
[DIREKTORI] Sejak muda, Irene Kharisma Sukandar telah menorehkan banyak prestasi mengharumkan nama bangsa lewat olahraga catur. Pada 2008, ia meraih gelar Grand Master Internasional Wanita (GMIW) pertama di Indonesia. Kecintaannya pada dunia catur terus ia pelihara dengan tekun berlatih dan mengikuti berbagai turnamen.
Irene Kharisma Sukandar, putri pasangan Singgih Heyzkel dan Cici Ratna Mulya ini lahir di Jakarta 7 April 1992. Sebelum namanya dikenal sebagai pecatur, Irene sebenarnya terlebih dahulu menekuni olahraga tenis meja. Ia mengikuti jejak sang ayah yang memang seorang pemain tenis meja. Namun belakangan Irene lebih tertarik bermain catur karena bagi Irene mudah dimainkan dan dapat menambah tingkat kecerdasan seseorang.
Turnamen yang pertama kali diikuti dara berkulit hitam manis ini adalah kejuaraan nasional catur yang dihelat di Bekasi pada tahun 1999. Saat itu usia Irene baru menginjak 7 tahun. Keikutsertaan Irene pada turnamen tersebut sebenarnya tidak disengaja. Kala itu tim catur dari Sumatera Selatan kekurangan satu pemain, karena dianggap berbakat maka Irenelah yang kemudian ditunjuk untuk mengisi posisi kosong tersebut. Debutnya sebagai pecatur ketika itu belum menunjukkan pencapaian yang maksimal bahkan ia tidak berhasil mampu mendapatkan nilai.
Tapi justru berangkat dari kegagalannya tersebut, Irene semakin terpacu untuk mendalami olahraga asah otak itu. Ia kemudian memutuskan untuk belajar catur secara serius, beruntung kedua orangtuanya memberi dukungan penuh pada pilihan sang putri tercinta.
Pada tahun itu juga, yakni tahun 1999, Irene masuk ke Sekolah Catur Utut Adianto (SCUA) di Bekasi. Di sekolah milik Ir Eka Putra Wirya yang juga Ketua Harian PB Percasi itu ia mendapat bimbingan langsung dari pecatur berpengalaman yang juga mantan pecatur nasional, MI Ivan Situru.
Setelah beberapa lama ditempa di SCUA, Irene yang memang pada dasarnya memiliki potensi mulai menunjukkan kemajuan yang signifikan. Kemampuannya bermain catur jauh diatas rata-rata, bahkan mampu melampaui pecatur perempuan di sekolahnya. Buktinya baru menginjak tahun kedua Irene berlatih di sekolah tersebut, tepatnya di tahun 2001 ia telah berhasil meraih gelar Master Percasi (MP). Sebuah pencapaian yang luar biasa untuk ukuran gadis kecil berusia 9 tahun.
Sejak saat itu, Irene yang hobi membaca buku sejarah dan mendengarkan musik instrumental dan acapella ini berhasil menyabet sederet prestasi lainnya. Seperti pada tahun 2002, ia meraih Juara 3 Kelompok Umur (KU) 10 Kejuaraan Catur ASEAN di Singapura. Masih di tahun yang sama, Irene sudah menyandang gelar Master Nasional Wanita (MNW). Setahun kemudian, ia menjadi Juara 4 KU 10 tahun Kejuaraan Catur ASEAN di Malaysia, meraih dua medali perak pada SEA Games Vietnam, duduk di peringkat ke-9 pada Kejuaraan Dunia Junior di Yunani, dan meraih medali perak Olimpiade Catur papan tiga di Spanyol.
Tahun 2004 juga diisi Irene dengan beragam prestasi membanggakan. Ia semakin memperlihatkan tajinya dengan merebut gelar Master FIDE Wanita (MFW) pada olimpiade catur yang berlangsung di Malorca, Spanyol sekaligus meraih medali perak dalam arena yang melibatkan 864 peserta dari 107 negara itu. Demikian halnya saat pengagum pecatur Hongaria, GM Judit Polgar itu mengikuti Kejuaraan Dunia Junior di bawah 14 tahun di Pulau Kreta, Yunani, ia berhasil menduduki peringkat ke-14. Sementara pada Kejuaraan Catur Asia di bawah 14 tahun di Singapura (2004), Irene berhasil meraih medali perak.
Untuk meningkatkan kualitas permainan serta mental bertandingnya, Irene selalu giat berlatih. Terkadang oleh pembimbingnya, ia juga dipertandingkan dengan pecatur pria. Seperti pada ajang seleknas catur SEA Games XXIII/2005, Manila, Filipina yang berlangsung Februari 2005 di Wisma Catur F.Sumanti, Gedung KONI DKI, Tanah Abang I, Jakarta Pusat.
Mengutip pengakuan Kristianus Liem, Direktur SCUA, meski dihadapkan pada jadwal latihan yang padat, Irene tak pernah mengeluh. Demikian pula saat ia diberi berbagai latihan tambahan, misalnya, setelah diberi program latihan selama empat jam, kemudian diberi tambahan belajar dengan komputer, Irene tak pernah absen. Kecintaannya yang teramat dalam pada olahraga catur seakan tak pernah mengendurkan semangatnya dalam berlatih.
Permainan catur itu membutuhkan konsentrasi dan harus fokus. “Apapun jenis olahraganya harus bisa menunjukkan permainan terbaik dalam setiap pertandingan. Kalau hanya berpikir ingin menang, jangkauan berpikir kita akan pendek. Kita akan cenderung mengabaikan kualitas permainan,” ujarnya sedikit berfilosofi.
Untuk mengukur sekaligus mematangkan kemampuannya, Irene oleh Ir Eka Putra Wirya pada Maret 2005 diadu dengan pecatur putri asal Hongkong bergelar Grand Master Wanita (GMW) yakni Anya Sun Corke melalui partai dwitarung enam babak di SCUA Kelapa Gading, Jakarta Utara. Dimana ketika itu Irene berhasil menahan imbang Anya Sun dengan skor 3-3. Meski gagal keluar sebagai pemenang, namun apa yang diperlihatkan oleh Irene ini sungguh layak mendapat pujian. Pasalnya lawannya yang dihadapinya bukan pecatur sembarangan, sebagai GMW, kelas Anya dua tingkat lebih tinggi dibanding Irene.
Keberhasilan Irene menahan imbang Anya Sun membuat pembina olahraga terbaik pilihan wartawan olahraga SIWO Jaya pada tahun 1993 itu kemudian tidak ragu-ragu untuk secepatnya mengorbitkan Irene sampai menggapai gelar Grand Master Wanita (GMW) pertama Indonesia. Gayung pun bersambut, Irene juga menyatakan kesiapan dan tekadnya mewujudkan target tersebut. “Ada dua cita-cita besar saya, pertama meraih gelar GM dan kedua menjadi juara dunia,” tutur alumni SMU Nusantara itu. Sebagai bukti keseriusannya, ketika itu Irene tidak pernah absen mengikuti berbagai kejuaraan catur internasional selama tujuh tahun berturut-turut.
Secara perlahan tapi pasti, Irene yang telah berhasil mengukuhkan diri sebagai pecatur muda berprestasi nasional mulai menunjukkan talentanya pada turnamen tingkat dunia. Irene mengawali karir internasionalnya dengan meraih norma MIW pada Olimpiade Catur di Turin, Italia. Kemudian di bulan Agustus 2008, Irene mengikuti ajang catur internasional Malaysia Open 2008 yang berlangsung di Kuala Lumpur dan berhasil keluar sebagai The Best Woman Player, sekaligus meraih norma Grandmaster Wanita (GMW) yang kedua, setelah sebelumnya Norma Grand Master Wanita pertama telah didapatkannya di GMW JAPFA Chess Festival yang diselenggarakan di Jakarta pada April di tahun yang sama.
Cita-cita Irene untuk menjadi Grand Master Internasional Wanita (GMIW) pertama Indonesia di usia 17 tahun, akhirnya terwujud. Gelar paling bergengsi dari Federasi Catur Dunia (FIDE) itu diserahkan oleh Presiden Konfederasi Catur ASEAN, Ignatius Leong di Singapura pada tahun 2008.
Memasuki tahun 2010, dalam ajang dwilomba JAPFA, Irene berhasil menahan imbang IM Tania Sachdev. Kemudian di tahun yang sama, ia keluar sebagai Juara 1 dalam Brunei Invitational IM Tournament 1 dan juara 2 dalam Brunei Invitational IM Tournament 2.
Sederet prestasi yang berhasil diraih Irene merupakan hasil kerja keras, fokus latihan dan rajin bertanding. Meski untuk mencapainya, Irene mau tak mau harus mengorbankan pendidikan formalnya. Demi mengikuti latihan catur, ia terkadang harus membolos dari sekolah, terlebih saat akan menghadapi pertandingan penting. Meski sesekali membolos, bukan berarti Irene tidak peduli akan pendidikan. Di tengah kesibukannya sebagai pecatur yang kerap bertanding baik di dalam maupun luar negeri, Irene resmi tercatat sebagai salah satu mahasiswa Universitas Gunadarma Jakarta pada tahun akademik 2009/2010. Di universitas tersebut, ia mengambil Jurusan Sastra Inggris dengan memilih lokasi kuliah di kampus yang berada di Jl. Kalimalang Bekasi.
Mengungkap sedikit tentang rahasia Irene dalam bermain catur, menurutnya permainan catur itu membutuhkan konsentrasi dan harus fokus. “Apapun jenis olahraganya harus bisa menunjukkan permainan terbaik dalam setiap pertandingan. Kalau hanya berpikir ingin menang, jangkauan berpikir kita akan pendek. Kita akan cenderung mengabaikan kualitas permainan,” ujarnya sedikit berfilosofi.
Tercatat hingga 24 Maret 2010, Irene Kharisma Iskandar sudah mengantongi rating 2316, dan bertengger di peringkat 4 Asia. eti | hs-muli