasnya, sudah terbuka. Akan tetapi, kembali ke masalah awal tadi, sulitnya permodalam membuat mereka tidak dapat mengembangkan diri menjadi peternak menengah, dimana setiap keluarga seharusnya dapat memiliki kerbau 30 ekor, sapi 30 ekor, atau kambing 60 ekor.
Tentu tidak hanya UKM Sumatera Barat yang mengalami masalah kekurangan modal. Bagaimana pandangan Anda terhadap upaya pemerintah dalam merespon masalah ini?
Saya belum melihat upaya yang serius dari pemerintah dalam pengembangan usaha kecil-menengah dan koperasi. Dari zaman pemerintahan orde lama, orde baru hingga orde reformasi, semangat pemerintah untuk mengembangkan sektor usaha kecil-menengah dan koperasi terlihat sangat tandas, namun dalam pelaksanaanya tidak pernah terbukti. Bahkan pada era reformasi, terdengar program ekonomi kerakyatan dan demokrasi ekonomi, tetapi pada akhirnya hanya retorika.
Apakah pemerintah benar-benar tidak membantu?
Sebenarnya pemerintah sudah menyediakan dana dalam berbagi pos. Yang menjadi permasalahan, dana itu diserahkan kepada perbankan, dan perbankan menerapkan prosedur standar untuk pengucuran kredit, yakni keharusan masyarakat untuk memberikan jaminan. Jaminan yang secara umum tidak dimiliki masyarakat secara memadai menjadi penyebab terhalangnya mereka untuk mendapatkan kredit. Sebagai Ketua Umum Kerukunan Usaha Kecil Menengah Indonesia (KUKMI), sebagai anggota DPR yang membidangi UKM, kami sudah mengemukakan bahwa perolehan kredit jangan hanya berdasarkan kolateral atau jaminan saja, tetapi juga dari sisi visibilitas proyeknya. Bila proyeknya memang layak dan beruntung, pemerintah jangan terlalu khawatir pengusahanya melarikan diri.
Sebagai ketua KUKMI, perjuangan tentang pengembangan kredit berbasis visibilitas, sudah lama diperjuangkan KUKMI. Apa sebenarnya kendala pokok untuk merealisasikannya?
Pertama menyangkut Undang-undang perbankan nasioal kita yang mengutamakan standar kolateral atau jaminan. Saya melihat di Taiwan, Malayasia, Singapura yang tidak mengharuskan jaminan, melainkan prospek keuntungannya. Kalau memang usahanya menguntungkan, pengusaha UKM dapat mengajukan bantuan kredit. Bila hasil penelitian perbankan memang demikian, maka bantuan kredit itu akan diberikan tanpa jaminan.
Baru-baru ini, kita mendengar adanya dana Rp 40 triliun yang disediakan BI untuk membantu UKM. Apakah dana ini tidak dapat dimanfaatkan.
Dana itu sendiri disalurkan melalui bisnis program bank-bank swasta besar dan bank-bank BUMN. Dan dengan demikian, penyalurannya juga tetap dengan syarat-syarat perbankan. Hal inilah yang dulu mendorong kita untuk membentuk Perusahaan Nasional Madani (PNM). Akan tetapi, belakangan ini perusaahaan itu pun sudah melenceng dari misi sebagai lembaga alternatif pebiayaan UKM, tetapi sudah membiayai perusahaan inti plasma yang dimiliki perushaan-perusahaan besar.
Bagaimana bila mengefektifkan Bank Perkreditan Rakyat?
Hakikat BPR itu bagus, akan tetapi karena meraka mendapatkan pinjaman dari bank induk dengan bunga yag besar, maka mereka pun harus meminjamkan dengan bunga yang tinggi, sekitar 3-4% per bulan. Tentu hanya beberapa orang saja yang sanggup menanggung bunga kredit sebesar 30-40% per tahun.
Lalu alternatif lain, bagaimana?
Sebenarnya, koperasi simpan pinjam dapat diberdayakan sebagai lembaga alternatif pembiayan UKM. Akan tetapi, koperasi simpan pinjam masih jarang yang dikelola secara bisnis murni, melainkan hanya melayani anggota-anggotanya. Kalau koperasi simpan pinjam dapat melayani di luar anggotanya, maka pemerintah dapat membantu permodalnnya. Sebagai contoh, berita di koran hari ini, Senin (8/12) menyebutkan “KSO Unggul Disuntik Modalnya oleh Pemerintah”.
Pada akhirnya, kita tidak pernah benar-benar dapat membantu UKM? Apa kesimpulan Anda?
Saya sangat menyayangkan, sejak kita merdeka 58 tahun yang lalu, kita belum konsern untuk membina UKM, masih setengah-setengah. Dalam pasal 33 ayat 1 sampai 5, menyebutkan koperasi sebagai soko guru perekonomian. Akan tetapi selalu kita ingkari. Maka dari itu saya selalu menyatakan “Siapa pun yang ingkar terhadap pasal 33, akan jatuh. Dan jatuhnya tidak terhormat”. Kita lihat Soekarno jatuh dengan tidak terhormat, Soeharto juga demikian, Habibie dan Gus Dur juga demikian. Kita belum tahu dengan Megawati. Ini karena lupa dengan amanah dan amanah itu adalah untuk rakyat banyak. ‘Kan sangat menyedihkan kalau rakyat ini hanya sebagai objek, bukan aset bangsa. e-ti
*** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)