Seberkas Cahaya Hati Nurani
Indira Damayanti
[DIREKTORI] Reformasi yang menuntut pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) tampaknya sudah mati suri. Sebab justeru pada era reformasi ini, makin banyak saja orang yang memilih jalan pintas untuk cepat kaya, mendapat fasilitas cuma-cuma dan kebal hukum. Bukan hanya menteri, gubernur, dirjen dan jenderal, yang berpeluang memilih jalan pintas tersebut, tetapi juga para wakil rakyat.
Untunglah masih ada sedikit orang yang masih memercikkan cahaya hati nurani. Satu di antaranya ialah Indira Damayanti Sugondo, wakil rakyat dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), yang terpaksa memilih mundur ketika dihadapkan pada pilihan, “Loyal pada kepentingan partai atau pada hati nurani dan kepentingan rakyat.”
Indira, perempuan kelahiran Bandung 9 Februari 1951, masih peka terhadap suara hati nuraninya sendiri. Dalam benaknya reformasi belum mati. Namun di lembaga legislatif dan partainya dirasakan bahwa reformasi sudah mati suri. Suara nuraninya mengatakan, antara partai dan dirinya sudah tidak ada lagi kesesuaian perjuangan. Sehingga, sebagai wujud tanggung jawab moralnya kepada rakyat yang memilihnya, ia memilih mundur dari lembaga perwakilan rakyat itu sejak 1 Juli 2002.
Kejadian terakhir yang membulatkan tekadnya untuk mundur adalah gagalnya pembentukan Pansus terhadap kasus skandal penyelewengan dana nonbudgeter Bulog yang melibatkan Ketua DPR Akbar Tanjung. Hal ini cukup mengindikasikan DPR tidak kukuh pada upaya memberantas KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme).”
Indira berpendapat, pembentukan Pansus terhadap kasus skandal penyelewengan dana nonbudgeter Bulog penting. Penting untuk memberi dukungan politik terhadap proses hukum yang masih terseok karena berbagai praktik pemerasan, tindak kekerasan dan suap.
Dengan dialek Sunda yang kental dan ceplas-ceplos, Indira mengatakan, baginya partai harus selalu mencerminkan kepentingan dan tuntutan rakyat. “Begitu saya dihadapkan pada pilihan kepentingan partai atau rakyat, maka saya tidak ragu memilih kepentingan rakyat. Itu sudah harga mati,” tutur Direktur Utama PT Andrawina Praja Sarana, sebuah perusahaan catering yang dipimpinnya sejak tahun 1985 itu.
Indira yang juga gemar melukis sering kumpul bersama teman-temannya di Classic Rock, kafe miliknya di kawasan Blok M, atau ke laut. Tapi ketika dia sedang menghadapi persoalan, dia lebih suka bersama keluarganya. Salah satu lukisannya, berjudul Perempuan, di pajang di kantornya di Plaza Pondok Indah II, Jakarta.
Perempuan yang menolak disebut yuppies (young urban professional) karena ia bukan tipe orang yang serius mengejar karier dan uang, itu mengawali karier politiknya karena rasa iba, dorongan hati nurani dan moral, serta terpanggil memihak yang tertindas. Ia sendiri tak pernah bercita-cita atau pun memimpikan menjadi politisi. Namun, peristiwa berdarah 27 Juli 1996 saat Kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro Nomor 58, Jakarta Pusat, diserbu aparat keamanan, telah mendorongnya mengikuti panggilan hati. Apalagi, suaminya, Bambang Wijanarko Sugondo, yang sudah lebih dulu aktif di ranting PDI pro-Mega (cikal bakal PDI Perjuangan), Ciputat, Jakarta Selatan, ikut mendorongnya bergabung dengan PDI pro-Mega. Sebagai pengusaha dan ibu rumah tangga yang telah mapan secara ekonomis, ia merasaa terusik oleh kesewenang-wenangan penguasa ketika itu terhadap PDI pro-Mega. Sejak dipimpin oleh Megawati, partai yang satu ini seolah tak putus dirundung malang. Terus ditindas dan disingkirkan. Tapi ia melihat, Megawati tampak tetap tegar dan telaten mengemong partainya.
Sayangnya, sumber daya manusia partai yang telah begitu solid dan prospektif itu, secara kualitas dan kuantitas, amat terbatas. Dengan bobot nasionalisme yang telah tertanam dalam dirinya, Indira pun memutuskan bergabung dengan partai yang kemudian mengubah lambangnya menjadi Banteng tambun itu. Tetapi ia tidak bersedia duduk secara formal dalam kepengurusan partai.
Tiga tahun kemudian, dalam pemilu 1999, di daerah pemilihan Asahan yang mayoritas warganya muslim, PDI-P justeru tidak memiliki kader perempuan yang muslim. Lalu untuk menghadapi isu jender dan isu muslim dan non-muslim, ibu empat anak dan sudah hajjah itu dicalonkan mewakili daerah pemilihan di Kabupaten Asahan, Sumatera Utara (Sumut). Kala itu, Sumut menjadi salah satu basis kuat PDI-P yang mendapat 10 kursi, satu di antaranya adalah Indira mewakili Kabupaten Asahan.
Sebagai pendatang baru di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), ia pada mulanya merasa harus belajar banyak tentang segala hal yang berhubungan dengan tugasnya. Indira mendapat tugas di Komisi III yang membidangi soal pertanian dan pangan serta Komisi IX yang membidangi soal keuangan dan perbankan.
Tetapi ada satu hal yang langsung membuatnya terperangah, dan harus bersikap tegas. Yakni ‘amplop-amplop’ yang berseliweran disekitarnya. Entah dalam setiap rapat kerja, kunjungan kerja atau pembahasan suatu Rancangan Undang-Undang. Ia menolak ‘amplop-amplop, berisi jutaan rupiah itu. Saat mulai berkiprah di DPR, Indira memang sudah membukukan total kekayaan mencapai Rp 9.630.140.948 miliar dan USD 218.849. Ini membuat kiprahnya di DPR lebih leluasa. Apalagi PT Andrawina Praja Sarana yang bergerak di bidang catering telah dilepasnya begitu ia duduk di DPR. Dengan sikap tegas seperti itu, Indira malah dicap menjadi ‘mahluk aneh’ di lingkungannya. Memang ada satu-dua rekan sefraksi maupun dari fraksi lain yang bersikap serupa, tapi Indiralah yang berani blak-blakan membuka aib tersebut ke publik, Akibatnya, ia sudah menjadi semacam musuh bersama.
Seiring bergulirnya waktu, Indira pun semakin tahu bahwa gedung Gedung MPR/DPR itu itu cuma tempat “dagang sapi”. Kenyataan ini semakin tampak jelas, ketika dia menjadi salah satu anggota Panitia Khusus (Pansus) DPR untuk Tragedi Trisakti (12 Mei 1998), Semanggi I (13 November 1998) dan Semanggi II (23 September 1999). Ketika rakyat jelas-jelas menghendaki dibentuknya pengadilan HAM (hak asasi manusia) ad hoc, karena dugaan kuat terjadinya pelanggaran HAM berat dalam ketiga peristiwa berdarah itu. Tetapi yang keluar justeru pernyataan bahwa tidak ada pelanggaran HAM berat. Di mata Indira, DPR tidak lagi merepresentasikan keinginan rakyat, bahkan membuat produk yang bertentangan dengan kemauan dan kebutuhan rakyat.
Padahal Komisi Penyelidik Pelanggaran (KPP) HAM merekomendasikan 50 perwira Tentara Nasional Indonesia (TNI)/Polisi Republik Indonesia (Polri) yang diduga kuat terlibat dalam pelanggaran HAM berat itu. Hal ini membuat hati Indira luka. Hasil kerja keras Komnas HAM, terutama KPP-nya, menjadi sia-sia karena sikap politik rekan-rekannya di parlemen.
Akumulasi kekesalan terhadap parlemen terutama terhadap partainya sendiri tak tertahankan lagi setelah parlemen memutuskan menolak pembentukan Pansus untuk skandal dana nonbudgeter Badan Urusan Logistik (Bulog) II. Skandal ini antara lain melibatkan Ketua DPR Akbar Tandjung yang juga mantan Menteri Sekretaris Negara. Indira bersama empat rekannya Haryanto Taslam, Meilono Soewondo, Mochtar Buchori serta Julius Usman, berkeras menuntut pembentukan Pansus. Pada awalnya, mayoritas rekan fraksinya menyatakan mendukung. Namun di tengah jalan dukungan mayoritas itu hilang seiring dengan jabat tangan fraksi PDI-P dan Fraksi Partai Golongan Karya (Golkar).
Akhirnya, Indira mengundurkan diri sebagai wakil rakyat di DPR tanggal 1 Juli 2002. Indira sadar, partainya tidak lagi mewakili kaum yang tertindas. Ia bukan saja merasa muak terhadap perilaku politik parlemen dan partainya, tetapi juga pada diri sendiri. Ia muak pada diri sendiri, karena terus-menerus mengkritik Megawati Soekarnoputri dan kawan-kawan yang makin hari makin menjauhkan diri dari rakyat.
Menurut Indira, mereka sudah tidak lagi menganggap Golongan Karya (Golkar) sebagai salah satu kekuatan Orde Baru (Orba) dan oleh karenanya menjadi musuh mereka. Bahkan telah menganggap Golkar sebagai kawan politik paling. Dia menganggap, PDI-P sekarang tidak lagi memperjuangkan kepentingan rakyat, tetapi sekadar mempertahankan kekuasaan Megawati sebagai presiden sampai tahun 2004.
Indira akhirnya harus mengakui, bahwa arena politik ini memang bukan habitatnya. Indira mengaku, di gelanggang politik dia sering kali menemukan hal-hal yang aneh. Misalnya, ketika Mega dan partainya memberi dukungan pada pencalonan kembali Sutiyoso sebagai Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibu Kota (KDKI) Jakarta. “Kalau Mega memang mau menunjukkan kepada publik kedekatan dia dan partainya pada tentara, mengapa harus memilih figur Sutiyoso?” tanyanya. Menurutnya, makin lengketnya PDI-P dengan militer justru merusak citra partai berlambang banteng tambun itu. Sebab, salah satu tuntutan reformasi adalah menghilangkan peran militer dari arena politik.
Pada bagian lain Indira memaparkan praktik suap di lingkungan legislatif. Hal ini jelas akan menghilangkan akuntabilitas para wakil rakyat di depan publik. Itu sebabnya ia menolak berbagai bentuk amplop, fasilitas, atau ucapan terima kasih yang berlebihan.
Ia sendiri sebenarnya tidak terlalu kaku soal ini. Kalau cuma menerima satu dua botol markisa dalam kunjungan kerja sebagai ungkapan sopan santun, baginya itu boleh-boleh saja. Tapi kawan-kawannya di parlemen masih menganggap sikapnya itu terlalu keras dan cenderung mau mematikan rezeki mereka.
Yang paling dia herankan, kadang-kadang pemberian uang eksekutif kepada legislatif tanpa take and give yang jelas. “Eksekutif ngasih gitu aja, hanya karena untuk menjaga hubungan,” katanya. Contoh kasus, saat pemerintah menyodorkan Rancangan Undang-Undang (RUU) mengenai varietas tanaman. Menurut pandangannya, RUU tersebut sudah sangat ideal. Tidak lagi memancing perdebatan. Tapi begitu RUU disetujui sebagai UU, pihak eksekutif masih juga nyodorin amplop. Hal ini membuat Indira tidak habis mengerti. Tidak ada hujan tidak ada angin kok amplop mesti keluar? Ini kan namanya sudah keterlaluan. Tugas DPR kan memang membuat undang-undang?
Selain itu, praktik korupsi di lingkungan legislatif juga bias terjadi pada saat mengadakan kunjungan kerja ke daerah. Sudah ada anggaran dari Sekretariat Jenderal (Sekjen) DPR/MPR. Ada sisa anggaran. Seharusnya sisanya dikembalikan ke Sekjen, tetapi yang terjadi justru dibagikan seluruhnya kepada anggota, bahkan kepada anggota yang tidak melakukan kunjungan kerja. Belum lagi, soal fasilitas hotel dan tiket misalnya. Sekjen sudah menganggarkan hotel dan tiket, tetapi ketika DPR berkunjung ke daerah, ternyata pemerintah daerah setempat sudah menutup biaya hotel sementara biaya tiket sudah dianggap lunas oleh perusahaan penerbangan BUMN (Badan Usaha Milik Negara) tertentu.
Sementara yang terjadi kemudian, ada laporan berlipat mengenai biaya dinas untuk para wakil rakyat. Yang satu di Sekjen, yang satu di perusahaan penerbangan BUMN, dan yang lain di pemerintah daerah tertentu, sementara semua anggaran masuk ke kantung anggota DPR. Seharusnya BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) menyelidiki hal-hal seperti ini.
Menurut Indira praktik korupsi di masa Orde Baru (Orba) dan pasca-Reformasi bukannya makin berkurang bahkan makin meluas. Kalau dulu dilakukan antarinstitusi-eksekutif dan legislatif, maka sekarang dilakukan bukan saja oleh institusi-institusi, tetapi juga oleh individu-individu. Yang terlibat pun makin luas, sehingga dana yang dikucurkan untuk praktik-praktik seperti ini juga makin banyak.
Kalau dulu misalnya terjadi praktik korupsi antara Departemen Keuangan (Depkeu), BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional) dengan DPR, maka sekarang bisa makin meluas dan lebih telanjang. Dulu kan di DPR partainya cuma tiga, PPP, Golkar, dan PDI, jadi praktik-praktik korupsi berjalan ringkas dan lancar.
Dalam perjalanan hidupnya, Indira, anak kedua dari tiga bersaudara, itu juga pernah mengalami masa-masa sulit. Itu terjadi tahun 1968. Ayahnya di-PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) dari Panca Niaga, Bandung dan menganggur. Lalu rumah mereka dijadikan tempat kos. Ibunya membuat dan menjual kue-kue untuk biaya hidup sehari-hari.
Indira sangat terpukul, ketika orangtua mengatakan tidak sanggup lagi membiayai sekolahnya di perguruan tinggi, kecuali bisa terdaftar di perguruan tinggi negeri. Ia gagal diterima di jurusan seni rupa ITB (Institut Teknologi Bandung). Lalu ia harus mencari kerja. Beruntung Indira yang fashionable, diterima sebagai pramugari Mandala. Tiga tahun setelah Indira bekerja sebagai pramugari, Indira menikah dan dikaruniai empat putra, Namara Surtikanti (25), vokalis kelompok Band Coklat, Narindra Kukila (23), Awalokiteswara (21), dan Kirda Satya Ramadhan (11). Anak yang terakhir ini secara berkelakar disebutnya anak ‘iseng-iseng berhadiah’.
Tahun 1985, Indira mulai terjun ke dunia bisnis catering. Pada tahun pertama baru meladeni sekitar 250 orang per hari. Tapi sekarang tingkat perputaran modalnya sudah mencapai sekitar Rp 32 milyar per tahun. Para pekerja minyak lepas pantai perusahaan minyak milik Arifin Panigoro, Medco, menjadi sasaran pertama bisnis catering Indira. Maklum, sang suami menjadi salah satu direktur di Medco. Meski demikian Indira menolak berkolusi dalam bisnis. Semuanya ia jalankan sesuai norma bisnis profesional. Sehingga ada kalanya menang, tetapi juga pernah berkali-kali perusahaannya kalah tender. e-ti | dari berbagai sumber