
[DIREKTORI] Suster puskesmas di pulau-pulau terpencil di Provinsi Nusa Tenggara Timur ini melayani pasien tanpa kenal lelah. Dalam bertugas, ia kerap menembus badai dan tidak memperhitungkan waktu. Ia juga kerap berperan ganda sebagai perawat, bidan, bahkan dokter.
Sesungguhnya seorang pahlawan bukan hanya orang yang membela negara dengan mengangkat senjata. Seseorang yang membaktikan diri pada kepentingan orang banyak juga layak disebut pahlawan. Di alam Indonesia yang merdeka ini, nyatanya masih ada segelintir pahlawan yang tengah berjuang. Tidak seperti para pejabat yang selalu menggembar-gemborkan keberhasilan mereka, perjuangan pahlawan yang mengabdi dalam diam ini dilakukan tanpa sorotan media.
Salah satunya adalah Andi Rabiah. Setelah tampil dalam sebuah acara televisi, julukan “Suster Apung” mulai melekat pada figur wanita berkerudung ini. Dipanggil Suster Apung karena profesi Rabiah sebagai seorang perawat yang hampir setiap hari menerjang ombak dengan perahu dari satu pulau ke pulau lain untuk memberikan pelayanan kesehatan.
Rabiah bekerja sebagai tenaga medis di sepuluh pulau kecil di antara 25 pulau yang tersebar di Perairan Flores sejak 10 Agustus 1978. Sehari-hari ia berkantor di Puskesmas Liukang Tangaya di Pulau Sapuka, Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan. Saat pertama kali menginjakkan kakinya di sana, kualitas penanganan kesehatan penduduk sangat memprihatinkan. Jangankan dokter, bidan pun tak ada. Kenyataan itu membuat Rabiah harus berperan ganda sebagai perawat, bidan, bahkan dokter.
Sebagai seorang petugas medis yang baik, ia selalu siap mengabdi di mana dan kapan pun. Gemerlap kota dengan segala fasilitasnya tak sedikit pun membuat Rabiah tergoda.
Ia akan lebih merasa berarti sebagai seorang manusia bila dapat membantu lebih banyak orang, terlebih mereka yang tak berdaya. “Jika saya bertugas di darat atau di kota, mungkin saja tenaga dan keahlian saya tidak banyak dibutuhkan masyarakat karena di sana banyak tenaga medis. Oleh karena itu, saya ingin tetap bertugas di pulau,” tambah ibu empat anak itu.
Di masa awal pengabdiannya, Rabiah sempat mengalami sedikit kesulitan. Dalam masyarakat yang tinggal di daerah yang belum tersentuh pembangunan, arus informasi menjadi terhambat sehingga menjadikan pola pikir mereka tertinggal jauh dengan masyarakat di perkotaan. Hal ini berdampak pada urusan kesehatan dimana sebagian besar dari mereka lebih mempercayai dukun, bahkan untuk menangani persalinan sekalipun. Kenyataan itu yang membuat Rabiah kerap kali mengalami penolakan. Meski demikian, penolakan para penduduk tak serta merta mematahkan semangatnya. Dengan penuh kesabaran, ia terus memperkenalkan diri sambil memberikan pengertian kepada masyarakat. Kesabaran itu pun akhirnya berbuah manis, masyarakat mulai sadar pentingnya pengobatan medis.
Seiring diperolehnya kepercayaan masyarakat, tugas Rabiah si Suster Apung kian berat. Panggilan pasien yang tak kenal waktu mengharuskannya siaga 24 jam. Dalam menangani pasiennya, Rabiah selalu berupaya semaksimal mungkin. Bahkan jika memang benar-benar diperlukan, ia rela menginap selama berhari-hari di rumah pasiennya. “Karena bagi saya tidak ada artinya saya datang jauh-jauh kalau tidak ada hasilnya,” katanya.
Puluhan tahun menjadi seorang perawat, membuatnya ‘akrab’ dengan berbagai penyakit. Mulai dari penyakit kulit ringan hingga penyakit dalam yang kronis. Medan yang sulit menjadikan Andi sebagai satu sosok perawat luar biasa. Tangisan pilu dari bayi penderita gizi buruk, derita orang sekarat yang tengah meregang nyawa, rintihan para penderita TBC, erangan kesakitan dari pasien patah tulang, hingga jerit histeris dari para ibu yang tengah berjuang melahirkan bayinya merupakan hal lumrah yang kerap mewarnai hari-hari Andi Rabiah.
Andi yang lahir di Kabupaten Pangkep pada 29 Juni 1957 ini mengenal dunia medis dari sang nenek. Sejak itulah Andi mulai memupuk cita-citanya menjadi seorang tenaga medis. Untuk mewujudkan impiannya, setamat SMP pada tahun 1975, ia melanjutkan pendidikannya ke Penjenang Kesehatan (PK) sekolah kesehatan setingkat SMU. Pada tahun 1977, setelah dua tahun menimba ilmu di PK, Andi diangkat menjadi pegawai negeri sipil di Puskesmas Liukang Tangaya, Pulau Saputan, Kecamatan Liukang Tangaya, Kabupaten Pangkep. Sejak tahun 1990, wanita bersahaja ini menyandang status janda karena kepergian sang suami tercinta. Almarhum suaminya bekerja sebagai kepala puskesmas di Pulau Sapuka.
Karena letaknya yang terpencil, pulau-pulau dimana Rabiah mengabdi masih minim fasilitas penunjang kesehatan. Hal itu menyulitkan Rabiah dalam menjalankan tugasnya. Bahkan untuk memperoleh obat saja, ia harus menempuh perjalanan berat melintasi pulau demi pulau. Pernah suatu ketika Rabiah berada di posisi yang dilematis. Waktu itu diare tengah mewabah di Pulau Sapuka. Masalah berawal ketika seorang pasien didapatinya dalam keadaan kritis akibat dehidrasi. Untuk menolong si pasien sekarat itu, tak ada jalan lain selain memberikannya cairan infus, namun stok infus yang dimiliki Puskesmas ternyata sudah habis, yang tersisa hanya cairan infus yang telah kadaluarsa. Seketika itu Rabiah dilanda kebimbangan, di satu sisi pasien harus segera diselamatkan namun di sisi lain memberikan cairan infus yang telah kadaluarsa malah bisa membahayakan nyawa si pasien.
Namun Rabiah memberanikan diri untuk mengambil risiko berat. Dengan seizin keluarga pasien, ia pun tetap memberikan cairan infus itu. Tapi lagi-lagi kemurahan hati Sang Pencipta menolong Rabiah. Si pasien dapat melewati masa kritisnya hingga akhirnya sembuh.
Tiga dasawarsa sudah Rabiah bergelut dengan ganasnya laut Flores demi menyambangi para pasiennya yang tersebar di puluhan pulau. Berbagai pengalaman telah dikecapnya. Beraneka peristiwa pun telah dialaminya. Bahkan baru delapan bulan masa pengabdiannya, Rabiah sudah harus mengalami kejadian buruk. Peristiwa itu terjadi pada 6 Maret 1979, saat itu kapal yang ditumpanginya hancur berkeping-keping akibat hantaman ombak. Rabiah dan penumpang lainnya pun terdampar selama tujuh hari tujuh malam di sebuah pulau tak berpenghuni. Rabiah harus menjatah satu liter beras untuk 14 orang. Persediaan makanan yang kian menipis membuat beberapa orang dari mereka dilanda rasa putus asa. Bantuan baru datang ketika mereka mengirim pesan lewat kulit penyu. Kulit penyu memang sering dipakai korban kapal karam untuk meminta pertolongan.
Sebagai perawat yang bekerja dari pulau satu ke pulau lain, perahu memang menjadi alat transportasi andalannya. Selain terpaan badai dan ombak besar, bocornya perahu juga kerap mewarnai keseharian Rabiah. Namun hal itu tak menyurutkan langkah dan memadamkan semangat pengabdiannya. Panggilan hati untuk terus menolong mengalahkan segala risiko bahkan yang terburuk sekalipun.
Salah satu tantangan berat yang dihadapinya adalah ketika ada panggilan untuk menolong pasien gawat. Perjuangan terasa kian berat dengan kondisi laut yang tidak bersahabat. Karena keadaan pasien yang tidak memungkinkan untuk dibawa ke Puskesmas Sapuka atau sarana kesehatan lainnya, mau tak mau Andi pun menerjang amukan ombak. Kerasnya hantaman ombak ditambah dengan kondisi kapal yang tak cukup layak membuat Andi tak henti berdoa seraya memohon keselamatan.
Kondisi alam yang masih liar itu juga yang membuat keluarganya khawatir dan tidak menyetujui keputusan Andi untuk menetap di Pulau Sapuka dalam waktu lama. Apalagi mereka menduga, mendiang suami Andi meninggal karena ilmu hitam di sana. Namun tekadnya sudah bulat, ia seakan tak menghiraukan kekhawatiran orang-orang terdekat dan tetap melanjutkan masa pengabdiannya.
Pengorbanannya yang kerap berhadapan dengan maut seakan terbayar ketika pasiennya sembuh dari penyakitnya. Tak heran jika kehadirannya selalu dirindukan oleh mereka yang membutuhkan jasanya. Kedekatan itu membuat hubungan Suster Rabiah dan masyarakat sekitar layaknya keluarga.
Panggilan tugas yang datang tak menentu, membuat Rabiah terpaksa menitipkan anak bungsunya sejak masih berusia delapan bulan. Tiga bahkan hingga enam bulan lamanya Rabiah menahan kerinduan kepada buah hatinya tercinta. Statusnya sebagai orang tua tunggal yang menjadi ibu sekaligus ayah bagi keempat anaknya memang bukan hal mudah. Kerja keras dan keringat Rabiah dihargai 1,7 juta rupiah per bulannya. Uang itu digunakan untuk memenuhi kebutuhan anak-anaknya. Kebutuhannya sendiri sudah tercukupi dari hasil bekerja sebagai perawat. Bahkan ia telah dua kali menunaikan ibadah haji. Rabiah pertama kali menginjakkan kakinya di tanah suci Mekah pada tahun 1993. Setahun kemudian, ia kembali mendapatkan kesempatan yang sama ketika ia menjadi petugas kesehatan untuk jemaah haji.
Meski pun begitu, ia memendam harapan, kelak suatu saat ada secuil perhatian dari pemerintah baik pusat maupun daerah untuk memberikan insentif pada paramedis di daerah terpencil. Bantuan itu dimaksudkan untuk meningkatkan mutu pelayanan. Rasanya harapan sederhana itu tak berlebihan, mengingat hanya segelintir orang yang terpanggil untuk mengabdi di tempat-tempat terpencil yang minim fasilitas. Perjuangan Andi Rabiah tidak akan mengalami kemajuan berarti jika tanpa dukungan dari pemerintah. Penduduk daerah terpencil juga tak bisa selamanya menggantungkan harapan pada Rabiah seorang.
Setelah kisahnya banyak diangkat media, pengabdian dan perjuangan Suster Apung Andi Rabiah mulai mendapat perhatian. Salah satunya dari mantan wapres Jusuf Kalla. Kalla yang waktu itu masih menjabat sebagai wapres menyaksikan kisah Rabiah di televisi. Tayangan itu membuat pintu hatinya terketuk untuk membantu perjuangan Rabiah. Kalla kemudian memberikan bantuan dana untuk pembuatan kapal motor yang telah lama diidamkan Rabiah. Sejak saat itu kapal motor bantuan Jusuf Kalla menjadi tulang punggung Suster Rabiah dalam menjalankan tugas mulianya sebagai perawat di daerah terpencil. e-ti | muli, red