Saksi Pemeliharaan Allah
Mangapul Sagala
[DIREKTORI] Sebagai pendeta yang juga manusia biasa, Mangapul Sagala mau tidak mau harus berhadapan dengan tantangan hidup yang sering menguji keteguhan imannya. Lewat ujian-ujian itu pulalah, Mangapul bisa mengalami pemeliharaan Allah yang jauh dari nalar pikiran manusia.
Sejak awal Mangapul Sagala sudah menyadari bahwa mengikut Tuhan tidaklah mudah. Ia harus rela menanggalkan keakuannya dan mengenakan Kristus setiap hari. Berbagai tawaran yang bisa menjauhkan dirinya dari tugas pelayanan, ia kesampingkan. Keteguhannya dalam memegang prinsip pada akhirnya berbenturan dengan tuntutan memenuhi kebutuhan hidup mulai dari keperluan dapur keluarga hingga biaya sekolah anak-anaknya.
Namun di tengah kesulitan keuangan yang dialaminya itu, Tuhan bekerja dengan cara-Nya yang jauh dari nalar pikiran manusia. Menurut Mangapul, Tuhan adalah Providencia God, Tuhan yang setia memelihara. Sejak ia tumbuh besar di Balige hingga ditahbiskan menjadi pendeta dan melakukan tugas pelayanannya, Mangapul melihat kasih setia Tuhan yang tiada berkesudahan.
Dari sekian banyak bukti pemeliharaan Allah yang ia alami, Mangampul menceritakan dua pengalaman yang takkan pernah ia lupakan. Salah satu pengalaman pemeliharaan Tuhan itu adalah ketika ia hendak menyekolahkan anak pertamanya, Billy Sagala di sebuah sekolah Kristen.
Di tengah kesulitan keuangan yang dialaminya itu, Tuhan bekerja dengan cara-Nya yang jauh dari nalar pikiran manusia. Menurut Mangapul, Tuhan adalah Providencia God, Tuhan yang setia memelihara. Sejak ia tumbuh besar di Balige hingga ditahbiskan menjadi pendeta dan melakukan tugas pelayanannya, Mangapul melihat kasih setia Tuhan yang tiada berkesudahan.
Setelah melalui serangkaian tes, anaknya dinyatakan telah memenuhi syarat untuk masuk ke sekolah itu. Namun karena dia tidak mempunyai uang sebesar Rp 10 juta untuk membayar uang masuk, anaknya nyaris tidak bisa masuk sekolah. Padahal saat itu, Mangapul sedang tinggal di Cambridge, Inggris berjuang menyelesaikan program doktoralnya dengan kehidupan yang serba pas-pasan. Mendapat kabar dari istrinya yang memerlukan uang 10 juta untuk biaya pendaftaran anaknya, Mangapul menjawab, “Tidak ada uang, kita doakanlah. ” Mendengar jawaban seperti itu, sang istri pun menjadi heran dan kesal. Mangapul cuma bisa menjawab seperti itu karena ia sendiri pun sedang berusaha hemat habis-habisan sehingga makan pun cuma bisa sekali atau dua kali sehari.
Dalam keadaan bingung, Mangapul tetap berusaha mengarahkan pandangannya kepada Tuhan. Ia percaya, jika ia berserah sepenuhnya, Tuhan akan menunjukkan jalan keluar. Singkat cerita, Tuhan bekerja dengan cara-Nya sendiri. Petugas sekolah yang melakukan wawancara dengan istrinya itu rupanya orang yang mencintai pekerjaan Tuhan. Begitu tahu bahwa orang tua murid bekerja sebagai pendeta, petugas itu kemudian membayari biaya masuk Billy. “Oh jadi bapak itu pendeta. Begini saja, tapi jangan kasih tahu ya bu. Nanti saya bayar dulu, nanti kapan bisa ibu bayar, dicicil berapa kali, terserah,” kata petugas itu kepada isterinya. Mangapul dan isterinya cuma bisa takjub sembari bersyukur betapa Tuhan sanggup menolong tepat pada waktunya.
Pengalaman lain tentang pemeliharaan Tuhan ia dapatkan saat anaknya yang kedua yang masih berumur dua tahun harus masuk rumah sakit karena penyakit hernia. Padahal ia tidak punya uang untuk menebus pengobatan anaknya. Pada hari Jumat itu pula, ia menyampaikan khotbah di kampus UI, Depok dan mendapatkan sejumlah uang persembahan kasih. Dalam kondisi tersebut, pikiran Mangapul berkecamuk. “Inilah yang lo kerjain, lo mesti melunasi 6 juta lagi dan lo tidak punya uang. Lo dapat 20 ribu, sampai Tuhan Yesus datang kali kedua, lo tidak bisa bayar. Siapa suruh jadi insinyur, lo jadi insinyur, staf Perkantas lagi. Kalau pendeta jangan staf Perkantaslah (sekarang diplesetkan persekutuan kantong terbatas, red). Kalau mau jadi pendeta kayak Niko, Gilbert, banyak uang, kenapa di Perkantas, begitu banyak pilihan, kok bodoh.” Mangapul kemudian berbisik dengan sedikit mengeluh dalam hati, “Tuhan kalau saya disuruh khotbah berjam-jam, berdoa dan berpuasa saya bisa, tapi kalau begini terus, tidak ada uangnya Tuhan…”
Karena tidak mempunyai uang, anaknya yang seharusnya sudah keluar dari rumah sakit pada hari itu terpaksa harus menginap satu hari lagi di rumah sakit. Ia pun hanya bisa tercenung di kantor Perkantas yang masih beralamat di Kramat Tujuh waktu itu. “Di dalam kamar saya bengong-bengong, padahal sudah harus tebus itu (biaya RS), paling lambat jam dua, ” kata Mangapul mengenang. Namun tiba-tiba pintu ruangannya diketok seorang bendahara sembari masuk lalu bertanya, “Bang gimana si Abdi.” “Masih di rumah sakit tuh, ” jawab Mangapul. “Kok abang wajahnya begitu, ada masalah bang? ” tanya bendahara itu lagi. Mendengar pertanyaan bendahara itu, Mangapul hanya bisa menundukkan kepala seolah mengiyakan.
Melihat sikap Mangapul itu, si bendahara langsung keluar menutup pintu dan tidak lama kemudian ia kembali. “Bang ada alumni soalnya menanyakan, dia mau membantu abang, cuma tidak tahu kebutuhannya berapa.” Akhirnya Mangapul mengatakan alasan mengapa ia terdiam sejak tadi dalam ruangannya. “Kita perlu uang 6 juta lagi, DP-nya 2,5 juta sudah dibayar ternyata totalnya 8,5 juta,” kata Mangapul. Singkat cerita, pertolongan Tuhan datang tepat pada waktunya. Tuhan dengan cara-Nya sendiri mengirimkan alumni Perkantas itu sehingga biaya pengobatan anaknya bisa dibayar.
Berangkat dari pengalaman itulah, Mangapul tergerak mendirikan SGF (Sola Gratia Fun) Anugerah di mana didalamnya terdapat anak-anak KTB (Kelompok Tumbuh Bersama) yang mendukung staf-staf yang membutuhkan pertolongan. “Karena saya pikir, saya adalah staf yang tertua, anak terbanyak, gelar tertinggi tetapi tetap saya tidak bisa membayar anak dengan gajinya, apalagi staf yang lain,” jelas Mangapul.
Meski sering diperhadapkan dengan kesulitan keuangan, Mangapul tidak pernah menyesali pilihannya sebagai pelayan Tuhan. Begitu juga dengan istrinya, Dra. Junicke Siahaan, anak seorang direktur perkebunan, yang sangat memahami Mangapul sebagai pelayan dan ikut bersama-sama melayani. Istrinya bahkan meninggalkan pekerjaan sebagai wanita karir setelah anak pertama mereka lahir. Mangapul sendiri setelah menikah menolak fasilitas rumah dan mobil dari mertuanya. Ia lebih memilih mengontrak di satu rumah kecil dan pergi pelayanan dengan bis atau motor vespa.
Mangapul berharap keluarga dan anak-anaknya bisa menjadi garam dan terang, menjadi berkat bagi orang lain. Menurutnya, seseorang itu, dimanapun berada, harus mampu membawa pembaharuan. “Kalau orang korupsi, jangan korupsi, dia mesti membawa pembaharuan, menjadi berkat,” kata Mangapul. Untuk mencapai itu, diperlukan perjuangan dan pengorbanan. mlp, san, bety | Bio TokohIndonesia.com