Rektor UI 2002-2007

Usman Chatib Warsa
 
0
254
Usman Chatib Warsa
Usman Chatib Warsa | Tokoh.ID

[DIREKTORI] Selama menjabat sebagai Rektor UI (2002-2007), Usman Chatib Warsa membuat sejumlah terobosan penting untuk meningkatkan daya saing para lulusan UI di dunia global. Lepas dari jabatan rektor, Dosen Terbaik Nasional 1985 ini kembali ke habitatnya sebagai pengajar di Fakultas Kedokteran (FK) UI dan menekuni dunia subspesialisasinya di bidang mikrobiologi.

14 Agustus 2002, menjadi salah satu hari bersejarah bagi Prof. dr. Usman Chatib Warsa SpMK., Ph.D. Sebab pada tanggal itu, ia terpilih sebagai orang nomor satu di almamaternya, Universitas Indonesia. Sebelum terpilih sebagai rektor, Usman menjabarkan obsesinya yang kemudian dijabarkannya dalam program utamanya, yakni berupaya mengubah budaya akademik UI secara egaliter dan profesional, bersih, tertib, dan akrab. Strategi yang ia terapkan adalah dengan memperbaiki sistem administrasi UI yang dimulai dengan pembentukan Pusat Administrasi Universitas. Langkah tersebut berhasil mewujudkan administrasi UI ke sistem yang lebih terpusat sesuai standar internasional.

Dengan dibantu oleh civitas akademika UI lainnya, usaha pria kelahiran Jakarta, 25 Juni 1947 ini untuk meningkatkan pendapatan kampus dari usaha atau kerjasama dengan pihak lain sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan karyawan dan meningkatkan bea siswa bagi mahasiswa yang kurang mampu, juga berjalan sesuai harapan. Ketika menjabat sebagai rektor, suami dari Etty Heryati ini juga membuat sebuah gagasan baru untuk Universitas Indonesia, yakni mulai awal tahun akademik 2005/06, UI menggunakan bahasa Inggris sebagai pengantar. Terobosan ini dimaksudkan sebagai bagian dari upaya untuk meningkatkan daya saing para lulusan UI di dunia global.

“Kami merasa kami tidak kompeten dalam bahasa Inggris sekarang. Jadi, untuk meningkatkan kehadiran kami dalam konteks global, kita akan membuat bahasa Inggris sebuah media awal instruksi pada tahun 2005/6 akademis,” kata Usman bertepatan pada saat upacara ulangtahun ke-55 universitas tersebut. Persiapan penggunaan bahasa Inggris sebagai media pengajaran sudah dimulai pada tahun 2002 ketika sejumlah sekolah universitas menandatangani kesepakatan kerjasama dengan beberapa universitas luar negeri, seperti Universitas Nanyang Singapura dan beberapa perguruan tinggi di Malaysia untuk program pertukaran staf pengajar.

Dalam rangka itu, dosen UI juga mengambil tes kecakapan berbahasa Inggris, yang kemudian diikuti dengan kursus bahasa Inggris. Sementara untuk mata pelajaran yang diajarkan dalam bahasa Inggris ditentukan oleh masing-masing sekolah, dengan prioritas diberikan kepada subyek yang berhubungan dengan urusan internasional, seperti kursus komunikasi internasional yang ditawarkan oleh School of Communications.

Setelah lima tahun memimpin dan memberikan sumbangsihnya pada UI, posisi Usman digantikan Gumilar Rusliwa Somantri pada tahun 2007. Selama memimpin UI, Usman Chatib memetik satu kesimpulan, yakni perlu adanya upaya untuk meningkatkan jumlah profesor di UI. Ia mengaku cukup khawatir dengan penyusutan jumlah profesor di kampus tersebut setiap tahunnya seiring dengan banyaknya tenaga yang memasuki masa pensiun. Sementara di sisi lain, upaya untuk mencetak kembali tenaga profesor, terutama lulusan luar negeri, tidak mudah dan biayanya pun sangat mahal. “Sepuluh tahun ini saya akan kehilangan kurang lebih duapertiga dari staf (berstatus) profesor yang sekarang ada,” ujar Usman Chatib Warsa ketika masih menjabat rektor UI.

Namun untuk mengatasi hal tersebut, ia mengatakan bahwa pihaknya ketika itu sudah bekerja sama dengan Singapura dan Amerika Serikat. “Amerika Serikat akan menyediakan bantuan dana cukup besar untuk mencetak doktor di Indonesia, yakni sekitar 400 doktor. Itu yang akan dikerjasamakan Pemerintah Indonesia dengan Amerika Serikat melalui Departemen Pendidikan Nasional,” jelas Usman.

Tapi dalam hal ini, ia mengatakan, UI lebih menekankan pada kualitas. Sebab di masa lalu jumlah dosen bergelar profesor memang lebih banyak jumlahnya, tetapi sebagian lebih banyak aktif di luar. Sementara sekarang, sekalipun jumlahnya tidak terlalu banyak tetapi yang penting mereka penuh waktu di kampus. Untuk itu, UI menurutnya berupaya memberikan gaji memadai agar para tenaga pendidik yang berkemampuan tinggi betah di kampus. Diharapkan pula, mereka, terutama para profesor, mampu menjaring berbagai dana riset, baik dari dalam maupun luar negeri.

Usman juga menambahkan bahwa ke depan akan diupayakan agar dosen muda yang sudah berkeluarga di Jakarta setidaknya berpenghasilan 500 dollar (AS) atau sekitar Rp 5 juta per bulan. Sementara untuk dosen senior sekitar 1.000 dollar (AS) atau sekitar Rp 10 juta per bulan. Dengan demikian mereka dapat memenuhi pula kebutuhan akademisnya, seperti untuk mengakses buku. “Ini penting, karena godaan di luar kampus besar. Apalagi di Jakarta yang peluangnya banyak sekali,” katanya.

Selama memimpin UI, Usman Chatib memetik satu kesimpulan, yakni perlu adanya upaya untuk meningkatkan jumlah profesor di UI. Ia mengaku cukup khawatir dengan penyusutan jumlah profesor di kampus tersebut setiap tahunnya seiring dengan banyaknya tenaga yang memasuki masa pensiun. Sementara di sisi lain, upaya untuk mencetak kembali tenaga profesor, terutama lulusan luar negeri, tidak mudah dan biayanya pun sangat mahal.

Selama menjadi Rektor UI, Usman juga terus berupaya mewujudkan visi UI sebagai universitas riset. Ia mengatakan, pihaknya terus berusaha menyiapkan semua landasan agar UI menjadi universitas kelas dunia melalui riset. Salah satu contohnya, pada tahun 2007 dalam rangka dies natalis ke-57, UI menyelenggarakan “Gelar Ilmu dan Inovasi 2007” dengan tema “Pengembangan UI sebagai Science Park”. Dalam kesempatan itu diperkenalkan pula berbagai hasil riset UI dan bentuk pengabdian kepada masyarakat dalam bidang iptek.

Advertisement

Kegiatan selama tiga hari tersebut terkait upaya UI menciptakan semangat dan suasana riset di kampus. Berbagai fakultas di universitas itu memamerkan hasil riset dan inovasinya. Selain itu, dipajang pula profil guru besar dan diadakan rangkaian presentasi hasil riset unggulan UI. Ke depan, menurut Usman, UI akan memfokuskan diri dalam bidang-bidang, seperti kesehatan, teknologi informasi dan komunikasi, genom, serta nanoteknologi.

Sebagai Rektor UI, Usman Chatib Warsa juga sempat menanamkan kebiasaan baik di kampusnya, yakni dengan membentuk Komunitas Bersepeda (Kobe) UI. Dengan gagasan tersebut, ia berharap kawasan UI bebas pencemaran udara. Peluncuran komunitas ini ditandai dengan “Tour de UI Depok”. Acara tur sepeda ini berlangsung dengan rute mengelilingi kampus UI Depok.

Ketika diselenggarakannya tur tersebut, jalan-jalan di kampus UI menguning karena ribuan pengendara sepeda yang mengenakan kaos kuning yang bertuliskan ‘Komunitas Bersepeda Universitas Indonesia’ di bagian punggung. Menurut Usman, pembentukan komunitas ini sebagai langkah untuk menjadikan kampus UI ramah lingkungan. “Semoga ini menjadi contoh buat kampus-kampus lain,” katanya di sela-sela acara. Komunitas ini diikuti oleh seluruh civitas akademika UI dan keluarga besarnya. Mulai dari rektor, dosen, karyawan hingga mahasiswa.

Di luar prestasinya memimpin UI, jasa Usman juga tidak bisa dilepaskan dari disahkannya Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) pada pertengahan Desember 2008. Sebab dalam kapasitasnya sebagai Rektor UI, kakek dua cucu ini terlibat dalam pembahasan BHMN dan RUU BHP yang mulai dibahas tiga tahun sebelumnya. Percakapan banyak menyangkut otonomi perguruan tinggi dalam bidang akademis dan pengelolaan dana untuk mencapai kualitas kelas dunia. Tak heran, ketika mengetahui RUU BHP telah disahkan, Usman merasa sangat senang. Sebab dengan demikian, ia merasa harapannya saat menjadi rektor itu pun telah terwujud.

Menurut Pejabat Rektor VI 2001-2002 itu, Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) yang disahkan pertengahan Desember 2008 itu memberi payung hukum bagi empat perguruan tinggi negeri, termasuk Universitas Indonesia, yang melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 61 Tahun 1999 tentang Penetapan Perguruan Tinggi sebagai Badan Hukum Pendidikan dan disusul PP Nomor 150-154 Tahun 2000 menjadi badan hukum milik negara (BHMN). “Ketika UI menjadi BHMN tahun 2000, payung hukumnya tidak jelas, terutama dalam bidang keuangan. BHMN itu termasuk pendapatan negara bukan pajak, tetapi tidak sinkron antara Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi dan Departemen Keuangan. Akibatnya, rektor bisa disalahkan. Walaupun ada peraturan pemerintahnya, tetapi dianggap harus ada undang-undang sebagai payung,” kata Usman.

Usman meyakini perguruan tinggi dapat berkembang dan menjawab permasalahan dunia melalui ilmu pengetahuan dan meningkatkan aksesibilitas masyarakat pada perguruan tinggi hanya bila perguruan tinggi memiliki otonomi penuh. “Karena perkembangan tersebut, orang lalu melihat perguruan tinggi sebaiknya tidak dalam satu struktur organisasi dengan pemerintahan, onderbouw pemerintah dalam hubungan ketergantungan yang ikut saja ke mana pemerintah dengan sistem politiknya bergerak. Politisi dan ilmuwan berbeda. Politisi berbicara berdasarkan kepentingan tertentu, kepentingan kelompok, sementara ilmuwan bicara apa adanya berdasarkan ilmunya, baik atau buruk,” tutur Usman.

UI, menurut Usman, sudah melihat pentingnya otonomi perguruan tinggi sejak tahun 1990 yang dituangkan dalam rencana jangka panjang UI. Ketika itu, pimpinan UI banyak dikirim ke berbagai negara untuk mencari tolok ukur dari perguruan tinggi di berbagai negara. Dari sana, semakin diyakini ilmu hanya bisa berkembang bila ada kebebasan akademis yang diikuti dengan kebebasan mengelola dana. Tujuan akhirnya adalah meningkatkan kualitas, baik dalam dunia keilmuan maupun melahirkan lulusan, ilmuwan atau profesional, yang dapat menjadi agen perubahan di masyarakat. Usman juga menambahkan “Kalau hanya menunggu dana dari pemerintah, perguruan tinggi akan diatur dan menjalankan kemauan pemerintah, titipan-titipan pemerintah. Kalau ilmu dan teknologi mau berkembang, hanya bisa dilakukan oleh orang yang mau belajar tanpa batasan. Dengan kebebasan mengelola dana, perguruan tinggi punya kebebasan mengarahkan pengembangan pada kekuatan yang dia miliki.

Otonomi perguruan tinggi itu persisnya menurut Usman adalah, kebebasan dari perguruan tinggi untuk melaksanakan operasional akademis melalui kebebasan akademis dan juga diberi kebebasan dalam penyelenggaraannya. Artinya, kebebasan yang bertanggungjawab. Misalnya, bila BHMN ingin mendirikan gedung, boleh mencari yang murah dan baik, tidak diproyekkan. Perguruan tinggi itu dapat menentukan sendiri standarnya, tidak ada KKN. Artinya, rektor tidak lagi anak buahnya menteri, tetapi rektor menjalankan kebijakan umum yang sudah dibuat pemangku kepentingan.

Menurut Usman, kalau melihat sejarahnya, ketika UI mengirim pemimpinnya ke luar negeri, UI ingin menjadi seperti perguruan tinggi di Amerika yang berkembang menjadi center of excellence karena memiliki riset yang kuat. UI bisa menarik dana dari luar negeri kalau bisa menggali semua potensi, pemerintah, swasta, dan perguruan tinggi, bersama-sama. Menurut Usman, seharusnya dana perguruan tinggi berasal dari riset yang ia lakukan, bukan dari uang kuliah mahasiswa. Jadi semua itu hanya bisa jalan kalau ada otonomi.

Setelah tidak lagi menjabat sebagai Rektor UI, Usman kemudian kembali ke habitatnya sebagai pengajar di Fakultas Kedokteran (FK) UI. Pekerjaan yang sudah dimulainya saat masih menjabat rektor UI, yaitu mendirikan rumah sakit pendidikan untuk mahasiswa FKUI tidak lupa juga ia teruskan. Pembangunan rumah sakit tersebut amat diperlukan sebab RS Cipto Mangunkusumo sudah terlalu terspesialisasi untuk mahasiswa calon dokter.

Sementara tanah untuk rumah sakit yang dananya dibantu Jepang itu sudah tersedia di kampus UI Depok. Pembangunannya diharapkan selesai bertahap mulai 2012. Di rumah sakit ini, mahasiswa rencananya akan diajar mengintegrasikan berbagai bidang ilmu untuk memecahkan masalah sehingga fasilitas rumah sakit dapat digunakan lebih efisien.

Selain mengajar dan meneruskan pembangunan rumah sakit pendidikan, pria kelahiran Jakarta, 25 Juni 1947 ini juga kembali ke dunia penelitian. Bidang yang telah digelutinya jauh sebelum menjabat rektor. “Saya dari dunia mikro, sempat 10 tahun masuk dunia yang sedikit makro, sekarang masuk ke dunia mikro lagi,” kata peraih Spesialisasi Mikrobiologi (SpMK) dari FKUI ini seperti dikutip dari situs kompas.com. Dunia mikro yang dia maksudkan adalah mikrobiologi yang menjadi subspesialisasinya.

Usman meraih gelar doktor dari Kobe University dengan penelitian resistensi bakteri Staphilococcus aureus terhadap antibiotik metisilin dari golongan penisilin. Bidang ini sempat dipertanyakan teman-temannya karena dianggap “kering”. Namun, ayahanda Usman yang berprofesi sebagai seorang analis di bidang biologi, memberinya semangat agar memilih mikrobiologi. Karena menurut sang ayah, tidak banyak orang yang mau masuk ke bidang tersebut.

Meski sempat dipandang sebelah mata, pilihan itu nyatanya tak meleset, karena seperti disebutkan Usman, perkembangan ilmu kedokteran seperti bioteknologi dan nanoteknologi kini ditentukan di tingkat sel. Termasuk dalam hal resistensi bakteri terhadap antibiotik yang semakin hari semakin meningkat sehingga muncul bakteri yang puluhan tahun lalu dapat diobati dengan penisilin biasa, kini memerlukan antibiotik yang lebih mahal dan menimbulkan kesakitan lebih lama pada si penderita.

Terkait dengan hal itu, menurut ayah tiga anak ini, pada tahun 2009, ia dan koleganya pernah membicarakan bahwa dunia tengah digegerkan kematian yang lebih tinggi karena resistensi ini. Di AS, orang sangat takut pada kontaminasi bakteri Salmonella di selai kacang dan burger. Angka kematian akibat infeksi karena resistensi di sana lebih tinggi daripada karena AIDS. Karena perkembangan tersebut, perusahaan obat di Amerika enggan membuat antibiotik baru yang biayanya dapat memakan 800 miliar dollar AS, sementara umur obat dapat digunakan memendek karena resistensi oleh bakteri lebih cepat terjadi. Oleh karena itu, perusahaan obat lebih suka mengembangkan vaksin atau obat yang setiap hari pasti dikonsumsi, seperti penurun tekanan darah atau pengendali diabetes.

Sehubungan dengan hal itu, pria yang pernah dinobatkan sebagai dosen terbaik nasional tahun 1985 ini mengaku kini lebih membantu dosen muda mendapatkan fokus riset yang akan terus berkembang karena setiap hari manusia mengkonsumsi obat. “Akan terus berkejaran antara obat baru dan munculnya resistensi pada obat. Pendekatannya surveilens, mencari data epidemiologi untuk bisa melakukan pencegahan dan mencari data untuk pengobatan yang baru. Pengembangan ilmu dasarnya untuk mencari vaksin,” ujar Usman seperti dikutip kompas.com.

Sementara itu, di bidang kedokteran, bidang ilmu yang juga didalami oleh Usman selama ini, ia menyimpulkan bahwa antibiotik kini jadi ancaman. Antibiotik yang kerap disebut sebagai magic drug karena perannya yang sangat besar dalam menekan angka kematian, kini menurutnya menjadi sebuah ancaman karena penggunaannya yang sembarangan dapat memicu resistensi obat. Usman menegaskan, fenomena munculnya bakteri resisten atau superbug, salah satunya pemicunya adalah penggunaan antibiotik yang tidak terkendali. Selain itu, lemahnya pengendalian infeksi di rumah sakit dan ketidaktepatan penanganan pasien juga mendorong percepatan resistensi.

Usman memberi penjelasan mengenai kabar merebaknya bakteri super di luar negeri yang seharusnya membuka mata masyarakat dan pemerintah. Kasus bakteri super di Indonesia sebenarnya bukan hal baru, dan hal ini bisa menimbulkan ancaman serius di masa depan. Maka dari itu, ia meminta agar semua pihak segera mengkonsumsi antibiotik secara tepat dan rasional. “Masyarakat tidak boleh membeli antibiotik sembarangan. Para dokter pun harus rasional dalam memberi obat dan harus dilengkapi data-data empiris. Pihak rumah sakit juga harus punya regulasi tentang penggunaan antiobiotik yang rasional,” ujarnya seperti dikutip dari artikel health.kompas.com.

Di samping itu, pakar mikrobiologi dari Departemen Mikrobiologi Universitas Indonesia ini juga mendorong pemerintah untuk terus memperketat pengawasan penggunaan antibiotik. Kinerja tim yang dibentuk pemerintah untuk memonitor infeksi dan pengembangan resistensi obat perlu terus ditingkatkan. muli, jk, red

Data Singkat
Usman Chatib Warsa, Rektor Universitas Indonesia (2002-2007) / Rektor UI 2002-2007 | Direktori | Dosen, Rektor, dokter, universitas indonesia, pakar, kedokteran, spesialis, Dekan

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini